Dieng (1)

7.7K 1K 21
                                    

Pada bulan-bulan ketika posisi matahari berada di titik terjauh dari bumi seperti sekarang, suhu Dieng bisa mencapai di bawah nol derajat celcius. Embun-embun bisa berubah menjadi butiran mutiara bening laksana di negeri dongeng.

Seperti yang kusaksikan subuh ini. Pagi ini, sebelum azan Subuh berkumandang, aku bersama Prahara menaiki bukit Sikunir untuk menyaksikan matahari terbit. Setelah itu, rencananya kami akan pulang dan siang nanti tiba kembali di Yogyakarta.

Kemarin pagi, setelah menghabiskan malam berdua, kami mengambil foto-foto di sekitar ranch dan camping ground milik Om Moyo. Literary, benar-benar menghabiskan malam berdua dengan tidur yang cuma sejenak. Karena, kami berdua adalah morning person yang tidak bisa tidur lagi setelah subuh. Jadi, kami hanya tidur sekitar empat jam.

Benar-benar tidur, ya. Karena Prahara –entah kenapa—meskipun mengajakku salat pengantin dan mencium keningku, kelihatannya tidak berniat mengajakku melangkah lebih jauh.

"Tidurlah," katanya setelah aku melepas mukena. Aku menatap dengan tak percaya.

"Aku tak akan memaksamu sebelum kamu benar-benar siap."

Aku mengangguk. Sedikit merasa tertolak, sebenarnya, karena tadinya aku setidaknya menduga akan dibawa ke arah yang lebih intim. Namun, karena Prahara tak berniat ke "sana" maka aku setuju saja karena secara mental kelihatannya aku tak pernah siap untuk melaksanakan kewajibanku sebagai seorang istri.

Yang berbeda malam itu dengan malam setelah akad nikah di kamarku adalah tak ada lagi guling pembatas antara kami berdua. Entah Om Moyo sengaja atau tidak, di kamar ini hanya ada dua buah bantal dan sebuah selimut. Akhirnya karena suhu yang begitu dingin, aku harus mau satu selimut berdua dengan Prahara.

"Jangan menjauh," bisiknya. Aku mendekat, meskipun posisiku membelakanginya. Tak nyaman, kan, harus meringkuk menghadap dia. Jadi, aku memilih yang aman: meringkuk membelakanginya. Kurasa dia juga tidak menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Kami menjaga jarak aman, mungkin lebih tepatnya jarak nyaman. Namun, senyaman apa pun, tetap saja susah untuk memejamkan mata ketika di dekat kita ada orang lain yang tak lagi asing, tetapi masih terasa asing.

Ketika Prahara sudah mulai tertidur –kuduga dari napasnya yang mulai teratur—aku pun mulai memejamkan mata. Untunglah rasa lelah begitu mendera sehingga aku bisa tidur dengan cukup nyenyak, meskipun belum memenuhi kuota harian waktu tidurku.

Oh, bagaimana tak nyenyak? Ketika aku membuka mata, ternyata yang kutemui adalah tangan kokoh yang melingkar di pinggangku. Ternyata ada pengusir dingin alami di sini, yang entah mengapa kurasa begitu tepat. Mengira ia masih tidur, aku pun bergerak melepaskan diri darinya supaya dia tidak menyadari posisi ini. Namun, belum sempat aku melepaskan diri,  kudengar suaranya yang rendah dan sedikit serak, "Selamat pagi, Istri."

Oh, siapa yang tak meleleh mendengar sapaan yang diucapkan dengan nada yang begitu seksi itu? Jantungku, oh, semoga tetap mau memompa darah setelah ini karena kurasa dia mulai kewalahan dengan denyutnya yang semakin tak beraturan.

Untunglah pagi ini kegiatan kami padat jadi aku tak sempat lagi memikirkan interaksi pagi kami yang cukup membuat kupu-kupu di perutku beterbangan. Yeps, setelah mencuci muka, kami segera sarapan dan mulai mengelilingi ranch dan camping ground untuk mengambil foto. Jangan tanyakan tentang mandi. Mandi tengah hari di sini pun masih perlu air hangat, kupikir.

Kegiatan pagi ini kurasa cukup lancar dan menyenangkan. Karena ada beberapa kelompok yang semalam menginap di sini, aku bisa mengambil gambar secara natural. Kami bahkan sempat berkenalan dan bertukar nomor telepon.

Usai mengambil gambar, aku mencoba menaiki kuda penghuni ranch Om Moyo. Wow, sungguh beda rasanya dengan naik kuda yang biasa dituntun di tempat-tempat wisata yang pernah kukunjungi. Yang ini lebih besar dan lebih menantang, dong. Setelah hampir setengah jam dilatih oleh joki, aku berani menaiki si Tornado sendirian. Kuabaikan papanya Ami yang menatapku dengan pandangan khawatir, dong. Aku bukan anaknya yang mesti dijaga supaya tidak lecet, kan?

Dan eh, ternyata jepretannya bagus juga, lho. Rupanya dia diam-diam mengambil gambarku ketika menaiki si Tornado. Wah, bisa dijadikan wallpaper, nih.

Selepas makan siang, kami menuju Dieng. Untung hari ini cuaca cerah. Jadi, sepanjang perjalanan aku bisa mengabadikan pemandangan indah yang terbentang. Jalanan menanjak berkelok-kelok. Di sisi kiri dan kanan terbentang sawah bertingkat-tingkat yang begitu subur. Rumah-rumah tertata apik. Yang paling mencolok, masjid-masjid berdiri dengan megah. Sungguh, ini surga.

"Luar biasa," desahku. "Sering ke sini?"

"Kadang-kadang."

"Mencari inspirasi?"

Dia mengangguk.

"Kirain mencari istri," gurauku.

"Nemunya di Jakarta," katanya terbahak. "Apa kabar Laras?" tanyanya. Serius dia menanyakan Laras? Tidakkah mereka pernah berkomunikasi selama ini?

"Baik. Laras nggak pernah menghubungi Mas?"

Dia menggeleng. "Untuk apa?"

Ya, untuk apa? Toh Laras dan aku juga rutin berkomunikasi. Terakhir kali Kamis malam lalu dan aku mengatakan akan hunting foto di Wonosobo bersama Prahara.

"Mas nggak nyesel, nglepasin Laras cuma untuk dapat orang macam aku?"

"Tentu saja tidak. Waktu itu semua juga cuma gimmick, kok."

"Untuk meningkatkan rating film? Bukannya keuntungannya sudah milyaran, ya. Yah, kalau ngomong soal uang memang nggak ada puasnya, sih."

"Bukan untuk menaikkan rating saja sebenarnya. Ada hal lain yang membuat aku dan Laras sepakat untuk menjalani hubungan pura-pura."

"Mami?"

Prahara menengokku sebentar, lalu mengangguk.

"Mas dan Mami nggak pacaran, kan?" tanyaku curiga. Dulu memang aku sudah mendapatkan info dari Laras. Tapi kalau belum konfirmasi langsung kepada yang bersangkutan kelihatannya belum afdal, kan?

Namun, bukannnya langsung menjawab, Prahara malah menoyor ringan kepalaku.

"Otak dibersihin, Neng. Kalau aku ada main sama Mami pasti ayah nggak merestui aku jadi mantunya Mami."

"Bukannya ayah terpaksa waktu itu? Gara-gara sungkan saja sama Pakdhe Pras, kan? Dan anehnya, Mas juga nggak nolak perintah Pakdhe."

Dia tertawa kecil.

"Bagaimana mungkin menolak. Aku sudah mencarimu sejak sepuluh tahun yang lalu. Begitu ketemu, nggak mungkin dilepas, kan?"

"Yakin mencariku sejak sepuluh tahun yang lalu? Kalau hanya untuk berterima kasih kelihatannya terlalu klise, deh."

Dia –lagi-lagi—tersenyum, tetapi tak menjawab.

"Kalau aku baper terus percaya begitu saja kalau Mas suka padaku pada pandangan pertama juga bullshit banget, kan?"

"Kok bisa dibilang bullshit?"

"Iyalah, kalau itu beneran kan nggak mungkin ada mamanya Ami ataupun Laras."

Kulihat senyumnya perlahan menghilang. Kulihat dia menghela napas panjang, lalu berkata, "Bertemu mamanya Ami memang jalan hidup yang mesti kutempuh dan aku tak akan menyesalinya karena kalau tidak melewati fase itu, maka tak akan ada Ami dalam hidupku."

Duh, jadi nggak enak bilang begitu, ya. Meskipun ada sedikit hampa menyelinap, tapi kupikir kata-katanya benar juga. Ami adalah gadis kecil paling mudah dicintai yang pernah kutemui.

"Mamanya Ami, maukah Mas menceritakannya kepadaku?"

"Kami bertemu ketika kami dalam kondisi terburuk. Awalnya kami pikir kami bisa saling menguatkan, tetapi nyatanya justru saling menyakiti." Dia diam sejenak.

"Aku melepasnya setelah Ami lahir," katanya kemudian.

Sungguh, aku tak sanggup lagi berkata-kata. Akhirnya hening, sampai kemudian dia berbelok ke arah sebuah jalan masuk yang di dalamnya terdapat cluster perumahan kecil.

"Ini?"

"Vila. Kita menginap di sini nanti."

Oke, aku hanya berharap malam ini ada dua kamar tidur dan dua selimut tebal.

"Jangan berpikir terlalu jauh," katanya mengacak rambutku.

Hih, bapaknya Ami ini pinter sekali mengacak-acak hati orang, deh.

Prahara's Secret WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang