Deja Vu

6.5K 1K 38
                                    


Segenting apa masalah yang dialami Prahara Media sehingga bosnya yang tengah ada acara harus segera kembali? Sekritis apa sehingga semua orang tak tampak berada di tempat masing-masing? Bahkan lobi yang biasanya selalu terisi petugas pun kosong. Hanya satpam yang masih berjaga di pos dekat gerbang.

"Semua ada di atas, Mbak," kata Mas Slamet tiba-tiba dari belakang.

"Ada apa, Mas?" tanyaku.

"Ndak tahu e, Mbak. Pas saya datang tadi, saya dengar Bu Ariana memanggil semua orang untuk berkumpul di lantai 3. Ya, kecuali orang-orang macam saya dan Mas Eko," cengirnya. Eko adalah petugas keamanan yang saat ini tengah berjaga di posnya. Dan Mas Slamet hari ini izin datang agak siang karena harus mengantarkan istrinya ke dokter dulu.

"Walah, Mas, orang macam apa sih. Kita kan sama semuanya. Tugasnya aja yang beda," jawabku. "Aku langsung naik, ya, Mas."

"Iya, Mbak. Hati-hati naiknya."

"Iya, Mas. Aja kuwatir," seruku dan melangkah menuju lift.

Aku tidak langsung menuju lantai tiga, melainkan singgah sebentar di lantai 2. Untuk apa? Tentu saja untuk mengecek apakah anak-anak di lantai 2 juga berada di lantai 3. Ternyata sepi juga. Jadi, semua memang berada di atas. Ada masalah apakah? Seingatku ketika pagi tadi kami berangkat semuanya baik-baik saja. Dalam hati aku berdoa agar tak ada masalah genting di sini.

Dan ternyata oh ternyata, memang tak ada masalah genting sama sekali. Doa anak yang agak solehah memang mudah dikabulkan, kan? Sayangnya hal itu justru terasa mencubit hatiku. Karena yang kukhawatirkan sepanjang siang ini ternyata sangat baik-baik saja. Mereka bahkan tengah pesta pora di ruang terbuka yang kapan hari sempat aku dan Ami gunakan untuk bermain-main dengan si Trico.

Di ruang terbuka yang biasanya hanya ada beberapa payung besar itu kini sudah ditambah dengan payung-payung besar lainnya. Kipas angin besar terpasang di semua penjuru mata angin. Di mana-mana terdapat meja yang penuh dengan makanan, dari yang ringan sampai yang berat. Minuman segar dan beraneka ragam buah-buahan yang menggugah nafsu makan juga ada di sini. Duh, jadi lapar, kan. Adek dari pagi cuma kemasukan teh segelas sama arem-arem sebiji, Mas.

Suara musik terdengar ingar bingar. Kulihat beberapa artis Yogya yang sempat viral ada juga di sini. Orang-orang berjoget seirama musik dan tertawa-tawa. Riuh mengobrol dengan sejawat seakan ini adalah hari paling bahagia di dunia.

Dan aku? Dengan tubuh lelah dan wajah kuyu, sehabis bekerja demi kejayaan perusahaan ini, melihat mereka dari pintu yang terbuka. Melongo karena tak tahu ada apa di sini. Di mana Prahara? Kulihat dia tengah asyik berbincang dengan beberapa orang, tentu saja dengan Ariana yang nggelendot di sisinya. Tangan Ariana bahkan dimasukkan ke lekukan siku suami rahasiaku itu. Bolehkah aku marah sekarang?

Harusnya aku marah lalu mengobrak-abrik pesta mereka. Namun, aku memilih untuk berbalik arah. Pulang.

"Mbak Di ...," seru April yang ternyata sempat melihatku. "Sini. Pak Bos sedang ulang tahun."

Oh, jadi ini pesta perayaan ulang tahun suamiku "tercinta", ya. Yang harusnya aku yang mengucapkan paling awal, tetapi justru menjadi yang paling akhir tahu. Karena aku, dengan bodohnya, sama sekali tidak mengetahui tanggal lahirnya. Tapi, bagaimana aku bisa tahu tanggal lahirnya jika aku tak punya surat nikah dengannya? Apa iya, aku harus memintanya menunjukkan KTP lalu mencatatnya di pengingat ponselku?

Mengabaikan April, aku berbalik sambil melambaikan tanganku. Momen ini pasti sudah direncanakan oleh Ariana. Pantas saja dia membuang surat dari SMA Pelita itu. Tentu itu karena waktunya bertepatan dengan ulang tahun Prahara. Ketika aku menerima tawaran itu, ia pasti memutar otak untuk dua hal sekaligus. Pertama, Prahara harus kembali ke kantor, dan kedua, aku tak boleh ikut kembali ke kantor. Nyatanya, janji Prahara yang mengatakan bahwa Miko akan menjemput kami sama sekali tidak ditunaikan.

Oh, untung saja tadi aku sempat meminta Milly untuk menjemput Ami karena aku tak bisa menjemputnya tepat waktu. Jadi, anak itu sekarang pasti sudah berada di rumah Uti. Aku nggak mau Ami melihatku dalam kondisi marah dan kecewa seperti ini. Yah, seperti ini rasanya menjadi orang yang sengaja dibuang. Memang sih, sudah biasa juga di rumah seperti itu. Tapi Mami nggak sampai seperti Ariana begitu kok. Mami hanya tak biasa berkomunikasi denganku.

Menggunakan ojol, aku pulang. Di tengah jalan, niat pulang kubatalkan dan kuminta driver menuju ke arah alun-alun. Niatku, singgah sebentar di alun-alun dan menunaikan salat Asar di masjid sembari meredakan emosiku. Salat Zuhur tadi kukerjakan di musala sekolah ketika Alea mengisi materi kepenulisan novel.

Dan nyata adanya, meredakan emosi dengan salat memang ampuh. Setidaknya rasa marahku sudah menghilang. Namun, tetap saja hatiku diliputi oleh perasaan putus asa. Bagaimana tidak? Suami, yang meskipun nikahnya secara tak sengaja, yang selama beberapa waktu terakhir ini terasa begitu dekat, ternyata tidak kukenali sama sekali. Bukan hanya dari waktu ulang tahunnya, tapi juga dari sikapnya, Kepadaku, ia begitu baik dan perhatian. Namun, mengapa ia tak bisa melepaskan diri dari Ariana? Dia sering sekali melakukan skinship kepadaku, beberapa kali ciuman sampai making out, meskipun tak sampai melakukan HS, namun mengapa kalau Ariana nemplok seperti itu dia tak menolak? Padahal ia harusnya tahu kalau Ariana bukan muhrimnya, kan?

Oh, jadi apa yang harus kulakukan? Memberinya kejutan juga? Membelikannya hadiah? Tapi apa yang dia suka? Aku tak tahu. Apa yang dia inginkan, aku juga tak tahu.

Bingung, aku pun sengaja berlambat-lambat pulang ke rumah. Setelah menghabiskan rentang waktu asar-magrib di sekitar alun-alun, aku berjalan ke Malioboro, lalu nongkrong di sana sambil mengambil gambar. Mencoba menghapus energi negatif yang kini tengah aku tanggung, seperti yang biasanya aku lakukan. Namun, entah mengapa, kali ini semuanya terasa berat.

Aku benar-benar merasa seperti daun kering yang sudah bertahan di dahan, tetapi terpaksa harus jatuh juga. Melayang tak tahu arah ke mana aku akan berlabuh. Di Yogyakarta ini, aku sendiri tanpa kerabat. Beda dengan di Jakarta, setiap kali aku merasa sendiri, aku bisa menghubungi Mas Wibi atau Laras. Teman-teman di Trend juga baik, tidak nge-gap antara senior dan yunior. Asyik diajak nongkrong, bahkan sering digratisin juga.

Di sini, selain April, aku belum menemukan teman sehati. Selain karena aku orang baru, banyak orang yang memandangku dengan anggapan miring karena aku memperoleh keistimewaan dari Prahara. Belum lagi, mereka yang pro dengan Ariana, yang kutahu sering kasak-kusuk di belakangku membicarakan kedekatanku dengan Ami dan papanya. Jadi, dalam kondisiku yang seperti ini, aku tak tahu harus ke mana dan bagaimana.

Pulang ke rumah Prahara, tentu saja. Namun, hatiku masih berat mengingat adegan yang tadi aku lihat. Jadi, setelah bosan mengambil gambar, kuputuskan untuk ngemper di teras sebuah mal. Huh, rasanya deja vu dengan peristiwa sepuluh tahun silam. Ketika aku ngemper di Malioboro dan bertemu dengan novelis muda yang sedang menjajakan bukunya. Sayang, kali ini sang novelis tak lagi menawarkan bukunya di Malioboro. Atau, bolehkah aku berdoa supaya Tuhan mendatangkannya ke sini dan mengajakku pulang ke rumahnya (lagi)?

Prahara's Secret WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang