Kebenaran yang Terpampang Nyata

7.7K 1K 50
                                    

Akhirnya aku yang terpilih untuk menjadi donor. Pertama, dari segi fisik jelas aku menang daripada mereka. Yang kedua, hasil pemeriksaan menunjukkan aku bisa menjadi donor. Oleh karena itu, aku segera menuju ke unit transfusi darah. Sendirian karena tentu saja Ami lebih penting.

Namun, karena nyaris semalaman tak tidur dan juga belum sempat sarapan, setelah darahku diambil, tubuhku terasa lemas. Aku meminta izin kepada petugas untuk tidur barang sejenak dan mereka meminjamkan salah satu ruang istirahat petugas untukku tidur. Meskipun mengkhawatirkan keadaan Ami, karena kondisiku juga lemas, maka kupikir istirahat sebentar lebih baik. Toh, sudah banyak orang yang mendampinginya. Lagi pula sebentar lagi dia masuk ruang operasi, jadi percuma aku segera ke sana.

Entah berapa jam aku tidur, yang pasti aku bangun dalam keadaan yang lebih baik. Setelah kurasa tubuhku agak kuat, aku duduk, makan roti dan minum susu yang disediakan petugas di nakas dekat tempat tidur. Alhamdulillah, ini benar-benar pucuk dicinta ulam tiba karena memang perutku terasa lapar sekali. Akhirnya, setelah mengucapkan terima kasih kepada petugas, aku kembali ke tempat Ami dirawat tadi.

Sayang, aku tidak menemukan siapa pun di sana. Aku juga tidak membawa HP karena kutitipkan kepada Milly sebelum aku menuju unit transfusi darah. Akhirnya kucari mereka di ruang operasi dan benar, mereka sedang di ruang tunggu depan kamar operasi membentuk formasi dua baris.

Di baris depan, Prahara, Mbak Sekar, dan Mami. Di belakangnya, Milly dan Ibu. Oh, aku baru lihat Ibu. Ternyata tadi beliau sedang ke belakang jadi aku tak melihatnya. Karena ada kursi kosong di dekat Ibu, aku duduk di sebelahnya.

Ibu segera menggenggam tanganku. "Kamu baik-baik saja?"

Aku mengangguk. "Gimana Ami, Bu?"

"Masih di dalam. Kita doakan baik-baik saja. Kamu sehat, kan? Mukamu pucat."

Aku mengangguk. Oh, ibu mertuaku yang mungkin belum tahu bahwa aku menantunya memang sepeduli  itu padaku. Meskipun aku hanya sesekali ke rumahnya, tapi dia selalu baik dan perhatian. Selalu menanyakan kondisiku. Juga menyediakan makanan kesukaanku setiap kali aku di sana. Mungkin karena beliau melihat bahwa aku sayang sama cucunya jadi dia juga sayang padaku, hahaha.

"Tadi sempat tidur sebentar. Agak lemes, Bu, semalam kurang tidur," kataku.

Ibu tak lagi berkata-kata, tetapi tangan kami masih saling menggenggam. Oh, seperti ini rasanya kalau disayang-sayang. Meskipun aku tidak disayang Mami, toh aku disayang Ibu, Sudah cukup, kan? Mungkin tangan Mami sekarang sedang digunakan untuk menggenggam tangan Mbak Sekar, jadi tak cukup untuk menggenggam tanganku. Oh, tapi mengapa sekarang yang menggenggam tangan Mbak Sekar adalah Prahara? Dan mereka, tampak seperti orang tua yang saling menguatkan ketika anak mereka sedang tertimpa musibah.

Oh, ya, Tuhan, akhirnya semua kepingan teka-teki yang sepagian ini berkelindan di otakku bisa kutemukan juga benang merahnya. Sebelum melakukan donor darah tadi aku sempat bertanya-tanya apa mengapa Mbak Sekar begitu panik mendengar Ami kecelakaan. Kupikir hanya kebetulan saja dia sudah jatuh sayang pada Ami. Ternyata dia mamanya Ami. Oke cetak tebal di bagian kalimat itu.

Hal itu pula yang membuat golongan darahnya sama dengan Ami. Lalu, mengapa aku dan Mami juga memiliki golongan darah yang sama dengannya? Apakah karena dia juga anak Mami?

Tubuhku terasa panas dingin memikirkannya. Katakan aku telmi, tapi semua ini benar-benar baru terlintas dalam pikiranku saat ini.  Rupanya Ibu merasakan perubahan pada kondisi tanganku yang digenggamnya. Dengan sayang, direngkuhnya bahuku dan dirapatkannya dengan tubuhnya. Ibu tak berkata apa-apa, hanya mengelus kepalaku.

Oh, mengapa air mataku tiba-tiba menetes seperti ini? Bukannya bagus kalau mama Ami sudah kembali mendampinginya? Dia jadi punya mama, kan? Tak hanya Bidi dan Onty Milly.

Baru sebentar aku di pelukan Ibu, ada pengumuman bahwa Ami sudah dibawa ke ruang rawat inap dan keluarga bisa mendampinginya. Ah, lupakan dulu semua masalah. Kami segera berdiri dan bersiap menuju kamar inap.

Namun, baru aku beranjak dari kursi, Mami menarik tanganku.

"Didi ikut Mami sebentar, ya."

"Ke mana, Mi?"

"Makan. Tadi Mami belum sempat sarapan. Takut maagnya Mami kumat."

Aku memandang Ibu meminta pertimbangan.

"Didi ikut Mami saja. Toh ada banyak orang di sini. Lagi pula, yang bisa masuk ruangan hanya dua orang," kata Ibu.

Milly menyerahkan HP-ku. "Nitip Ami, ya, Mil."

"Oke, Kakak," sahutnya tersenyum. Aku mengacak rambutnya.

Anak itu memang sudah seperti adikku sendiri. Karena dia termasuk selebgram kecil-kecilan, dia sering meminta bantuanku untuk mengambil foto-fotonya. Juga, karena semua kakaknya sudah menikah dan sibuk dengan keluarga masing-masing, maka dia lebih banyak curhat kepadaku.

Kami menuju kafe yang terletak di seberang rumah sakit. Karena sudah lewat jam makan siang, kafe ini cukup sepi. Hanya dua meja yang terisi. Satu meja terisi oleh anak-anak muda yang sedang berdiskusi dengan seru. Satu meja lagi berisi pria setengah baya yang makan sambil membaca buku. Oh, rupanya kami berasal dari satu klub yang sama: makan sambil membaca.

Aku tahu, dari raut mukanya, Mami akan mengatakan hal serius padaku. Oleh karena itu, sebelum Mami mulai bicara, aku berkata,"Makan dulu, Mi. Ngobrolnya nanti saja."

Aku butuh energi dan oksigen sebanyak-banyaknya untuk mendengar apa yang akan Mami katakan. Yah, meskipun aku sudah menduga ke arah mana Mami bicara, setidaknya tubuhku tidak dalam kondisi lapar. Jangan sampai pingsan mendengar seburuk apa pun berita yang akan disampaikan oleh Mami.

Kami duduk berhadapan, makan dalam hening. Dan sedikit berlama-lama. Mungkin Mami juga sedang berusaha merangkai kata untuk mengatakan apa yang ingin disampaikan padaku. Namun, karena makanan kami akhirnya habis juga, maka mau tak mau kami pun harus memulai pembicaraan serius ini.

"Didi anak Mami yang paling pinter, kan?" Mami membuka pembicaraan.

Aku menatapnya.

"Jadi Mami yakin bahwa Didi bisa menyimpulkan dari apa yang kita alami seharian ini."

"Menyimpulkan apa, Mi?"

Mami menyentuh mulutnya, lalu telinganya, kemudian dahinya, kemudian mulutnya lagi. Gesturnya kalau gelisah memang seperti itu.

"Yang golongan darah itu ...."

"Oh ...," jawabku pendek. Aku memainkan sedotan di gelas. Aku tahu, aku bisa menolong Mami mengatakannya, tapi aku sedang tak ingin. Aku hanya ingin mengulur waktu untuk mengetahui jawaban yang sebenarnya. Karena kalau kebenaran ini tersibak, aku tak tahu harus bagaimana. Bagiku, tidak tahu adalah pilihan terbaik dan paling aman saat ini.

Sayangnya, aku tak punya pilihan. Dan Mami juga kupikir. Kami sudah mencapai batas ketika kami tak lagi bisa mundur dan mencari jalan lain. Satu-satunya adalah menghadapimya.

"Sekar Ayu Anindita adalah mamanya Ami."

Oh, oke. Itu sudah kutebak tadi. Dr.
rer. nat. Rr. Sekar Ayu Anindita nama lengkapnya.  Aku mengangguk. Bagus, dong, kalau Ami ketemu sama mamanya. Oh, tapi mengapa ada yang terasa pahit di sini?

"Dan Sekar atau Dita adalah anak Mami."

Aku menatap Mami, mencari kesungguhan di matanya. Mata itu basah kuyup kini. Air matanya mengalir deras. Haruskah aku mengusapnya dan memeluknya untuk menenangkannya?

Oh, aku tak sedekat itu dengan Mami untuk bisa menghiburnya di saat hatiku juga remuk redam seperti ini.

Prahara's Secret WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang