"Saya berniat meminang putri Om, Srikandi Atmaja Sugiarto."
Lantang, tegas, tanpa ragu. Jantungku bertalu-talu. Di satu sisi aku merasa ini keputusan terbaik, mengingat kondisi Laras yang seperti itu. Di sisi lain, hidupku dipertaruhkan di sini. Tapi toh, ini hanya setting-an saja. Nanti kalau kondisi sudah membaik, kami bisa memutuskan ikatan pertunangan ini.
Diam-diam aku mengamati reaksi orang-orang di sana. Para tetangga tentunya menunjukkan raut muka keheranan, tapi tidak bersuara sama sekali. Ayah termangu pucat, tapi kemudian menutupinya dengan senyuman. Mami? Entahlah. Aku tidak bisa membaca ekspresinya. Senyum bahagia masih terpampang di wajahnya.
Pakdhe dan budhe Pras tersenyum lebar, sedangkan kedua putranya tertawa lirih sambil menggoda Prahara.
"Mantep, Mas."
"Nak Prahara tidak salah lamar, kan?" tanya Ayah.
"Tentu saja tidak, Om. Saya sudah beberapa kali bertemu Dik Didi dan merasa klik."
"Baiklah kalau begitu. Tentu saja saya hanya bisa menerima kalau anak saya Didi mau menerima pinangan Nak Prahara," kata ayah akhirnya setelah mengambil napas panjang. "Ndhuk, Di," lanjutnya. "Ini ada pinangan untukmu dari Nak Prahara. Apakah kamu mau menerimanya?"
Aku mengangguk. "Mau, Ayah," sahutku tanpa berpanjang kata.
"Yakin?"
Aku mengangguk. Pakdhe Pras tertawa.
"Bagaimana nggak yakin, Dik Agung. Mereka bahkan sudah berani pamer kemesraan di depan kita, lho. Apa itu istilah anak mudanya..."
"PDA, Pah," sahut adik Prahara.
"Iya, PDA," kata Pakdhe sambil tertawa, "bahaya ini kalau kita biarkan mereka berdua saja."
Kupikir wajahku memerah karena rasanya panas sekali. Ayah hanya tersenyum simpul, mungkin malu melihat tingkah anaknya yang dikritik oleh teman sejawat yang merupakan atasannya sekaligus pimpinan taklim di kantornya. Dan akhirnya, aku pun hanya bisa menunduk karena memang tak bisa menyangkal apa yang dikatakan oleh Pakdhe.
"Saya pikir itu kebetulan saja, Mas," ujar Mami.
Budhe dan Pakdhe Pras mengangguk-angguk.
"Tapi saya melihat mereka memang klik, kok, Jeng."
"Iya, saya juga setuju. Lebih baik segera disahkan saja, Dik Agung. Tak baik membiarkan mereka berdua dalam hubungan sebagai tunangan saja. Takutnya kalau ada apa-apa, kita sebagai orang tua yang mesti menanggung kesalahan mereka."
Aku mendongak, menatap orang-orang yang bisa kulihat dalam jangkauan pandanganku. Ah, bagaimana bisa ekspresi mereka seserius itu?
Ayah. Kulihat beliau kicep, tak bisa menolak pendapat Pakdhe Pras. Iyalah, siapa yang bisa membantah ucapan orang yang biasa memimpin kajian agama di kantornya?
"Jadi, bagaimana kalau langsung kita resmikan saja?"
Apa?
"Pra, kamu bawa uang berapa di dompetmu? Itu cincin yang dipegang Budhe, ada namamu tertulis di sana apa tidak?"
"Ada, Pakdhe. Kalau uang hanya sedikit, tapi kartu debit banyak," sahutnya disambut dengan suara tertawa hadirin.
"Baiklah. Syaratnya sudah cukup Pakdhe pikir. Mempelai sudah, mas kawin ada, wali dan saksi juga lengkap. Bagaimana, Saudara-saudara? Apakah setuju kalau mereka berdua langsung dinikahkan saja?"
"Tapi, Pakdhe...."
Mami mencubitku. "Terima saja," bisiknya.
"Nggak mau, Mami. Dia itu kan ...," Cubitannya semakin kencang. Ya Allah, ini si Mami kenapa, sih? Jangan-jangan aku memang anak tiri ini. Sampai segitunya mengorbankan aku. Masak aku mau dikawinkan eh dinikahkan dengan mantan calon tunangan adikku sendiri. Nikah kan beda sama tunangan. Kalau gagal tunangan, statusku masih gadis. Lah, kalau sampai menikah, nanti kan jadi janda kalau segala huru hara ini sudah selesai. Ups, mungkin janda rasa perawan, ya, soalnya Prahara juga aku yakin nggak akan mau nyentuh aku. Secara dia sudah pernah sama yang lebih cantik macam Laras, mana mau dia melirikku.
Lagi pula, kulihat dia juga santai-santai saja. Jadi, kalau dia tidak merasa keberatan, mengapa aku mesti bersusah susah juga? Ah, sudahlah. Mari kita mengikuti arus saja. Toh, meski janda nanti juga masih segelan, kan? Lagi pula, secara hukum negara, nikah siri begini tidak memiliki kekuatan hukum.
Lalu semuanya berjalan dengan cepat. Secepat keputusanku untuk menggantikan Laras, secepat itu pula aku menjadi istri seorang Prahara Mahendra. Seperti mimpi rasanya ketika Mbak Anggi membawakan kerudung panjang milik Mami untuk ditangkupkan di atas kepala kami. Lalu dia menjabat tangan ayahku dan dengan lantang mengucap akad. Dalam sekali tarikan napas. Tanpa salah kata sama sekali. Oke, poin untuknya. Lalu, aku pun mencium tangannya dan dia mengecup keningku. Dalam dan panjang, sebagaimana pengantin normal lainnya.
"Ada masalah, Mi," kata Mas Wibi sambil menunjukkan ponselnya kepada Mami setelah akad dilaksanakan.
Ternyata CCTV rumah yang memang bisa terpantau dari ponsel Mas Wibi. Layar di ponselnya menunjukkan beberapa wartawan yang sedang menunggu kabar berita dari dalam.
"Apa yang harus kita katakan pada wartawan?"
"Biar Mami yang menghadapi. Nak Pra mendampingi Mami, ya. Didi temani Budhe ke ruang makan duluan."
"Iya, Mi."
Jadi, aku pun mempersilakan para tamu untuk menuju ruangan yang sudah disiapkan. Bukan ruangan, sih. Konsepnya pesta kebun, jadi makan besar diatur di meja yang diletakkan di taman. Kursi-kursi ditata dalam susunan yang santai. Beberapa orang sudah menuju gazebo untuk menikmati makanannya di sana.
"Budhe senang kamu yang jadi istrinya Prahara," kata Budhe tiba-tiba. Aku menghentikan gerakanku yang tengah menyendok nasi.
"Jadi istrinya Prahara itu tidak mudah. Dia anak sulung, adiknya banyak dan ibunya janda. Perlu perempuan kuat sepertimu untuk menjadi pendampingnya," lanjutnya.
"I-iya, Budhe," jawabku setelah sesaat. Aku benar-benar terpana dengan kata-kata Budhe.
"Jangan khawatir," katanya. "Semua akan baik-baik saja," senyumnya.
Aku tersenyum canggung. Tak tahu mesti berkata apa. Karena aku juga tak tahu apakah Budhe tahu bahwa yang menjadi pengantin keponakannya hari ini bukanlah gadis yang awalnya akan dilamar.
Aku tidak bertemu lagi dengan Prahara setelah dia kembali dari menemui para wartawan. Rupanya dia bergabung bersama para lelaki untuk ngobrol ala mereka. Asyik sekali kelihatannya. Bahkan sampai Pakdhe dan keluarganya pulang, ia masih asyik berbincang dengan ayah dan Mas Wibi. Yah, ia ditinggal di sini, ya. Di bawah atap yang sama dengan istri dan mantan calon tunangannya.
Karena ia tak kunjung mendekatiku, maka aku bergegas ke kamar. Lagi pula, aku sudah lelah. Peduli amat dia mau ke mana dan ngapain setelah ini. Toh, aku cuma istri abal-abal saja. Bagaimana tidak, tadi saat jumpa pers, Mami dan Prahara mengatakan bahwa acara tunangan sudah berlangsung dengan lancar. Dikatakan pula kalau Laras terpaksa tidak bisa ikut karena kelelahan. Foto yang ditunjukkan adalah fotoku dari kejauhan dengan wajah tertutup sebagian oleh tubuh Prahara. Tak ada yang curiga itu bukan Laras karena kami memang sama tinggi. Dengan kebaya pas badan, tubuhku juga tampak lebih langsing. Pokoknya merek bilang kami pasangan yang serasi.
Dari mana aku tahu info itu? Tentu saja dari semua akun gosip yang eksis di medsos. Termasuk akun Lambe Ndower yang sering dijadikan acuan olah para pemburu berita. Jadi, semua netizen tahunya ya Prahara tetap bertunangan dengan Laras. Ah, sudahlah. Mendingan begitu saja ketimbang aku dianggap sebagai pecator (perebut calon tunangan orang), kan?
Jadi, sekarang aku sebaiknya mandi dan tidur nyenyak. Karena aku yakin bahwa Prahara Mahendra yang sekarang menjadi suamiku itu sudah diurus oleh Mami.
Sambil bersenandung aku menyelesaikan mandiku dan memakai bathrobe pendek yang tersedia di kamar mandi. Namun, tak terkata kagetku ketika membuka pintu kamar mandi, kulihat sesosok laki-laki di sana. Ia berdiri di depan rak buku di kamarku sambil memegang salah satu novel favoritku. Kekasih Sang Pengacara. Karya Prahara Mahendra.
*PDA: pblic display of affection: aktivitas yangmenunjukkan afeksi pada pasangan di depan umum
KAMU SEDANG MEMBACA
Prahara's Secret Wife
RomanceDidi bisa menerima kalau Laras, saudara kembarnya berpacaran dengan Kemal, sahabat sekaligus cinta pertamanya. Sudah biasa jika ia mesti mengalah pada Laras yang fisiknya lebih lemah dibandingkan dengannya. Namun, bisakah dia menerima takdir bahwa i...