Pagi Pertama di Yogyakarta

7.6K 1K 35
                                    

Yogyakarta tak pernah mengecewakanku. Yah, selain macetnya tentu. Hanya di tempat-tempat tertentu, kok. Tapi toh itu juga fenomena yang biasa di temui di kota besar mana pun, kan?

Yogyakarta, kota budaya dengan gunung dan pantai sebagai daya tarik alaminya yang selalu berhasil membuatku terpesona dengan keindahannya. Selain itu, orang-orangnya juga ramah-ramah. Setidaknya anggapan itulah yang kupegang ketika akhirnya aku menginjakkan kaki di YIA, tak sampai dua puluh empat jam setelah akad nikah.

Pagi tadi, saat sarapan Prahara menyampaikan niatnya untuk pulang ke Yogyakarta kepada ayah dan mami. Tentu saja, sesuai kesepakatan kami, aku akan ikut bersamanya. Aku tak tahu apa yang akan menunggu di kota kelahirannya itu, tapi kuharap akan baik-baik saja meskipun tak satu orang pun yang kukenal.

Seorang lelaki muda seusiaku menjemput kami di bandara. Aku tak tahu dia siapa, tapi Prahara memanggilnya Mik. Mungkin Miko, yang jelas bukan mikrofon. Dari percakapan yang dilakukannya bersama Prahara di dalam perjalanan yang membawa kami menuju kota Yogyakarta, aku menduga ia adalah sepupu Prahara. Wow, keluarganya banyak juga, ya. Tak seperti keluargaku karena ayah adalah anak tunggal dan mami, ah, entahlah aku tak mengenal satu pun keluarga mami. Yang kutahu, kakek dan nenek dari pihak mami sudah meninggal semua.

Tentu saja aku tak ikut terlibat dalam obrolan itu. Yang aku heran, si Mik sama sekali tidak mempertanyakan keberadaanku meskipun waktu pertama kali melihatku, ekspresinya sedikit terkejut. Namun, keterkejutan itu diganti dengan anggukan dan senyum ramah. Setidaknya itu yang kutangkap.

Hari sudah menjelang malam ketika kami memasuki sebuah rumah dengan halaman yang cukup luas. Tadi kami memang sempat singgah di beberapa tempat sehingga perjalanan memakan waktu agak lama. Rumah itu kelihatannya masih baru meskipun tak ada lagi bau cat yang menguar. Setidaknya tembok-temboknya masih bersih dan belum banyak furnitur yang ada di dalamnya. Juga, belum ada tanaman yang menghias rumah itu. Padahal banyak area kosong yang jika diberi tanaman tentu akan lebih segar dan nyaman.

Sambil menggeret koper, aku mengikuti Prahara masuk. Sebenarnya dia akan membantuku membawakan koper, tapi karena dia sendiri membawa banyak bawaan, maka aku membawa sendiri koperku. Toh, tidak berat karena koper milik Laras itu ada rodanya.

Selain ruang tamu, ruang keluarga, dan dapur, ada tiga kamar tidur di rumah ini. Perkiraanku, ruang keluarga adalah jantung rumah ini. Setidaknya ada empat pintu --kupikir pintu kamar-- yang semuanya mengarah ke ruang keluarga. Selain itu, ruangan keluarga juga menyatu dengan dapur bersih dengan bar kopi sebagai pembatasnya. Jadi, semua aktivitas penghuni rumah ini terpantau dari ruang keluarga.

Prahara menunjukkan sebuah kamar untukku. Ketika masuk, kudapati perabotan sudah lengkap, tetapi tak ada barang pribadi satu pun di kamar ini. Artinya, kamar ini memang tak berpenghuni sebelumnya. Jadi, kami tidak harus sekamar, kan? Perasaanku lega, tetapi pertanyaan mau di bawa ke mana status ini selalu menggema dalam benakku. Karena, dia pernah bilang bahwa pernikahan ini tidak main main, tapi kenyataan mengatakan bahwa kami tinggal beda kamar. Yah, paling tidak aku harus membentengi hatiku dari awal supaya tidak terjebak dalam pesonanya yang tak mudah diabaikan itu.

Kamar berukuran empat kali enam meter ini memiliki kamar mandi dalam sehingga aku langsung mandi setelah meletakkan tasku. Ah, segar rasanya bisa menyentuh air setelah perjalanan jauh yang menyerap banyak energiku. Enggan beramah tamah dengan tuan rumah, aku pun bergegas mandi dan tidur. Tak lupa kukunci kamar agar tak ada seorang pun yang masuk. Meskipun aku tak yakin Prahara berminat masuk, sih. Beda halnya dengan kemarin malam di rumah, kali ini tak ada orang lain yang akan berkomentar jika kami tak tinggal sekamar.

Tidur yang nyenyak, dilanjutkan dengan bermalas-malasan di tempat tidur. Yeah, rebahan adalah nama tengahku. Itu juga salah satu sebab aku menolak tawaran Trend untuk menjadi pegawai tetap. Aku tidak suka terburu-buru pagi hari karena harus mengejar presensi. Hingga akhirnya perut kosong karena sedari semalam tidak kemasukan apa pun membuatku menyerah keluar juga dari kamar.

Prahara's Secret WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang