Jadi, kebaya siapa yang aku pakai ini? Tadi setelah make-up selesai Mami menyodorkan kebaya untuk kupakai. Sayangnya kekecilan. Napasku sesak. Dada yang selama ini tersamarkan dengan baju longgar oversize tiba-tiba saja tampak menyembul nakal. Pinggang dan pantat yang biasa tertutup kini tampak berlekuk. Indah sih, sebenarnya, tapi aku merasa telanjang.
"Ini baju siapa sih, Mi? Ukuran Laras dipakein ke aku," gerutuku.
"Makanya, pas ngukur baju jangan kabur melulu," ledek Laras.
"Siapa yang kabur? Kerja kan lebih penting. Profesional dong."
"Aku juga kerja, tapi nggak segitunya sampai kepentingan keluarga diabaikan."
"Bukannya mengabaikan. Tapi Mami kasih tahunya mepet. Nggak bisa, kan, schedule yang sudah rapi dibatalkan begitu saja. Siapa yang abai kalau begini?"
Laras tidak menjawab. Dia sibuk memperbaiki tatanan rambut yang menurutnya kurang pas.
"Lagian, kenapa pula bajuku mesti disamain ukurannya sama kamu. Mami lupa kan kalau anaknya beda ukuran. Nah, ratunya abai tuh mami," kataku sambil meninggalkan ruangan. Tak lupa, aku menjangkau si Niky, Nikon tua peninggalan kakek yang selalu kutenteng ke sana kemari.
Memasuki ruang keluarga, kudengar siulan Mas Wibi.
"Eh, si tomboy bisa seksi juga ternyata, ya."
"Apaan si, Mas. Kanjeng Mami tuh, lupa saja kalau anak perempuannya ada dua," sahutku sambil menghenyakkan pantat di sebelahnya. Tanganku mulai sibuk mengatur rana kamera.
"Mami bukannya lupa. Mami bahkan sangat ingat kalau punya dua anak perempuan. Makanya dibuatin kebaya. Kalau lupa kan kamu pakai beskap kayak Mas Wibi," sahut Mami yang mendadak datang dari arah belakang. "Lagian, ya, justru ini supaya kamu ingat kalau kamu itu perempuan. Nggak pakai celana jeans melulu," lanjutnya.
"Iya, Mi, iyaaa...," sahutku. Percuma saja melawan Mami.
Mas Wibi menahan ketawa. Aku menyikut perutnya.
Mami melihat jam di dinding.
"Sudah hampir jam tujuh. Tamunya sebentar lagi datang," ujar Mami. "Ingat, Didi, jangan bikin gara-gara yang bisa mempermalukan kita di depan calon besan."
Aku memutar mata. "Memang aku bisa apa sih, Mi. Paling juga makan sambil berdecap-decap," sahutku.
Mami melotot. Mas Wibi menyemburkan tawa.
"Eh, anak ini. Awas, ya, kalau makanmu nggak sopan ...." Ha, kena deh. Mami jadi kehilangan kata-kata, kan.
"Makanya, Mi, biar Didi nyampur sama teman-teman saja di luar," kataku merujuk pada beberapa wartawan yang sudah datang dari sore. Lagian, kenapa sih, mereka rajin amat. Bukannya tinggal nunggu update story-nya Laras di IG saja yah, seperti kebanyakan pemburu berita artis sekarang ini.
"Nggak bisa," tukas Mami. "Apa kata orang nanti kalau kembaran Laras malah sibuk kerja saat dia tunangan."
"Ya deh, ya deh ...." Aku bisa apa coba. Tapi sebenarnya nggak pa pa, kan? Mereka kan nggak tahu kalau kami kembar.
"Sendalmu ketinggalan di kamar, Dek," kata Mbak Anggi keluar dari tempat rias sambil menjinjing sendalku. Alas kaki dengan tali tali kecil penutup punggung kaki dan hak setinggi dua belas sentimeter. Aku menatapnya dengan ngeri.
"Ini bukan sandal, Mbak. Ini sih jembatan gantung. Bisa ambrol sewaktu waktu." Huh, nggak kebayang kalau aku yang biasa pakai sneaker mesti pakai alas kaki macam itu.
"Sudah, pakai saja," kata Mami. "Dari tadi kerjamu main bantah saja."
Mbak Anggi menyodorkan sandal itu. "Pakai, nanti Mami marah."
"Iya deh, iyaaa ... Ntar kalau aku keseleo Mami yang tanggung lho ya."
"Jangan berpikiran buruk, nanti bisa kejadian beneran."
"Inggih, Kanjeng Mami."
Mbak Anggi dan Mas Wibi tertawa tanpa suara.
Untung saja situasi itu terhenti karena tiba-tiba Tarjo, sopir Ayah, masuk dan memberitahukan kami bahwa tamu yang ditunggu-tunggu sudah datang. Kami segera beranjak dari tempat duduk dan menuju teras untuk menyambut tamu agung yang dinanti-nanti.
Dengan langkah hati-hati aku berjalan. Persis seperti kucing kelaparan yang tak kuat berjalan. Tentu, bukan karena aku kelaparan, namun lebih karena mengkhawatirkan keselamatan kaki yang selama ini tak pernah mengenal heels. Juga mengkhawatirkan si sandal, jangan sampai tali-tali kecilnya putus terkena kaki kasarku yang terbiasa mendaki gunung dan mengayuh sepeda.
Aku berdiri di samping Mbak Anggi. Berdiri di ujung kiri adalah Ayah, kemudian Mami yang berwajah begitu semringah. Di sampingnya, Mas Wibi dan Mbak Anggi. Setelah itu aku. Laras belum keluar dari kamar, jadi aku di barisan paling akhir.
Seperti yang dikatakan Ayah, jumlah tamunya tidak banyak. Tak sampai sepuluh orang. Hanya lima orang malah. Prahara bersama seorang lelaki kharismatik berusia sekitar 60 tahun. Selain itu, ada seorang perempuan yang kuduga sebagai istri bapak yang berjalan di samping Prahara dan dua lelaki muda yang kutaksir seusia denganku. Mereka tentunya anak dari si bapak.
Berjalan di paling depan, tentu saja pemimpin rombongan, bapak-bapak eh bapak kharismatik yang langsung memeluk ayah dengan kencang. Salam diucapkan secara lantang dilanjutkan dengan sambutan ayah mempersilakan tamunya duduk. Tak lupa, ayah memperkenalkan kami yang tengah berdiri menyambut tamu.
Benar dugaannya mereka adalah keluarga Prahara. Tepatnya, Pakdhe, Budhe, bersama dua putra mereka yang usianya lebih muda. Mungkin Pakdhe menikahnya terlambat sehingga putranya masih muda-muda. Hanya pikiran sok tahu saja sih. Bisa jadi, kan, mereka sudah menikah lama tapi baru punya anak setelah sekian tahun menikah. Eh, kok jadi melenceng, sih.
Oke, kita ke tokoh utamanya sekarang. Prahara Mahendra, sang penulis kenamaan. Yah, walaupun penulis seterkenal apa pun tak akan pernah jadi selebritis di Indonesia, sih, tapi karena yang satu ini cukup good looking, filmnya meledak, maka setidaknya wajahnya lebih dikenal ketimbang Ahmad Fuadi atau Eka Kurniawan.
Prahara tampil catchy dengan kemeja batik berwarna dasar biru, senada dengan kebaya Laras. Yah, harus kuakui memang keren, sih. Tubuh tegapnya yang kelihatannya nyaris tak berlemak tampak begitu pas dengan outfit yang dikenakannya. Rambutnya yang sedikit panjang dikucir man bun. Wajahnya bersih dari rambut-rambut halus yang kemarin dulu sempat kulihat. Setidaknya dia sudah mempersiapkan diri untuk acara ini. Ketika melewatiku, kulihat dia memandangku sedikit lebih lama dari yang seharusnya. Mungkin agak heran dengan penampilanku hari ini, yah. Aku hanya balas memandangnya dengan senyum di ujung bibir dan menaikkan alis kananku.
Setelah menyalami tuan rumah, para tamu menuju tempat duduk yang sudah disediakan di ruang keluarga. Kami duduk di kursi yang ditata setengah lingkaran. Di masing-masing ujung tatanan kursi disediakan meja tempat kudapan dan minumannya. Pada bagian yang tidak dipasang kursi, terdapat ruang kosong yang dihias dengan bunga sebagai spot foto nanti. Tak ada tulisan yang dipasang di sana. Hanya bunga-bunga segar saja karena acara ini memang didesain simpel dan sederhana.
Seperti yang diminta Mami, aku duduk tenang di kursiku. Menunggu para tetua yang saat ini masih berbasa-basi ngobrol sana-sani untuk mulai bicara. Membosankan memang, tapi karena si Niky sudah kembali ke tanganku, maka aku bisa iseng membuka-buka memorinya. Beberapa lamanya aku fokus pada kameraku hingga akhirnya kudengar seseorang menyebut namaku.
"Didi."
Ternyata Mami. "Ya, Mi?"
"Temani Laras turun. Acara segera dimulai."
"Oke."
Aku segera bangkit dari tempat dudukku. Karena kebetulan aku duduk di tengah, maka terpaksa aku melewati beberapa tamu. Naas, baru beberapa langkah, sandal berhak 12 sentimeter itu menyandung karpet. Keseimbanganku hilang, tubuhku oleng. Dan aku terjerembab. Lalu jatuh. Tepat di pangkuan sang tokoh utama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Prahara's Secret Wife
RomanceDidi bisa menerima kalau Laras, saudara kembarnya berpacaran dengan Kemal, sahabat sekaligus cinta pertamanya. Sudah biasa jika ia mesti mengalah pada Laras yang fisiknya lebih lemah dibandingkan dengannya. Namun, bisakah dia menerima takdir bahwa i...