Aku masih duduk sambil memegang Kekasih Sang Pengacara ketika Prahara keluar dari kamar mandi. Syukurlah dia cukup sopan untuk memakai kembali pakaiannya. Tak bisa kubayangkan jika dia hanya mengenakan handuk saja karena tidak bisa mengenakan batik untuk tidur. Aku sendiri sudah berganti dengan setelah baju tidur konservatif yang aku punya di rumah ini. Yah, biasanya aku hanya memakai celana pendek dan kaos oblong, sih. Nggak punya lingerie seksi seperti yang biasa digunakan tokoh-tokoh novelnya Prahara.
"Nanti aku pinjamkan kaos Mas Wibi," kataku.
Dia tak menjawab, tapi menghenyakkan diri di kursi belajarku. Memandangku yang duduk di tepi tempat tidurku.
"Apa yang tadi ingin kamu bicarakan?" tanyanya mengawali pembicaraan.
Aku menelan ludah untuk membasahi kerongkongan.
"Mm, ini tentang kita. Pernikahan ini ...."
"Pernikahan ini bukan main-main," tukasnya.
"Secara agama. Tapi secara negara, kita belum sah. Jadi, kita perlu melakukan beberapa pengaturan."
Dia memandangku dalam-dalam. Tak lama, tapi cukup membuat jantungku berdegup lebih kencang.
"Baiklah. Apa maumu?"
"Ini bukan hanya tentang mauku. Anggaplah ini kesepakatan. Kedua belah pihak memiliki hak yang sama."
"Tak kuduga kami seorang feminis sejati," katanya tersenyum kecil. Duh, lesung pipitnya begitu menggoda, eh.
"Oke. Pertama, karena pernikahan ini tidak sungguh-sungguh, maka tidak ada kewajiban suami istri antara kita."
"Tidak sepakat. Sekali lagi kutegaskan, pernikahan ini tidak main-main. Ada konsekuensi yang harus kita laksanakan di dalamnya."
"Oke, oke. Kalau begitu kamu saja yang mulai."
"Pertama, istri harus ikut suami ke mana pun."
Aku mengangkat alis. "Ke mana pun?"
"Ke mana pun dalam konteks yang dibenarkan. Kalau suami ingin kembali ke rumah, maka istri harus ikut."
Ke Yogyakarta kalau begitu. Okelah.
"Oke, Poin pertama diterima. Sekarang giliranku. Meskipun ikut suami, istri tetap boleh bekerja."
"Diterima dengan catatan tidak mengganggu urusan rumah tangga."
"Mengganggu itu cukup subjektif. Bisa dijelaskan secara detail?"
"Tidak bergaul dengan lawan jenis melebihi batas, pulang ke rumah dalam batas waktu yang bisa ditoleransi."
"Diterima."
"Istri berhak menerima nafkah," katanya sambil mengeluarkan kartu debet. "Pin-nya 100612."
Aku menampik kartu itu. "Apakah ini berarti istri harus melakukan semua kewajibannya sebagai istri."
Dia tersenyum kecil. "Bagaimana menurutmu?"
"No sex because this is a fake marriage," tukasku sambil melotot.
"This isn't a fake marriage," sahutnya tak kalah ngotot.
"Tapi ..."
"Oke, aku ngerti. No sex without consens," katanya bernegosiasi. Ini orang kayaknya ngotot banget pengin begituan deh. Hih. Memangnya bisa, making love sama orang yang nggak dicinta? Eh, tapi banyak juga sih, kasus seperti itu. Nyatakan ONS, FWB, dan kawan-kawannya sudah menjadi kebiasaan di sebagian kalangan. Lagi pula, kalau aku ngotot nggak mau kan juga nggak bakalan begituan dalam tanda petik, kan. Eh, apa iya aku bisa terus menerus menolak pesonanya? Mana ganteng dan senderable gitu. Belum lagi suaranya yang rendah dan seksi. Tatapan matanya yang membius. Duh, ini mantan calon tunangan Laras kenapa bisa begitu menarik, sih?
KAMU SEDANG MEMBACA
Prahara's Secret Wife
RomanceDidi bisa menerima kalau Laras, saudara kembarnya berpacaran dengan Kemal, sahabat sekaligus cinta pertamanya. Sudah biasa jika ia mesti mengalah pada Laras yang fisiknya lebih lemah dibandingkan dengannya. Namun, bisakah dia menerima takdir bahwa i...