Ami dan Bunda Sekar

7.1K 1K 35
                                    


Akhirnya aku benar-benar merasa memiliki rumah. Rumah tempat aku selalu akan pulang. Siapa lagi kalau bukan Prahara. Namun, apakah kisah ini akan berakhir dengan happy ending begini saja? Entahlah, aku tak tahu, Jika memang happy ending-ku adalah dengan bersama Prahara dan Ami, dan ia akhirnya bisa menjauh dari Ariana, maka kupikir kisah ini sudah selesai. Karena, setelah hari itu Prahara memindahkan Ariana ke divisi percetakan. Supaya tidak terlalu mencolok, kantornya masih di lantai 3 bersama Prahara, tetapi urusannya dengan Prahara diminimalisasi.

Namun, sayangnya hidupku tak sesederhana itu. Ada kisah lain di balik pernikahanku dengan Prahara. Apa lagi kalau bukan Laras, adikku, yang seharusnya menjadi tunangan Prahara dan saat ini masih sebagai tunangannya dalam anggapan media. Dan netizen yang mahateliti mulai menyadari bahwa selama tiga bulan ini, Laras tidak pernah mengunggah fotonya bersama Prahara. Bagi mereka, hal ini sangat tidak wajar, mengingat meskipun Laras telah mengatakan LDR-an, tetapi jarak Yogya dan Jakarta terlalu dekat untuk tiga bulan tak bertemu.

Sampai hari ini, ketika akun paling julid se-Indonesia Raya, Lambe Dower, mengunggah sebuah potongan video yang menampilkan Prahara yang tampil mesra bersama Ariana. Tentu dengan embel-embel caption yang bikin panas telinga. Prahara mendua dari Larasati? Laras Kena Karma. Huh, kelihatannya aku sudah tahu, siapa dalang di balik unggahan ini. Namun, kubiarkan saja, yang penting namaku tidak terseret di dalamnya.

Namun, tentu saja hal itu berimbas ke Laras dan Prahara. Oleh karena itu, dalam minggu-minggu ini Laras akan datang ke Yogya untuk meredam berita tersebut. Sebenarnya sih, menurutku lebih baik mereka menyatakan kalau hubungan mereka memang sudah kandas. Sayang, pihak produser punya pemikiran lain. Karena film-nya laris, maka Rhein's Romance akan dibuatkan series. Kalau pemain dan penulis skenarionya putus hubungan, tentu akan menjadi publikasi buruk pagi film mereka, kan? Jadi, mau tak mau, sandiwara ini tetap akan mereka lakukan, entah sampai kapan. Huh, dunia entertainment memang penuh kegilaan.

Ah, sudahlah, siapa suruh berbohong. Sudah jamak kita ketahui orang bahwa kebohongan pertama pasti akan diikuti kebohongan kedua, dan seterusnya. Begitu sampai terbuka seperti pepatah yang mengatakan bahwa serapat-rapatnya kita menyimpan bangkai, pasti akan ketahuan juga.

Enggan berpikir lebih berat, hari ini setelah menjemput Ami aku sengaja tak kembali ke kantor. Aku masih malas stand by di kantor mengingat peristiwa ulang tahun Prahara lebih dari dua minggu lalu. Toh, pekerjaan bisa kupantau dari mana pun.

Maka, hari ini aku mengajak Ami berburu anggrek di Bantul. Ada spot kosong di rumah yang kupikir kalau ditempeli anggrek akan lebih bagus. Lagi pula, aku belum mengambil foto Ami dengan latar bunga-bunga yang sedang mekar. Jadi, hari ini kuputuskan untuk kembali melanjutkan proyek Ami sembari berburu anggrek, sekalian untuk mengenal Yogya lebih dekat.

Perkebunan anggrek yang kami kunjungi ini terletak di tepi jalan raya. Pemiliknya menghubungkan kebun anggreknya dengan kafe es krim yang dari tampilannya saja sudah terlihat enak. Ami bahkan sampai tak berkedip menatapnya.

"Jangan khawatir, nanti kita beli es krim di situ," kataku. "Yang penting kita dapat bunga dan gambar dulu, ya."

"Oke, Bidi, let's go," katanya menarik tanganku.

Kebun anggrek ini sungguh indah. Hampir semuanya berbunga. Kalaupun tidak berbunga, pasti sedang spike atau knop. Jangan tanyakan dari mana aku mengenal istilah ini, ya. Mami kan punya kebun anggrek, sedikit banyak aku tahulah karena aku sering diminta Mami untuk memfoto bunga-bunganya.

Tak lupa, aku meminta izin pemiliknya untuk mengambil foto di sini. Untunglah Bu Siti, pemilik kebun ini sangat ramah. Dia bahkan meminta beberapa foto untuk dipajang di sini.

"Dipajang di IG, saja, Bu," kataku.

"Walah, ndak punya IG, Mbak. Maklum ini, mbah mbah, pegang HP saja gemeter," katanya.

"Wah, padahal kalau dipromosikan di IG bisa lebih terkenal lho, Bu. Kalau Bu Siti mau nanti saya ajari. Buat web juga atau buka akun di marketplace, Bu, buat jualan online. Sekarang banyak yang maunya rebahan, tapi barang datang sendiri, Bu," kataku.

"Anak Ibu juga bilang begitu, Mbak. Cuma belum nemu orang yang bisa jadi apa itu namanya ...."

"Admin, Bu," kataku membantunya. "Kafe ini ide anak Ibu juga?"

"Iya, Mbak. Masih kuliah dia. Tapi disambi kerja. Jadi tak ajak nggedein kios ini belum mau."

"Wah, sayang, Bu. Kapan-kapan kalau saya ada waktu mungkin bisa bantu, Bu. Tapi nggak janji, deh."

"Bener, Mbak? Mbake siapa namanya?"

"Srikandi, Bu. Panggil saja Didi," kataku. "Ibu nomornya berapa, biar saya simpan. Nanti insyaallah saya hubungi," kataku.

Dia segera memberikan HP-nya dan segera miscall ke nomorku.

"Sudah, Bu," kataku. "Kami pamit dulu, Bu, ini ada yang ngiler pengin makan es krim."

"Wah, kasihan anak cantik ini nunggu lama, ya. Lelah?"

"Ndak lelah, Mbah, haus saja," jawab Ami.

"Walah, pinternya ... Putrinya, Mbak Di?"

"Anak bos saya, Bu," jawabku simpel. "Kami permisi dulu, nggih, Bu."

"Iya, Mbak. Ibu tunggu kabarnya, ya."

"Beres," kataku sambil mengacungkan jempol.

Kami segera menuju kafe es krim di samping kebun anggrek. Ternyata ada jalan masuk yang menghubungkan kebun ini dengan pintu samping kafe.

Kafe cukup lengang. Kami segera memesan es krim satu mangkuk besar untuk Ami. Kuota makan es krimnya minggu ini masih penuh jadi dia boleh memesan es krim sepuasnya. Perpaduan vanila stroberi serta topping serutan coklat menjadi pilihannya hari ini. Aku sendiri memesan segelas coklat panas dan seporsi kecil es krim vanila almond.

Aku membiarkan Ami memakan sendiri es krimnya. Meskipun sedikit berlepotan, aku memang membiasakannya untuk tidak disuapi. Tentu saja untuk membentuk sikap mandirinya. Sesekali aku mengambil fotonya, terutama saat dia berlepotan es krim, hahaha.

"Wah, asyik sekali kelihatannya," sebuah suara memanggil kami. Aku menoleh ke arah sumber suara.

"Wah, Mbak Sekar," seruku. "Kok bisa kebetulan ketemu di sini?"

"Iya, nih. Mbak mengambil pesanan bunga ke Bu Siti. Mau dipasang di resort."

"Wah, keren dong. Resort  Mbak Sekar di daerah mana?"

"Di Gunungkidul juga. Di pantai."

Gunungkidul memang kaya dengan pantai-pantai yang indah. Potensi wisata yang sangat luar biasa.

"Sayang agak terbengkalai karena pandemi," lanjutnya. "Ini Mbak sedang mencoba menatanya kembali. Kalaupun nggak sampai untung, setidaknya jangan sampai rugilah," katanya. "Eh, Mbak boleh duduk di sini juga?" tanyanya.

"Oh, silakan, Mbak. Waduh, maaf, Mbak, saking asyiknya ngobrol sampai lupa," jawabku mempersilakannya.

"Ini siapa?" Matanya lekat menatap Ami.

"Anaknya Pak Bos, Mbak," jawabku. "Ami, salam dulu sama Bu Sekar," kataku kepada Ami.

Ami mengangkat mukanya. Dia mengacungkan tangan kanannya untuk meraih tangan Mbak Sekar dan menciumnya.

"Anak cantik, namanya siapa?" sapa Mbak Sekar. 

"Nama saya Ami, Bu Sekar," katanya.

Mata Mbak Sekar menatap lekat pada Ami. Lekat sekali, seakan ada magnet pada diri Ami yang membuatnya enggan memalingkan muka.

"Anak-anak di sekolah sering panggil Bunda kepada Ibu. Ami mau panggil Ibu dengan sebutan Bunda?" tanyanya.

"Baik, Bunda," jawab Ami tersenyum manis lalu melanjutkan menikmati es krimnya.

Dan Mbak Sekar ... kulihat senyumnya terkembang dan matanya berkaca-kaca. Atau aku yang salah lihat saja?

Prahara's Secret WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang