Meskipun tak sempurna, hidup tanpa dipenuhi kasih sayang seorang ibu menurut pengalamanku baik-baik saja, asal kita mau berdamai dengan keadaan. Itu yang terjadi pada aku dulu dan sekarang yang kulihat pada diri Ami. Bukan aku menafikan pentingnya peran mamanya dalam masa perkembangannya, tetapi aku lihat sendiri, anak itu tak pernah sekali pun mengeluh tentang ketiadaan mamanya.
Pernah sekali, aku tanyakan kepada Mak Yem, katanya mama Ami sudah pergi dari rumah sejak Ami masih bayi merah. Ami bahkan tak sempat menyusu pada mamanya karena semingguan setelah melahirkan, mama Ami pergi dari rumah, dijemput oleh orang tuanya.
Peran mama Ami digantikan sepenuhnya oleh Prahara yang akhirnya mesti menjadi ayah sekaligus ibu bagi anak kecil yang malang itu. Tentu saja dibantu oleh ibu dan adik-adik Prahara yang semuanya adalah perempuan. Aku yakin, suatu hari dulu, Ami pasti pernah menanyakan perihal mamanya. Namun, mungkin papa atau utinya bisa memberikan jawaban yang membuatnya menerima kondisi tersebut sehingga sampai hari ini dia tetap terlihat selalu bahagia.
Dan lihat, siapa yang mengira bahwa anak itu tumbuh tanpa kasih sayang seorang ibu? Dia yang masih berkeringat karena baru selesai menirukan tarian yang dilihatnya di Youtube sekarang sedang asyik hahahihi dengan Te Ras, alias Tante Laras yang dengan gemas hendak menggigit pipinya di depan si Purple. Untung sedang vidcall, kalau betulan di depan dia, habis itu si Ami diunyel-unyel Laras yang dari kecil selalu minta adik kepada mami. Dia bilang, aku saudara kembarnya, tapi aku punya adik dan dia tidak. Huh, anak itu memang terkadang aneh logikanya. Punya kembaran saja dia sering pura-pura sakit agar lebih diperhatikan. Gimana kalau punya adik nanti?
Oh, jadi melantur ya. Jadi Laras memang sudah dekat dengan Ami. Hari ini video call mereka yang kedua. Minggu lalu, ketika kami sedang menanam bunga di halaman yang masih kosong, Laras menelepon dan Ami mengangkatnya dengan seizinku. Jadilah di situ dia tahu bahwa mantan calon tunangannya ternyata seorang duda beranak satu. Awalnya Laras merasa kasihan kepadaku, tetapi ketika kukatakan bahwa Ami sama sekali tak pernah merepotkanku, dia akhirnya mengerti. Bahkan mereka kemudian terlibat dalam percakapan seru seperti yang mereka lakukan sore ini. Aku yang sedang berkutat untuk menyelesaikan proposal Novelaku membiarkan mereka berdua ngobrol sambil sesekali menyahuti percakapan mereka.
"Bidi sibuk apaan sih, kok nggak mau gabung sama kita?" tanya Laras yang sekarang ikutan manggil aku Bidi.
Aku menunjukkan layar laptopku di depan di Purple yang nangkring manis di standing holder.
"Nggak kelihatan. Bacain, Te Ras, dong Mi. Ami kan sudah kelas satu sekarang."
"Proposal Pembenahan Novelakita, Te. Ih, Bidi kayak mau kuliah, deh. Sama kayak Onty Mily yang suka bikin proposal."
"Ini bukan untuk kuliah. Bidi mau kerja biar dapat duit banyak."
"Lho, nanti Ami di rumah gimana?"
"Serius mau kerja kantoran?" kali ini Laras yang bertanya.
"Ami kan sudah sekolah. Kebetulan ada tawaran dari papanya Ami buat maintening aplikasinya dia. Ternyata Novelaku itu punya dia sih."
"Yakin? Memang kamu bisa?"
"Nggak yakin sih," cengirku, "tapi ini kan kerja tim. Aku cuma konseptornya. Lagian, pengalaman di Trend bisa dibawa kemari kok."
"Bidi mau sekantor sama papa? Yeay, aku pulang sekolah ikut kerja, ya." Duh, matanya itu lho. Bulat penuh dan begitu hitam. Sama sekali nggak bisa ditolak.
"Bilang papa dong, kalau boleh nanti bisa ikutan sesekali. Lagian, rencananya Bidi di kantor cuma selama Ami sekolah, kok. Jadi, pulangnya Ami nanti tetap Bidi yang jemput."
KAMU SEDANG MEMBACA
Prahara's Secret Wife
RomanceDidi bisa menerima kalau Laras, saudara kembarnya berpacaran dengan Kemal, sahabat sekaligus cinta pertamanya. Sudah biasa jika ia mesti mengalah pada Laras yang fisiknya lebih lemah dibandingkan dengannya. Namun, bisakah dia menerima takdir bahwa i...