Aku, Prahara, dan Laras

7K 969 27
                                    

"Ami begitu dekat denganmu, Dek," kata Mbak Sekar memandang Ami yang tengah bersandar kepadaku. Kepalanya kuelus supaya anak itu merasa nyaman. 

Kedua kakinya kuselonjorkan di atas sofa panjang supaya posisinya nyaman. Awalnya dia nonton kartun kesukaannya di ponselku, tetapi kelihatannya lama kelamaan dia mengantuk. Kurasakan bobot tubuhnya semakin berat di tubuhku, pertanda anak itu sudah setengah tertidur. Saat ini memang jam-jam dia tidur siang. Tadi kami ke sini naik taksi karena Prahara berjanji akan menjemput. Jadi, terpaksa aku berlama-lama di kafe yang untungnya kursinya berupa sofa yang cukup nyaman.

"Lumayan, Mbak."

"Dek Didi kenal dengan tunangannya Prahara?"

"Tunangan?" tanyaku terkejut. Eh, iya, Laras dong yang dimaksud.

"Yang di TV itu ...."

"Oh, Laras? Kenal, Mbak. Masih kerabat sebenarnya. Saya pernah menjadi fotografernya pas awal ngartis. Dia juga yang memperkenalkan saya kepada Mas Prahara."

"Oh, begitu, ya? Dia kenal juga dengan Ami?"

"Bestie, Mbak. Kayak partner in crime, lah. Kadang juga bertengkar kalau Laras kebablasan godain Ami. Kalau sudah begini,  aku yang pusing jadinya. Padahal cuma lewat video call saja lho. "

"Oh, berarti tunangan Prahara masih kekanak-kanakan?"

"Banget," jawabku. "Anak mami banget dia," lanjutku. "Ngomong-ngomong, Mbak kenal Mas Prahara?" 

Dia mengangguk. "Aku suka membaca novel-novelnya. Waktu kuliah dulu pernah jadi panitia acara yang mengundang dia sebagai pembicaranya. "

"Wah, berarti kemarin semacam nostalgia, dong. Sayang nggak ketemu, ya, Mbak."

"Mungkin lain kali," senyumnya. "Ngomong-ngomong, aku sudah lihat hasil jepretanmu, Dek. Bagus banget," pujinya.

"Ah, biasa saja, Mbak. Kameranya yang bagus itu," kelitku. "Alea yang ngirim, Mbak?"

Dia mengangguk. "Mbak jadi tertarik untuk minta bantuan Dek Didi fotoin resort Mbak. Mau, nggak?"

"Dibuat semacam buklet, gitu, Mbak?"

Dia mengangguk. "Kamu cukup fotonya saja, Dek. Nanti yang lain biar Mbak yang urus."

"Nggak sekalian dicetak di Prahara Media, Mbak? Biasanya ada bonus kalau cetakannya banyak."

Dia menggeleng. "Yang penting gambarnya dulu saja. Yang lain belakangan," katanya. 

"Mm, nanti aku bicarakan dulu sama Bos, ya, Mbak."

"Jangan kelamaan mikirnya. Tapi harusnya nginep sekalian, ini, biar bisa fotoin sunset-nya juga. Kalau mau ngajak Ami, Mbak senang."

"Iya, Mbak, nanti tak kabari,"@ jawabku.

"Oke," katanya seraya bangkit dari duduknya. "Ami sudah tidur kayaknya," katanya mengelus pipi Ami. "Boleh aku menciumnya?"

Aku mengangguk. Dia pun merunduk, lalu mengelus pipi Ami dan menciumnya dengan ringan.

"Mbak pulang dulu, ya. Kutunggu kabar kepastian darimu."

"Oke," jawabku.

Menerima pekerjaan selain di Novelaku tentu saja harus izin Prahara dulu meskipun aku tahu bahwa dia tak akan melarang. Dan dia, lima belas menit setelah Mbak Sekar pergi, baru datang menjemput kami.

"Tidur?" tanyanya.

"Lihat sendiri. Papanya kelamaan jemput," sungutku.

"Nggak rewel, kan?" katanya sambil mengerling ke arah mangkuk es krim Ami yang sudah kosong. "Kelihatannya baru ada pesta," katanya.

Prahara's Secret WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang