Apa yang diharapkan dalam perjalanan dua orang yang tidak saling mengenal? Bercakap-cakap panjang? Atau cukup sepatah dua patah kata sekadar berbasa-basi? Kalau aku, tergantung siapa temannya. Kalau temannya oke, aku ayo aja. Tapi kalau temannya diam saja dan tak ada niatan untuk memulai percakapan, maka aku pun diam.
Maka, itulah yang terjadi dalam perjalanan pulang ke rumah kos yang memakan waktu hampir satu jam perjalanan. Satu jam tanpa bicara. Hening yang seharusnya mencekam, tetapi ternyata aku enjoy saja dengan keheningan tersebut.
Yah, bisa dibilang meng-enjoy-kan diri karena sepanjang jalan pikiranku tersita untuk sekadar menyampaikan pada lelaki yang memegang kemudi itu tentang Kemal. Kemal, kekasih dari kekasihnya. Atau, Kemal, lelaki yang kekasihnya dia jadikan sebagai kekasih. Hihi, ternyata aku terkontaminasi oleh sinetron-sinetron yang judulnya malah bikin pusing itu.
Namun, hening saja juga tak enak hati. Setidaknya ada basa basilah, supaya tidak terlalu lengang di dalam mobil. Lengang? Iya. Prahara bahkan tak memutar musik sama sekali.
"Em...."
"Aa..."
"Lady first," katanya kemudian.
"Ah, maaf," jawabku. "Kamu duluan."
"Tak apa," jawabnya. "Saya hanya tak enak jika kamu merasa nggak nyaman dengan keheningan ini."
"Saya biasa bekerja dalam keheningan."
"Oh."
"Kok cuma oh?"
Aku hanya mengangkat bahuku.
"Lalu mesti kubilang apa? Bukankah kamu suka keheningan? Jadi aku tak perlu membangun basa basi yang tak perlu."
Dia terkekeh.
"Ternyata kamu banyak omong juga."
"Aku hanya bertindak sopan sebagai tamu."
"Ini mobil, bukan rumah. Kamu bebas melakukan apa saja."
"Baiklah," kataku. Jadi dia memang tidak ingin berbasa-basi, kan? Okelah, sebaiknya aku memang tidak perlu mengajaknya berbicara.
Namun, sebenarnya ada satu hal yang ingin kutanyakan sejak mendengar kabar pertunangan mereka. Hanya satu kata. Mengapa. Mengapa dia memutuskan untuk serius dengan Laras sementara Laras punya seorang kekasih. Atau, tidakkah dia tahu tentang pacar Laras?
Hanya saja nyaliku tak terlalu besar untuk menanyakan secara langsung. Beberapa kali aku hendak bertanya tapi akhirnya urung kulakukan. Beberapa kali juga aku menoleh kepadanya untuk sekadar mengumpulkan keberanian.
"Ada yang mengganggu?" tanyanya tiba-tiba memecahkan keheningan.
"A-apa?"
"Kamu beberapa kali memandangku dengan penuh perhatian. Tidak mencoba menikung adikmu sendiri, kan?"
"Hah?" Entah seberapa besar mataku melotot menatapnya.
Dia tertawa kecil. Eh, ada lesung pipit di pipi kirinya. Manis juga, ups.
"Sebenarnya bukan saya yang mau nikung adik saya," jawabku sebal. Oke. Aku ber-saya sama dengan dia yang juga menggunakan "saya" untuk berbicara denganku. "Tapi kamu," lanjutku setelah beberapa saat.
Dia menoleh padaku sebentar, tapi tak mengatakan apa-apa.
"Kemal. Nama pacar Laras, Kemal. Sampai sekarang mereka belum putus. Kemal bahkan sedang memantaskan diri untuk bisa melamar Laras di hadapan Mami. Mengapa kamu justru menikungnya? Kamu bahkan tak mengenal seberapa baiknya dia. Seberapa berat bebannya untuk bisa meraih restu Mami. Dan Anda, Bapak Prahara Mahendra, dengan mudahnya menikung lelaki yang telah berjuang sedemikian jauh untuk bisa mendapatkan Laras."
Hah, ternyata emosiku memuncak lagi. Iya, memang sebegitu beratnya beban Kemal. Pertama kali Laras memperkenalkan Kemal sebagai pacarnya, Mami langsung menyatakan sikap. Tidak setuju. Tanpa alasan apa pun.
Padahal sebelumnya, Mami sudah cukup mengenal Kemal. Beberapa kali saat pulang ke Semarang menengokku, Mami bertemu dengan Kemal. Awalnya keluargaku memang mengenal Kemal sebagai sahabatku. Sahabat terbaik semasa SMA.
Laras yang ketika itu sudah tinggal di Jakarta tidak pernah berteman dengan Kemal. Pertama bertemu, Laras jatuh hati kepada sang Ketua OSIS. Sang juara OSN Matematika. Sang kapten tim basket yang sering membawa kemenangan bagi sekolah. Pecinta alam yang setiap akhir semester selalu mendampingiku menjelajah gunung-gunung.
Bagi Laras, Kemal adalah dunia merah jambunya. Pengalamannya home schooling semasa kecil membuat pergaulannya terbatas. Dia silau melihat Kemal dengan seabreg kegiatannya. Bagi Laras, Kemal adalah mataharinya.
Maka, aku menyingkir. Memberikan kesempatan kepada Laras untuk mendekat dengan Kemal. Selepas SMA, mereka resmi memproklamirkan diri sebagai pasangan. Kemal bahkan kuliah di Jakarta untuk bisa dekat dengan Laras. Meskipun dia harus bekerja untuk mendapatkan penghasilan tambahan guna menambal biaya hidup yang tidak terkover oleh Bidikmisi.
Sayang, sarjana saja tak cukup bagi Mami untuk membuatnya layak menjadi menantu. Sampai Kemal kuliah di Jerman, restu itu belum turun juga. Dan sekarang, ada Prahara Mahendra yang dianggap Mami pantas untuk seorang Larasati Putri Sugiarto.
Lihat, lelaki itu bahkan sekarang sedang tertawa kecil yang terlihat sangat menyebalkan.
"Saya bukan tukang tikung," katanya sesaat kemudian. "Kalau Laras punya pacar di Jerman, tentu saja dia tidak keberatan datang ke Paris, bukan? Nyatanya sebulan kami di sana tak sekali pun dia muncul ke lokasi syuting."
"Dia muncul," sambarku geram.
"Tidak. Ada banyak orang Indonesia ke sana, tapi tak satu pun yang mengaku sebagai pacar Laras."
"Dia ke sana. Tapi tim kalian melarangnya. Bahkan dia sudah mengorbankan waktu di tengah-tengah ujiannya hanya agar bisa bertemu dengan Laras," tukasku.
Dia diam sejenak.
"Saya tidak tahu," katanya menghela napas panjang. "Tapi Mami pasti tahu."
Yah, yang dilemparkannya adalah bola panas yang jelas tak akan bisa aku sanggah karena aku tahu memang itu kebenarannya. Kemal masih tak layak untuk Laras.
Kupijit-pijit dahi kananku yang mendadak nyeri.
"Tak usah dipikir sampai pusing begitu. Mengalirlah seperti air. Siapa tahu ada hikmah yang bisa kamu ambil dari kejadian ini."
"Hikmah apa yang bisa kuambil kalau adikku dan sahabatku harus mengorbankan kebahagiaan mereka?"
"Mana saya tahu, Mbak," jawabnya santai. "Barangkali ada yang bisa memunguti kembali puing-puing cinta pertamanya yang selama ini retak dan merekatkannya kembali menjadi bagian yang utuh?"
Duh, kalimatnya, mengapa jadi susah dicerna begitu, sih.
"Maksudnya?"
"Maksud saya, siapa tahu kamu bisa menjalin kembali cinta tersembunyi antara dua orang yang pernah terjebak friendzone."
Apa? Mengapa dia menuduhku seperti itu?
"Saya tidak menuduh. Saya hanya membaca tindakan. Tindakan kadang lebih murni dari mulut yang suka berbohong."
Kalau dia main catur, dia tentu akan bilang skak mat. Yeah, karena aku memang tak bisa menjawabnya dengan kata-kata sama sekali.
Untung saja, mobil segera berhenti di depan rumah kosku.
"Terima saja, Kakak Ipar," katanya jahil sambil menarik tuas rem tangan.
Aku menjawabnya dengan bantingan pintu mobil. Masih kudengar tawanya yang kurang ajar.
"Jangan lupa, tanya Mami. Mengapa dia ngotot ingin putrinya menikah dengan lelaki yang baru beberapa bulan dikenalnya," katanya sambil menjulurkan kepala melalui jendela mobil, sebelum sesaat kemudian melajukan mobilnya dengan deruman yang tak kalah keras dengan bantingan pintu yang baru saja kulakukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Prahara's Secret Wife
RomanceDidi bisa menerima kalau Laras, saudara kembarnya berpacaran dengan Kemal, sahabat sekaligus cinta pertamanya. Sudah biasa jika ia mesti mengalah pada Laras yang fisiknya lebih lemah dibandingkan dengannya. Namun, bisakah dia menerima takdir bahwa i...