Jika ada yang berpikir banyak terjadi skinship antara aku dan Prahara selama dua bulan menjadi istrinya, maka dia salah. Nyaris tak ada skinship antara aku dan dia, kecuali saat-saat yang tak terduga. Yang kurasakan, baik di kantor maupun di rumah, dia hanya berusaha membuatku merasa nyaman.
Seperti sekarang ini, saat aku bekerja bersama tim Novelaku yang sebagian besar perokok, dia menyediakan kantornya untuk membuatku merasa nyaman. Tentu saja awalnya aku menolak. Tak enak dianggap sebagai orang baru yang diprioritaskan. Jadi, aku memilih untuk menempati kubikel di ruang Novelaku. Namun, untuk mengurangi paparan rokok, aku lebih banyak berada di balik meja resepsionis bersama April yang kegirangan karena mendapatkan teman ngobrol. Aku bahkan akhirnya bisa menarik gadis itu untuk menjadi admin medsos Novelaku sebagai salah satu media promosi.
Namun, melihatku tidak mau berkantor di ruangannya, Prahara punya cara lain untuk membuatku berada di sana. Apa lagi kalau bukan Ami. Jadi, setiap Ami pulang sekolah, papanya menjemputnya dan mau tak mau aku menemani gadis kecil itu untuk bermain di kantor papanya yang jelas lebih nyaman dibandingkan ruangan mana saja yang ada di kantor ini.
Tentu respons Ariana tak luput dari pengamatanku. Perempuan itu, meskipun di depanku tak pernah berkonfrontasi secara langsung, beberapa kali dia menatapku dengan pandangan tak suka saat aku memasuki ruangan Prahara. Sungguh, aku tak tahu apa yang ada di pikirannya tentang aku. Namun, peristiwa yang terjadi siang ini membuatku bisa menilainya secara lebih nyata.
Siang ini, sekitar dua minggu keberadaanku di Novelaku. Hampir semua program bisa diselesaikan dengan baik. Perekrutan admin dan editor sudah terlaksana dan Senin depan mereka mulai bekerja. Server juga sudah di-up grade sehingga tidak lemot lagi. Penambahan fitur web supaya lebih menarik sudah 75 persen. Tinggal memantau saja sehingga aku lebih banyak memiliki waktu luang.
Jadi, siang ini aku yang menjemput Ami ke sekolah. Setelah singgah sebentar membeli es krim di kafe sebelah, kami segera menuju kantor papanya. Namun, di depan pintu kafe, kami menemukan seekor anak kucing yang mengeong kelaparan. Kontan saja, Ami langsung merengek memintaku untuk membawanya.
"Izin dulu sama papa,"kataku.
"Gimana caranya? Nanti kalau dia hilang gimana?" katanya manyun.
"Ya, gimana lagi," sahutku tanpa memberikan solusi. Membiarkannya berpikir untuk mencari jalan keluar.
"Mmm ... aku tahu. Kita telepon papa saja."
"Bidi nggak bawa HP," sahutku.
"Ih, tapi Kak Mala punya," katanya sambil berlari membuka pintu kafe. Mala adalah barista di kafe ini.
"Memang Kak Mala punya nomornya papa?"
"Aku hafal dong," jawabnya.
Dan betul ternyata. Dia hafal di luar kepala nomor telepon papanya. Luar biasa. Dan, karena Papa Endra-nya Ami adalah papa terbucin sedunia, maka tentulah dia tak bisa menolak permintaan anak kesayangannya itu.
Aku kemudian membawa dua makhluk yang tak menerima kasih sayang ibu itu ke ruang terbuka di lantai tiga, kemudian menyaksikan Ami memberikan susu kepada kucing itu. Tentu, sambil mengambil gambarnya. Ini bisa menjadi sebuah kisah yang bagus untuk buku papanya, kan?
Puas bermain, aku berniat mengajaknya pulang karena khawatir kalau anak kucing itu buang air sembarangan. Kami harus menyediakan pasir dan makanan untuknya. Jadi, aku mengajak Ami untuk pamit kepada papanya.
Namun, langkah kami terhenti di depan pintu karena kulihat dari tirai yang bersibak, ada Ariana di dalam kantor tersebut. Ah, rupanya mereka tengah terlibat percapakan serius. Dan, hei, mengapa aku mendengar nama tunangan Prahara disebut-sebut?
Maka, dengan alasan takut mengganggu papanya, aku menyuruh Ami menyusul April di meja resepsionis dan aku sendiri mau tak mau ikut mendengarkan percakapan mereka dari balik pintu. Okelah, katakan aku menguping. Namun, karena ada nama Laras disebut-sebut, maka merasa berhak ikut tahu. Ups. Dan, eh, mengapa aku ikut terseret juga di dalamnya?
"Jangan mentang-mentang karena dia teman tunanganmu jadi dia berhak mendapatkan keistimewaan di lantai tiga ini, Ndra. Apalagi dia begitu dekat dengan Ami."
"Apa salahnya kalau dia dekat dengan Ami. Justru bagus, kan, Ami itu tak mudah dekat dengan orang lain. Kalau dia dekat dengan Didi, dia tak lagi kesepian."
"Hati orang siapa tahu, Ndra. Sekarang dia rebut perhatian anakmu. Setelah itu dia rebut kamu dari teman baiknya."
"Dan aku bukan barang yang bisa diperebutkan, Na. Tolonglah, ini sudah memasuki ranah pribadi. Aku nggak mau peristiwa yang sama terulang dua kali."
Eh, peristiwa yang sama? Apa? Jadi penasaran, kan? Dan, hei, lihatlah muka Ariana yang begitu keruh.
"Aku sahabatmu, Ndra. Dari kami belum punya apa-apa sampai jadi seperti sekarang. Tapi apa yang kamu lakukan sekarang? Kamu mengabaikan aku hanya karena teman tunanganmu."
"Aku hanya nggak mau kamu terlalu mencampuri urusan pribadiku lagi, Na. Tolong mengertilah."
"Oke, oke. Tapi selama ini bukankah aku yang mengurusi kebutuhan pribadimu di sini? Karena ada orang baru lalu kamu menjauh. Dan dia, oh, bisa-bisanya kamu menyuruhnya berkantor di sini. Memangnya apa yang dilakukannya kepadamu? Apakah lebih banyak dari yang selama ini kuberikan kepadamu?"
Eh? Memangnya apa yang telah diberikan Ariana kepada Prahara? Duh, pikiran jelekku piknik ke mana-mana, kan, jadinya.
"Banyak, Na. Banyak. Terakhir, dia menghidupkan Novelaku yang mati suri."
"Kalau cuma itu, aku juga bisa," sanggah Ariana. Ah, kupikir dia seperti anak kecil yang sedang merajuk karena kehilangan mainan kesayangannya.
"Kalau kamu bisa, seharusnya sudah sejak setahun lalu ketika kamu kuberikan kesempatan untuk mengembangkannya. Tapi kamu lebih memilih mengurus kebutuhan pribadiku yang sebenarnya bisa kulakukan sendiri. Hubungan kita di kantor justru melenceng dari hubungan kerja."
"Lalu aku mesti bagaimana, Ndra?"
"Lakukan pekerjaanmu seperti seharusnya dan biarkan Didi. Jangan mengganggunya," kata Prahara.
Ariana, kulihat begitu marah. Wajah cantiknya yang begitu terawat tampak merah padam. Tanpa pamit, dia keluar dari ruangan Prahara dan membanting pintu. Aku sempat melihat wajah terkejutnya ketika dia menyadari keberadaanku, tetapi aku mengabaikannya.
"Masuklah," kata Prahara. "Tak baik menguping," katanya.
Aku meringis. "Maaf, aku cuma mau mengambil tas. Mau pulang dulu. Kucing Ami perlu dibelikan pasir dan makanan," kataku.
Dia mengangguk. "Oke," jawabnya singkat lalu mulai menekuri layar laptopnya. Mungkin dia sedang mulai menulis novel barunya.
Jadi, aku pun bergegas mengemasi barang-barangku dan memasukkannya ke dalam tas kemudian segera bergegas karena kurasa suasana sungguh canggung.
"Pulang dulu, Mas," pamitku. Oh, yeah, aku sudah membiasakan memanggilnya dengan sebutan "mas" seperti teman-teman yang lain menyebutnya, ya. Dan rasanya enak juga, sih, ahaha.
Dia mengangguk.
"Eh, iya, Dek. Jumat ini mau hunting foto ke Wonosobo?" katanya ketika aku sudah mencapai pintu.
Aku menghadapkan tubuh padanya. "Wonosobo?"
Dia mengangguk. "Negeri di awan. Mau?"
Negeri di awan, tentu saja aku tahu. Ialah sebutan untuk Dataran Tinggi Dieng yang berada di ketinggian lebih dari 2.000 meter di atas permukaan laut beserta segala keindahan di dalamnya. Namun, hunting foto ke sana, aku belum pernah. Tawaran yang sayang untuk dilewatkan, kan?
"Oke," jawabku. Tentu saja mengabaikan semua percakapan yang dilakukannya bersama Ariana tadi. Oh, tak sabar rasanya menunggu Jumat datang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Prahara's Secret Wife
RomanceDidi bisa menerima kalau Laras, saudara kembarnya berpacaran dengan Kemal, sahabat sekaligus cinta pertamanya. Sudah biasa jika ia mesti mengalah pada Laras yang fisiknya lebih lemah dibandingkan dengannya. Namun, bisakah dia menerima takdir bahwa i...