Layar sudah dihidupkan. Kabel sudah disambungkan. Kursi-kursi yang melingkari meja oval besar ini sudah penuh dengan manusia. Semua mata memandang ke arahku. Mereka, orang-orang yang terkait dengan hidup mati Novelaku, termasuk para pemegang saham dan pelaksana teknis di kantor ini. Dan yang kukenal hanya dua orang: Prahara dan Miko. Prahara, si bos besar pemilik Novelaku, sekaligus Prahara Media, sebuah perusahaan percetakan dan penerbitan yang menaungi Novelaku. Miko –lelaki muda yang menjemput kami di bandara dua bulan lalu—adalah penanggung jawab operasional Novelaku.
Selain itu, aku tak mengenal mereka. Meskipun tadi sempat diperkenalkan, nama-nama itu hanya lewat selintas lalu saja. Yang kuingat hanya satu nama. Ariana, editornya Prahara. Yang kantornya satu lantai dengan Prahara. Satu dari dua ruangan kantor di lantai tiga ini. Ruangan yang lain adalah ruang pertemuan besar yang sekarang kami pakai, ruang pertemuan kecil, dan satu lagi ruang terbuka yang berisi kursi-kursi dan payung peneduh.
Mengapa ia berkantor di sana? Tadi sempat kutanyakan kepada Miko yang menemaniku tur singkat untuk mengenal kantor ini. Namun, Miko hanya mengangkat bahu. Dari April, resepsionis manis di lantai 2 yang menemaniku makan siang, aku diberi tahu bahwa Ariana adalah orang yang berjasa mengenalkan Prahara kepada Pak Wismoyo, pemilik percetakan sebelum diakuisisi oleh Prahara.
Untuk berterima kasih kepada Ariana, dia diangkat menjadi editor yang sebetulnya lebih mirip sebagai asisten pribadinya Prahara. Bagaimana tidak, Prahara tidak pernah berbagi urusan tulis-menulisnya dengan orang lain. Jadi, fungsi Ariana setiap hari adalah menyediakan kebutuhan Prahara di kantor. Dan tentu saja bersolek diri. Lihat, penampilannya yang begitu glamor dibandingkan peserta rapat yang lain. Selain itu, dari omongan April tadi, dia suka mencampuri urusan kantor yang sebetulnya tidak menjadi tugasnya. Alhasil, semua pekerjaan kantor harus mengakomadasi semua keinginannya. Jika dia tak setuju, maka jangan harap bisa dilanjut. Semua karena Prahara tidak memberikan garis yang jelas tentang tugasnya sehingga orang yang segan dengan Prahara akan menuruti apa kemauan Ariana. Bisa kusimpulkan bahwa selama ini Ariana adalah lintah betina yang menempel erat di ketiak Prahara.
Yah, mengetahui sedikit sisi lain perusahaan ini merupakan bekal yang cukup penting untuk presentasi hari ini. Dengan pertanyaan pembuka tentang foto yang dipajang di lobi, April yang ceriwis itu tak segan-segan berbagi informasi umum tentang perusahaan ini. Di antaranya, perusahaan ini semula adalah perusahaan percetakan kecil milik Pak Wismoyo yang fotonya terpasang di lobi itu. Pak Wismoyo yang hobi fotografi melepaskan perusahaan ini untuk dikelola Prahara demi bisa memuaskan hobinya setelah istrinya meninggal dunia. Akhirnya, Prahara mengakuisisi perusahaan ini dan mengembangkannya menjadi perusahaan penerbitan yang akhirnya merambah juga ke platform baca tulis novel daring. Selain itu, dia juga mendirikan kafe dan semuanya di-branding dengan nama besarnya sebagai penulis. Hah, selain pandai bermain kata, dia juga lihai dalam memanfaatkan peluang. Mau tak mau, kuacungkan jempol untuk semua yang dia lakukan.
Kecuali tentang seorang perempuan yang bernama Ariana itu. Yang saat ini menatapku dengan pandangan meremehkan seakan aku hanyalah anak kecil yang tak bisa apa-apa. Bukannya apriori, tapi dari caranya berbicara ketika kami dikenalkan tadi, lalu dari caranya duduk di sebelah Prahara yang seakan mengatakan bahwa dialah yang berhak duduk di sana, aku tahu bahwa posisi kami akan selalu berseberangan di perusahaan ini. Baiklah, kita mulai pertarungan ini, Nona tua. Ups.
"Selamat siang, Bapak-bapak dan Ibu-ibu. Perkenalkan saya Srikandi Atmaja Sugiarto. Kebetulan saya diminta Mas Prahara untuk sedikit berbenah di Novelaku sehingga saya mohon bimbingan Bapak dan Ibu semua untuk tugas saya yang akan datang," kataku membuka presentasi setelah Prahara memperkenalkan aku di hadapan semua peserta rapat.
"Mohon maaf, Mas Prahara," sela seseorang yang tentu saja aku lupa namanya. "Bukannya meragukan keputusan Mas Prahara. Tapi apa ada jaminan bahwa langkah ini bisa membuat Novelaku lebih laku? Bukankah selama ini Novelaku berjalan baik-baik saja? Jangan sampai kita membuang biaya untuk hal-hal yang mubazir."
Lihat, dia berkata seperti itu sambil sesekali melihat Ariana yang tersenyum-senyum sambil mengangguk-angguk. Dan kulihat Prahara tidak menjawab, tetapi memberikan isyarat kepadaku untuk menjawab pertanyaan itu.
"Tak kenal maka tak sayang, Ibu," sahutku sambil memandang menyeluruh kepada semua peserta rapat. "Panggil saya Didi. Kebetulan saya pernah bekerja di majalah Trend baik versi cetak maupun versi digital." Tentang aku pegawai freelance, tentu saja tidak perlu kusebutkan, kan?
"Sebelum hari ini, saya adalah pembaca Novelaku meskipun tidak terlalu fanatik. Setelah Mas Prahara menawari saya untuk ikut berbenah di sini, saya melakukan observasi menyeluruh tentang aplikasi ini. Nah, berdasarkan observasi tersebut, saya menemukan bahwa ada beberapa hal yang perlu dibenahi di sini supaya Novelaku bisa lebih dikenal masyarakat, syukur-syukur bisa setara dengan platform orange, ungu, atau hijau yang sudah lebih dulu dikenal oleh pembaca."
"Bagaimana caranya? Ini novel yang ada di Novelaku sudah bagus-bagus. Mau diperbagus dengan apa lagi?" Kali ini pria setengah baya yang duduk di seberang Ariana yang bertanya. Lagi-lagi perempuan itu mengangguk-angguk sambil menyunggingkan senyum kemenangan.
"Justru karena novel di sini bagus-bagus, sayang kalau tidak dikenal, Bapak," ujarku. "Nuwun sewu, Bapak sudah menginstal aplikasi ini?" tanyaku.
"Wah, wong Jakarta kok isa basa Jawa, ya?" terdengar sebuah celetukan yang kuabaikan begitu saja.
Kuabaikan selorohan itu dan kembali fokus kepada bapak yang tadi bertanya. Kulihat beliau agak gelagapan menjawab.
"Wah, sayang kalau pemilik saham di sini justru tidak tahu kondisi 'anak'nya," kataku memberikan tanda petik pada kata "anak" yang mengacu pada Novelaku. Aku segera menghubungkan si purple dengan LCD yang sudah on sedari tadi.
"Nuwun sewu, Bapak, ini adalah tampilan Novelaku di HP saya," kataku seraya membuka aplikasi. "Bisa Bapak lihat sendiri, berapa lama waktu yang digunakan untuk membuka aplikasi ini? Lihat, loading-nya lama sekali, kan? Banyak, lho, Pak, orang tidak jadi membuka aplikasi ini karena servernya lemot. Kita kan tahu, di era ini tidak semua orang diberikan kesabaran berlebih untuk menunggu proses loading. Slogan 'lebih cepat lebih baik' dan 'siapa cepat dia dapat' bisa menjadi bukti bahwa orang lebih suka dengan yang lebih cepat, Pak."
Sang bapak tak menjawab. Beberapa peserta juga mengangguk-anggukkan kepala menyetujui argumenku. Aku dengar dari Miko sih dia sudah mengajukan proposal untuk menambah kapasitas server sejak beberapa bulan lalu, tetapi belum di-acc sampai sekarang. Mungkin masih nyangkut di meja Ariana.
"Nah, sekarang kita lihat tampilan depannya," kataku. "Lihat, bagian depan ini tidak bergerak dari bulan lalu, lho. Novel baru, yang direkomendasikan, terlaris, itu-itu saja yang muncul. Genre novelnya tercampur pula, padahal ada beragam selera pembaca yang bisa kita akomodasi dengan memberikan tampilan depan yang lebih variatif."
"Tapi itu kondisi real yang ada di Novelaku," sergah Ariana.
Aku memandangnya. "Bisa diperjelas, Ibu?" tanyaku.
"Novel yang direkomendasikan dan terlaris itu diambil dari traffic pembacanya. Otomatis akan menjadi rekomendasi dan terlaris jika novel itu banyak diklik."
"Oke, saya paham. Pertanyaan saya, bagaimana sebuah novel akan banyak diklik bila tidak diberi kesempatan tampil?" Aku diam sejenak. "Berdasarkan pantauan saya di kantor Novelaku pagi tadi, novel baru yang di-publish pagi ini saja sudah lebih dari dua puluh. Bagaimana bisa yang dipajang di display adalah novel yang sudah di-publish dari bulan kemarin? Bagaimana novel-novel baru ini bisa terendus pembaca jika tidak diberi porsi yang sama dengan novel yang sudah dikenal sebelumnya? Kita seharusnya tidak hanya menggantungkan diri kepada promosi yang dilakukan oleh penulis saja, tetapi kita pun harus berkontribusi untuk memudahkan penulis untuk mempromosikan karyanya. Itu akan menguntungkan kedua belah pihak karena kita pun butuh penulis untuk mengisi platform kita."
Oke, suasana memang memanas. Sejauh ini aku masih bisa meng-handle. Bahkan beberapa orang kulihat mulai menunjukkan sikap pedulinya setelah tadi sempat memandangku dengan acuh tak acuh. Dan perempuan bertubuh kecil tetapi bernyali besar (baca: tak tahu malu) itu, Ariana yang tidak diikuti nama Grande, masih menempel di sisi suamiku, Prahara Mahendra.
KAMU SEDANG MEMBACA
Prahara's Secret Wife
RomanceDidi bisa menerima kalau Laras, saudara kembarnya berpacaran dengan Kemal, sahabat sekaligus cinta pertamanya. Sudah biasa jika ia mesti mengalah pada Laras yang fisiknya lebih lemah dibandingkan dengannya. Namun, bisakah dia menerima takdir bahwa i...