Engkau adalah mentari pagi
Hangat menyinari
Pemberi harapan bagi duniaku yang gulita
Engkau membersamaiku dalam suka dan duka
Dalam resah dan bahagia
Bersama berbagi canda dan tawa
Terkadang juga lara
Bahagiaku karenamu
Meski kutahu, kau tak akan selalu di sisiku
Berulang kali kuputar rekaman suara itu. Tidak jernih, penuh suara deru angin sebagai backsound, tapi sejujurnya puisi tersebut berhasil membawaku kembali ke suatu masa. Masa ketika aku dan Kemal masih SMA.
Puisi yang tak indah itu direkam Kemal ketika menunggu hujan reda di puncak Merbabu. Desember tahun ketiga di SMA ketika itu. Destinasi yang dipilih oleh teman-teman untuk menutup tahun saat itu adalah puncak Merbabu. Lumayan dekat, tak terlalu jauh dari Semarang. Tahun itu pula aku berniat mengakhiri kegiatan muncak karena mau persiapan SBMPTN. Yah, karena aku tak mau mengandalkan diterima SNMPTN, maka aku belajar keras supaya lolos masuk PTN melalui jalur SBMPTN.
Cuaca bersahabat ketika kami naik. Cerah tak ada hujan meskipun Desember sudah di ujung. Namun, menjelang turun, kabut tebal menghadang. Jarak pandang mungkin tak sampai satu meter. Gerimis yang turun membuat jalan setapak yang harus kami lewati menjadi licin. Kami memutuskan untuk berhenti sejenak sambil menunggu kabut naik. Saat itulah Kemal merekam puisinya di gawaiku. Sementara aku, mengambil gambarnya yang tampak begitu syahdu.
"Serius bener, baca puisinya," kataku sambil menghenyakkan pantat di sisinya. Dia tak menjawab, hanya menatapku dalam-dalam. Lama sekali, sampai aku jengah dan membuang pandangan ke tempat lain, di mana teman-teman yang lain juga menunggu kabut menipis.
"Cuma terbawa suasana," katanya sambil mengacak rambutku. Normalkah jika jantungku terasa melompat-lompat? Berdegup sedemikian kencang seperti bedug yang bertalu-talu menjelang hari raya. Penuh euforia yang tak bisa kuejakan dalam kata.
"Mau melanjutkan ke mana setelah ini?"
Aku mengangkat bahu.
"Ayah memintaku ke Jakarta. Tapi kakek sendirian. Kamu?"
"Entahlah. Aku ingin ke Jakarta juga sama kamu. Tapi biaya hidup di sana mahal."
"Kamu kan bisa pakai bidikmisi, Mal. Lumayan bisa nambah biaya hidup."
Dia menatap jauh ke depan.
Kupikir itu percakapan serius kami sebagai sahabat yang terakhir. Setelah itu, kami tak pernah lagi berbicara dengan serius. Sebisa mungkin aku menghindarinya, setelah kejadian yang menimpaku saat turun dari Merbabu.
Karena kecerobohanku sendiri, aku tergelincir sehingga kakiku terkilir. Kemal membawaku pulang ke rumah dan disambut dengan wajah-wajah khawatir seisi rumah: kakek, ayah, mami, dan tentu saja Laras. Untung saja tidak parah. Cukup diurut dua kali, kakiku sudah pulih kembali.
Sayang, Laras yang selama ini hanya melihat Kemal sekilas-sekilas, kemudian bisa bercakap akrab dengannya. Setelah itu, setiap pembicaraannya hanya diisi dengan Kemal, Kemal, dan Kemal. Aku pun menjauh dari mereka. Mencoba berdamai dengan kenyataan karena jika Laras sudah menginginkan sesuatu, maka Srikandi tak akan bisa meraihnya. Momen menghadapi SBMPTN menjadi alasan yang tepat bagiku untuk menjauh dari Kemal dan membiarkan mereka lebih dekat.
Jadi, ucapan Prahara sore tadi tak sepenuhnya salah. Hampir seratus persen benar malah. Bagian salahnya adalah aku sama sekali tak berniat mendekatkan diri kepada Kemal kalau nanti mereka putus. Tak ada dalam kamusku mesti menjalin hubungan dengan bekas pacar saudara sendiri. Bisa dibayangkan betapa canggungnya nanti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Prahara's Secret Wife
RomanceDidi bisa menerima kalau Laras, saudara kembarnya berpacaran dengan Kemal, sahabat sekaligus cinta pertamanya. Sudah biasa jika ia mesti mengalah pada Laras yang fisiknya lebih lemah dibandingkan dengannya. Namun, bisakah dia menerima takdir bahwa i...