MUA

6.5K 928 27
                                    

Ketika akhirnya aku kembali ke kamar kulihat Laras sudah bangun dan salat Subuh karena saat ini dia sedang melipat mukena.

"Kamu nggak salat?" tanyanya padaku.

"Lagi dapet," jawabku singkat. "Hari ini kita mulai dengan apa?" tanyaku. Yah, setidaknya dengan pendampinganku, dia akan sedikit terhibur.

"Pengin vidcall sama Kemal," katanya sambil memainkan kuku-kuku cantiknya. "Boleh nggak?"

"Mau apa? Di sana masih tengah malam."

"Mau aja, Di. Kangen. Mumpung masih belum jadi milik orang."

"Yakin? Nanti kamu nggak mau tunangan lagi sama Prahara."

Dia mengangguk.

"Bener katamu. Selama ini aku terlalu ngikut kata Mami. Sampai-sampai aku sendiri nggak punya kebebasan menyampaikan pendapat sendiri."

"Tapi aku nggak mau menanggung risikonya, lho."

"Iya... cepetan telepon," katanya sambil mengulurkan HP-nya padaku.

"Kenapa nggak pakai HP kamu?"

"Sudah, jangan banyak omong. Telepon aja."

"Iya," sungutku sambil mulai mencari nomor Kemal.

Setelah beberapa kali nada dering, seraut muka ngantuk muncul di depanku.

"Ya Allah, Diii ... jam berapa ini. Baru juga merem abis ngerjain tugas," sungutnya.

"Bukan aku. Tuh, ada yang mau ngomong sama kamu," kataku sambil mengoper HP. Setelah itu, segera aku ke balkon untuk memberikan privasi kepada mereka berdua.

Dari balkon kulihat semburat merah sudah mewarnai langit timur. Aku menahan desakan untuk tidak menempelkan telinga di kaca jendela, meskipun rasa penasaran benar-benar menggoda. Memberikan kesempatan kepada Laras untuk berbicara dengan Kemal adalah hal terbaik yang bisa kulakukan saat ini. Setidaknya, jika pun mereka akan berpisah, ada closure bagi hubungan mereka. Tak ada lagi yang mengganjal di hati. Lalu move on dengan pasangan masing-masing.

Untungnya ada kursi di balkon ini. Jadi aku bisa menunggu sambil duduk dan kembali terkantuk-kantuk menahan bosan karena TK ada apa pun yang bisa kulakukan. Sampai akhirnya Laras datang dan memelukku sekencang-kencangnya.

"Aku nggak sanggup, Di, aku nggak sanggup pisah dengan Kemal," katanya sambil sesenggukan.

Aku memeluknya erat, tanpa mengatakan apa pun. Air mataku ikut mengalir. Yah, secinta itu Laras pada Kemal. Aku tahu itu. Kalau dia tak cinta, nggak mungkin dia yang nembak Kemal duluan, kan? Nggak mungkin dia rela bela-belain ke kampus Kemal untuk mengantarkan makanan agar Kemal tak sakit di tengah kesibukannya yang luar biasa. Nggak mungkin pula rela LDR-an selama dua tahun ini. 

"Kamu kuat," kataku. "Putuskan keinginanmu mumpung semuanya belum telanjur."

Ia tak menjawab karena air matanya masih saja keluar.

Sampai setengah jam kemudian kami masih duduk di balkon. Sampai Mami masuk ke kamar dan menemukan kami berdua di sini. Laras segera mengusap pipinya, menghapus jejak air mata yang masih menempel. Aku menyenggolnya, memberikan isyarat untuk segera menyampaikan apa keinginannya. Namun, dia mengerut. Tak berani menatap wajah cantik Mami.

"Kenapa?"

"Nggak, Mi. Semalem tidur kemalaman, jadi sembab ini muka," sahut Laras.

Aku menyikut pinggangnya. "Aw!" jeritnya.

"Ada apa lagi? Kalau mukamu seperti itu, nanti jelek hasil riasannya. Segera mandi, siapa tahu bengkaknya hilang," kata Mami lalu keluar kamar.

"Dan kamu, Didi, jangan lupa pakai kebaya juga nanti," kata Mami setelah membalikkan badan.

"Buat tapa, Mi? Kan Didi jadi tukang foto. Ngapain mesti pakai kebaya."

"Jangan macem-macem kamu. Ini hari besar adikmu. Mami sudah manggil si Rio buat motret acara nanti."

Yah, begitulah kalau Bunda Ratu sudah bertitah.

Dan Laras, meskipun tadi nangis-nangis karena tidak mau pisah dengan Kemal, tetap saja mengikuti apa kata Mami.

Jadilah, pagi ini setelah mandi dan sarapan, aku mulai membantu mengatur tempat. Karena halaman rumah Ayah cukup luas, acaranya tidak menyewa gedung. Toh, kata Ayah tamunya paling sekitar sepuluh orang. Adapun tuan rumah, karena kami adalah perantau yang kerabatnya semua ada di Jawa Tengah, maka hanya kami berenam ditambah beberapa orang tetangga yang rumahnya benar-benar dekat dengan kami. Istilahnya mepet pager. Kemungkinan yang agak banyak adalah para wartawan yang mengetahui acara ini. Tapi mereka hanya diberi waktu untuk konferensi pers setelah acara ini selesai.

Selepas asar, Laras mulai didandani. Ya Tuhan, sama sekali tak ada yang memperhatikan betapa pucatnya mukanya. Mami terus saja asyik memberikan instruksi ini itu untuk penampilan Laras yang paripurna. Dan aku, demi kesehatan mentalku, memilih pura-pura sibuk ini itu juga supaya bisa menjauh dari Mami.

Sampai akhirnya, Mami sendiri yang menyeretku ke depan MUA untuk dieksekusi juga.

"Mbak Didi ini kembarannya Mbak Laras to. Meskipun nggak bule kayak Mbak Laras, tapi nggak kalah cantik kok," kata Mbak si asisten MUA mengambil hatiku. Logatnya Jawa medok. Huh, mencari orang Jawa di sini mudah banget pokoknya.

"Sapa ngomong, Mbak. Aku ki anak pek-pek-an," jawabku pakai bahasa Jawa.

"Lho, bisa bahasa Jawa mbake."

"Ya bisa lah, mbak. Jenengku wae Srikandi. Reti Srikandi, to? Sing duwe panah kae lho. Nek jeh ngecipris wae tak panah awakmu, Mbak."

Dia tertawa," Hihihi, mbake lucu deh. Coba ke sini dari tadi, Mbak Laras pasti akan tertawa-tawa. Nggak nangis melulu."

Aku menoleh pada Laras.

"Nangis seneng kuwi, Mbak. Ntuk bojo nggantheng, gagah, gedhe dhuwur."

"Hahaha, bener-bener, Mbak. Mas Prahara ki senajan wis rada tuwa tapi ngganteng gak ana sing ngalahna, ya Mbak."

"Umur pira to?"

"Telung puluh lima ketoke."

Walah, ini percakapan kenapa jadi alih kode ke bahasa Jawa? Untung nggak ada yang roaming jadi nggak menimbulkan fitnah. 

"Tiga puluh lima sama dua empat. Agegap-nya jauh, Mbak."

"Kuwi nek wong ndesa biasane wis duda," kata salah seorang asisten.

"Bener, Mi?" tanyaku kepada Mami. "Prahara ini duda apa memang bujang lapuk? Kayaknya nggak mungkin deh bujang lapuk. Ganteng gitu," kataku sembrono.

"Hus, ngomong apa kamu. Yang penting Prahara itu tidak punya istri."

"Iyalah, kalau punya istri nanti Laras jadi pelakor dong."

"Sudah jangan banyak ngomong." Nah, itu jurus andalan Mami ketika ia kalah debat denganku.

"Iya, Mbak Didi. Lebih baik softlens-nya dilepas dulu saja. Nggak usah pakai softlens-lah. Lebih cantik alami."

"Hih, siapa yang pakai softlens? Ini mata asli, Mbak," kataku sambil membuka kelopak mata bawahku dengan ujung jari.

Gadis itu terkejut.

"Masya Allah, Mbake ki ya bule tah jebul."

"Bule gosong," jawabku.

Iya, Laras mewarisi kulit dan wajah bule ayah yang diturunkan dari Kakek dan mata gelap Mami. Sedang aku, mewarisi struktur wajah Mami dan mata kebiruan milik Kakek. Jadi, setiap kali berkumpul bersama orang lain yang tak mengenal keluargaku, aku lebih memilih memakai kacamata sedikit gelap untuk menyamarkan warna mataku atau justru memakai softlens hitam supaya warna mataku seperti orang Indonesia pada umumnya. Bukan apa-apa sih, malas saja menjelaskannya pada orang-orang. Dan hari ini, karena di rumah Ayah, aku tidak memakai kacamata maupun softlens. Ternyata ketahuan juga sama mbak MUA. Ah, sudahlah.

Prahara's Secret WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang