Baiklah. Mungkin ini sedikit kurang sopan karena kesannya aku menyalahkan apa yang sudah ada di Novelaku selama ini. Maka, demi kenyamanan semua orang, aku pun mengatur eskpresi dan intonasiku kemudian mulai membuka file presentasi yang sudah kupersiapkan sebelumnya.
"Mohon maaf, Bapak dan Ibu. Mari kita fokuskan saja pada apa saja kelemahan Novelaku dan bagaimana solusinya. Namun, tentu saja solusi tanpa tindak lanjut hanyalah omong kosong belaka."
Lalu mulai kupaparkan semua hal yang bisa kusampaikan untuk membenahi Novelaku.
"Untuk menarik animo penulis, kita bisa memberikan share untung iklan yang tampil dalam tulisan mereka. Tentu saja tulisan ini selain menarik, juga harus memenuhi limit minimal karakter per bab supaya orang yang membuka bab tidak merasa dirugikan," kataku setelah paparan panjang lebar tanpa interupsi. Sayangnya, kalimat ini kemudian diinterupsi oleh –lagi-lagi—Ariana.
"Iklan kita itu sedikit banget. Untuk operasional saja kurang. Kalau kita share iklan dengan penulis, maka kita tidak akan dapat apa-apa, bahkan bisa rugi."
Argumen yang sangat masuk akal dari Ariana tersebut langsung disambut dengan persetujuan dari banyak peserta rapat. Kulihat Prahara menatapku tanpa ekspresi berlebih. Sulit bagiku menentukan dia berdiri di pihakku ataukah pihak Ariana yang sedari awal sudah menunjukkan sikap konfrontatif.
"Betul yang dikatakan Ibu Ariana," jawabku santai. "Itu karena iklan yang masuk ke kita masih sangat sedikit. Kalau iklan yang masuk banyak, saya yakin kita tidak hanya menutup biaya operasional, tetapi juga bisa mendapatkan keuntungan yang tidak sedikit. Tadi saya dan tim Novelaku sempat menganalisis mengapa iklan yang masuk sedikit. Dan yang kami temukan adalah karena Novelaku kurang terkenal. Kalau platform ini dikenal oleh banyak orang, penulisnya ribuan, pembacanya jutaan, maka iklan akan datang dengan sendirinya."
Aku berhenti sejenak. Melihat ekspresi mereka yang menatapku dengan perhatian penuh.
"Nah, bagaimana supaya kita bisa terkenal? Dengan beriklan? Tentu saja. Kalau Ibu Ariana mengatakan bahwa dana kita tak cukup, maka iklan kita bisa dilakukan dengan jalan lain. Mengadakan lomba yang hadiahnya bisa terbit buku, misalnya. Memberikan kesempatan pada penulis untuk share untung jika viewer-nya sudah melebihi batas minimal juga bisa merupakan iklan. Dengan demikian, para penulis akan berlomba-lomba untuk meningkatkan pembacanya dengan mengiklankan melalui medsos mereka. Maka, orang akan mengenal platform kita. Akan lebih baik jika admin medsos Prahara Media lebih aktif mengiklankan novel-novel dalam Novelaku juga, bukan hanya novel cetak saja. Namun, kalau kita mau hasil yang lebih besar, maka umpan kita harus besar pula. Untuk awalnya, kita harus berani mengeluarkan biaya untuk beriklan di media lain. Bisa di media cetak, media digital, bahkan lewat endorse artis juga bisa."
"Dan biayanya sangat besar, Mbak," tukas Ariana. "Bukannya malah untung, kita justru akan semakin buntung."
Aku tersenyum. "Saya setuju dengan pendapat Bu Ariana. Namun, ada pepatah Jawa yang mengatakan 'jer basuki mawa beya', bahwa untuk mendapatkan keberhasilan itu kita harus mengeluarkan biaya. Maka di awal kita beriklan supaya orang mengenal kita. Lambat laun orang yang akan memasang iklan di platform kita."
"Saya setuju dengan pendapat Dek Didi," suara berat Prahara menyambung kalimatku. Eh, dia bilang 'dek' tadi. "Kita tidak perlu berdebat kusir tentang iklan ini. Juga tentang hal-hal yang disebutkan Dek Didi tadi. Kita menyadari penuh bahwa Novelaku perlu perbaikan karena selama setahun berdiri, keuntungan sama sekali belum tampak. Oleh karena itu, saya akan menggelontorkan dana pinjaman dari kas pribadi saya untuk memperbaki Novelaku. Kalau dalam waktu tiga bulan Novelaku menunjukkan progres positif, maka dana itu bisa dikembalikan secara diangsur tanpa bunga. Namun, jika hasilnya justru negatif, maka dana tak perlu dikembalikan dan kita harus mengakui bahwa Novelaku adalah usaha kita yang gagal," kata Prahara menengahi perdebatan kami.
Namun, aku tak merasa menang dalam pembicaraan ini meskipun Prahara memberikan jalan tengah yang adil. Karena, kalimatnya justru membuat bebanku semakin bertambah. Tak hanya membenahi Novelaku supaya lebih baik, tetapi aku juga harus bisa menunjukkan bahwa aku berhasil. Dan ini juga berarti aku harus berada di sini selama sekurang-kurangnya tiga bulan. Tapi, baiklah. Bukan hal buruk juga, kan? Daripada tak ada yang kukerjakan ketika Ami sekolah, sebaiknya aku di sini. Asal aku bebas datang jam berapa saja tanpa diikat oleh finger print dan dikurangi gaji ketika datang terlambat.
"Baiklah. Terima kasih atas keputusan Mas Prahara," kataku. "Saya harap semua dukungan dari Bapak dan Ibu semua agar program ini bisa berjalan dengan lancar. Setelah ini nanti saya akan berdiskusi dengan Mas Miko untuk menentukan langkah apa saja yang akan kami lakukan serta siapa saja yang akan melakukan tugas tersebut," kataku sambil menutup slide presentasi.
Dan, taraaa... Sebuah kejutan yang memang sudah kupersiapkan terpampang di layar setelah slide presentasi kututup. Gambarku bersama Pak Wismoyo sukses membuat mata Ariana terbelalak.
"Oh, maaf," kataku. "Tadi sempat buka-buka file lama sebelum membuka slide ini."
"Mbak Didi kenal Mas Moyo?" tanya bapak yang duduk di seberang Ariana.
"Iya, Bapak, kebetulan kami pernah bertemu di pameran fotografi. Foto itu kakek saya yang ambil," jawabku. Foto itu diambil di Taman Budaya ketika kakek mengadakan pameran foto bersama beberapa kawannya. Oleh kakek, satu fotoku ikut dipajang juga. Itu foto yang kuambil waktu kelas 6 SD ketika melihat teman-temanku bermain kelereng di halaman balai desa. Om Wismoyo yang merasa tertarik sempat berbincang padaku tentang angle pengambilan foto itu. Oleh kakek, momen itu diambil diam-diam dan tadi sempat kubuka ketika aku melihat fotonya terpasang di lobi.
Bapak itu mengangguk-angguk. "Minat beliau terhadap foto dan buku memang luar biasa," katanya lagi.
Aku mengiyakan. "Kami juga saling mengikuti blog pribadi dulu. Blog buku dan foto." Yeps, selain suka pamer foto di blog sejak masih SD, aku juga suka pamer buku yang kubaca. Istilah kerennya book reviewer.
Nah, dulu setelah kabur ke Yogya itu dan membeli Kekasih Sang Pengacara-nya Prahara Mahendra, aku langsung nulis review-nya di blog. Nah, Salah satu orang yang tertarik untuk mendiskusikan isi buku ini denganku ya Om Moyo ini.
Aku tak tahu, apakah ini ada kaitannya dengan keberadaan Prahara di kantor ini sekarang. Namun, melihat ekspresi Ariana yang bibirnya terkatup dan rautnya sedikit pasi, ada kemungkinan memang ada. Ah, tapi aku tak mau berpikir lebih jauh lagi. Nanti lama-lama juga aku akan tahu.
Setelah acara selesai, aku memilih membereskan peralatanku sambil menunggu semua orang keluar. Sudah sore dan rasanya lelah sekali. Apalagi besok sudah ditunggu dengan agenda padat untuk memulai proyek ini.
Kupikir semua orang sudah keluar ketika aku selesai membereskan perlengkapanku. Namun ketika aku beranjak dari tempat dudukku, kulihat Prahara masih berada di ruangan ini, tengah menatap kota Yogya yang padat dari jendela.
"Belum pulang, Mas?" basa-basiku.
"Aku menunggumu," katanya. "Mari pulang bersama."
Aku menggeleng. "Aku bawa motor. Langsung jemput Ami ke Uti."
"Kita jemput sama-sama. Motormu biar dibawa Miko."
"Apa aku bisa menolak?" tanyaku.
"Kali ini tidak bisa," katanya sambil meangkahkan kaki. Aku mengikuti dari belakang. Yah, aku juga capek, sih. Ikut nebeng mobilnya sambil tidur-tidur ayam tak masalah, kan?
Namun, belum tiga langkah, Prahara berhenti. Ah, untung refleksku bagus sehingga aku tidak menabraknya.
"Ada apa lagi?" tanyaku.
Dia sedikit tersenyum. "Good job," katanya sambil menyentuh puncak kepalaku.
Eh, kenapa ada yang meleleh di sini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Prahara's Secret Wife
RomanceDidi bisa menerima kalau Laras, saudara kembarnya berpacaran dengan Kemal, sahabat sekaligus cinta pertamanya. Sudah biasa jika ia mesti mengalah pada Laras yang fisiknya lebih lemah dibandingkan dengannya. Namun, bisakah dia menerima takdir bahwa i...