Memang viral. Berawal dari video Tiktok yang menunjukkan histeria seorang Jess, lalu dia kolab untuk membuat podcast dengan youtuber yang suka ngulik kehidupan artis itu. Jadilah gosip Laras berselingkuh dengan Prahara mendunia di jagat pergosipan tanah air.
Aku sendiri tidak bisa menyalahkan Jess atas sikapnya itu karena aku tahu sendiri bahwa ia adalah fans berat Laras. Ketika gadis-gadis seusianya lebih paham artis K-pop ketimbang artis dalam negeri, Jess lebih memilih Laras. Namun, tingkahnya kali ini benar-benar membuatku berada dalam kondisi terjepit.
Mas Gerry jelas menagih fakta peristiwa itu padaku, tetapi aku enggan. Jadi, berhari-hari ini aku mengurung diri di kos sambil menyelesaikan job-job freelance yang alhamdulillah lancar. Yah, meskipun tak banyak, setidaknya ada cadangan buat beli token listrik lah.
Mengurung diri berarti juga mematikan semua alat komunikasi kecuali email. Jadi, ketika hari kelima Mas Gerry datang ke kos dan langsung menyeretku ke kantor, aku pun pasrah saja.
"Siapa yang harus dipotret hari ini, Mas?" tanyaku mencoba tak peduli dengan muka masamnya.
"Nanti kamu juga tahu sendiri," jawabnya pendek.
"Mas Gerry marah?"
"Nggak, Srikandi. Gue sedang baik hati malah, jemput anak freelance macam kamu," sungutnya.
Aku tertawa. "Siapa suruh?"
"Sebenarnya lo ini siapa, sih? Cuma pegawai nggak jelas."
"Tapi Mas Gerry mau saja jemput aku," tukasku sambil tertawa keras-keras. Menertawakan dirinya. Dan diriku juga, yang tak tahu apa yang menanti di depan sana. Karena aku tahu, banyak fotografer di Trend yang lebih mumpuni ketimbang aku. Nggak akan Mas Gerry repot-repot menjemputku bila tak ada hal penting menantiku di depan sana.
Dan terjawab sudah. Mereka sudah menantiku di parkiran. Laras, Prahara, dan juga Mami. Tepatnya, mobil mereka datang sedikit lebih awal sehingga ketika aku menjejakkan kaki di tanah, mereka melihatku dan memutuskan untuk menunggu. Ketika di depan mereka, aku menganggukkan kepala, sekadar bersopan santun laksana orang asing yang tidak saling mengenal. Namun, suara Mas Gerry menghentikan aksiku.
"Di, kamu tentu tahu maminya Laras sekaligus manajernya, kan?"
Aku menatapnya.
"Beliau yang meminta kamu jadi fotografer untuk pemotretan hari ini."
Oh, baiklah. Baik. Mari kita ikuti apa mau mami.
Pemotretan itu sendiri berjalan lancar. Laras sudah begitu luwes di depan kamera. Adapun Prahara, kupikir postur tubuhnya yang tegap sudah cukup menutupi kekurangan ekspresinya. Matanya tak menyiratkan apa pun, dan senyumnya hanya segaris tipis. Tidak ada euforia berlebihan yang tampak dari pasangan yang harusnya sedang dimabuk asmara.
Oh, iya, ini foto sekaligus digunakan sebagai pengumuman pertunangan mereka akhir pekan ini, tiga hari ke depan. Jadi dalam hitungan hari, kembaranku ini akan benar-benar bertunangan dengan orang yang baru dikenalnya beberapa bulan belakangan.
Sepengamatanku, sih, yang benar-benar excited dengan pertunangan ini hanyalah mami. Dia dengan suara kerasnya mengundang semua kru untuk hadir di acara pertunangan mereka di sela-sela waktu istrirahat permotretan. Tentu saja sambil membagi-bagikan kopi yang dipesan lewat jasa daring.
"Jadi tunangan beneran?" tanyaku diam-diam kepada Laras yang mengambil tempat duduk di dekatku. Dia mengangkat bahu.
"Itu ide mami buat meredam ocehan si Jess Jess itu. Lagian, Di, kenapa sih, dia bisa tahu hubungan aku dengan Kemal? Dari kamu kan?"
Kali ini aku yang mengangkat bahu. Sama sekali tak ada niat dalam diriku untuk meluruskan apa yang terjadi. Toh, semua sudah telanjur.
"Sesuka itu dengan orang baru sampai yang lama bener-bener dilupakan?"
"Mmmm..."
"Gestur kalian berdua tidak menunjukkan orang yang sedang kasmaran."
"Setidaknya mami menyetujuinya."
"Yang ngeajalanin hubungan ini sebenarnya kamu apa mami, sih?" omelku agak keras.
"Sssst... jangan keras-keras. Aku nggak mau yang lain denger," tukas Laras. "Lagian, kamu mau yang lain curiga kalau kita kakak beradik?"
Ya, deh. Ya deh. Serah, Ter-se-rah.
Aku bangkit meninggalkan Laras, berlagak pergi ke toilet, kemudian memeriksa lighting. Sudah sempurna sebenarnya. Properti juga sudah diatur kembali. Jadi, kami melajutkan sesi foto terakhir tanpa banyak kata lagi. Sampai mereka pulang.
Laras sempat melambai padaku, tapi mami sama sekali tak mau memandangku. Mungkin Mami masih jengkel karena dianggap membuat nama Laras menjadi tercoreng. Ah, sudahlah. Itu bukan hal yang cukup layak dipikirkan mengingat Mami selama ini juga jarang memperhatikan perasaan orang lain.
Sepeninggal mereka, setelah memeriksa dan menyerahkan hasil pemotretan kepada Mas Gerry, aku pun berkemas-kemas pulang. Karena tadi berangkat dijemput Mas Gerry, terpaksa aku memesan ojol untuk pulang. Apa boleh buat, minta Mas Gerry nganter lagi juga nggak mungkin. Bos lho, itu, bisanya nebeng cuma kalau ditawarin saja. Lagian juga nggak enak, mesti semobil sama orang lain yang mukanya asem.
"Pulang, Mbak Di?" sapa Malik, OB yang baru bekerja sekitar 3 bulan di sini, ketika aku memasuki lobi.
"Ya. Kerjaan belum selesai, Lik?"
"Bentar lagi kelar, Mbak Di. Naik Mr. Blue? Kok aku tadi nggak lihat di parkiran."
"Ojol, Lik. Cuma belum dapet driver dari tadi."
"Loh, Mbak Di sudah dijemput, kok. Tadi ada mas mas ganteng yang nanyain Mbak Di di resepsionis."
"Siapa?"
"Nggak tahu, Mbak. Ganteng pokoknya. Mirip mirip bule gitu. Cuma logatnya nggak kaya bule."
Siapa? Satu-satunya deskripsi mirip bule yang logatnya nggak kayak bule hanya Mas Wibi. Tapi ngapain dia ke sini. Kan Mami sama Laras sudah pulang.
Benar. Ternyata Mas Wibi.
"Mas," sapaku.
"Eh, sudah selesai kerjaannya, Dek?"
Aku mengangguk.
"Ada apa? Tumben."
Dia tertawa.
"Pengin saja. Sudah lama nggak hang out sama kamu."
"Sendirian, Mas?" tanyaku dan kami mulai melangkah menuju tempat parkir.
Dia mengangguk. "Nggak sengaja tadi lewat sini. Habis meeting sama klien. Jadi Mas singgah saja."
Dulu, sebelum menikah Mas Wibi memang terkadang menjemputku di sini. Tapi sekarang sudah jarang. Tentu saja, menikah akan mengubah kebiasaan seseorang, bukan?
Hang out bagi kami tidaklah sama dengan orang lain. Kalau yang lain biasa ke mal, atau ke kafe, aku dan Mas Wibi lebih menyukai berkendara tanpa arah. Selama beberapa jam berkeliling, kami bisa bercakap apa saja. Mas Wibi selalu menyenangkan untuk diajak bicara. Namun, dia juga tak berisik ketika aku tertidur dalam perjalanan. Pokok hubungan kami bro-sist goal banget deh. Jarang berdebat dan selalu saling dukung. Termasuk ketika aku memilih hidup di kos ketimbang di rumah. Mas Wibi yang berhasil meyakinkan ayah bahwa aku layak dipercaya.
Ini pula yang membuat hubunganku dengan Mas Wibi lebih akrab ketimbang dia dengan Laras. Karena yah, tahulah, di mana ada Laras di situ ada Mami. Kami berdua adalah anak-anak yang tak pernah bisa dekat dengan Mami. Dan kami, masing-masing, memiliki alasan untuk itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Prahara's Secret Wife
RomanceDidi bisa menerima kalau Laras, saudara kembarnya berpacaran dengan Kemal, sahabat sekaligus cinta pertamanya. Sudah biasa jika ia mesti mengalah pada Laras yang fisiknya lebih lemah dibandingkan dengannya. Namun, bisakah dia menerima takdir bahwa i...