Dieng (2)

6.8K 985 37
                                    

Doa anak sedikit solehah memang sering dikabulkan Allah. Nyatanya memang tersedia dua kamar di vila ini dan Prahara mengiyakan saja ketika aku minta kamar sendiri. Ia bahkan tidak terlihat keberatan sama sekali. Asemnya, dengan bersenandung, dia memasuki kamarnya dan mulai mengeluarkan baju-bajunya dari tas. Lihat, dia bahkan sedikit tersenyum ketika melenggang melewatiku.

Malas memikirkan hal itu lebih lanjut, aku pun melakukan hal yang sama. Ah, nyamannya, akhirnya bisa merebahkan diri di kasur dengan bebas merdeka. Kutarik selimut tebal dan mulai membuka laman Novelaku untuk memantau perkembangannya hari ini. Namun, tak berapa lama, aku pun tertidur. Tubuh lelah dan kurang tidur serta hawa sejuk membuatku cepat terlelap ke alam mimpi.

Sesuai rencana, sore hari kami ke kompleks Candi Arjuna dan Kawah Sikidang. Sayang, kami agak kesorean sehingga waktu yang tersedia sangat sempit. Selain itu, gerimis yang datang bersama kabut juga menghalangi jarak pandang kami. Tapi, lumayan, kok. Meskipun kami tak sempat ke Telaga Warna, banyak foto-foto bagus yang kuambil dari kedua lokasi itu. Mungkin setelah melihat matahari terbit di Sikunir kami bisa menyempatkan diri untuk ke Telaga Warna sejenak.

Karena lapar sudah mulai menyerang, maka kami menyempatkan diri untuk singgah di sebuah warung mie ongklok. Tadi sempat searching di google, makanan khas Dieng adalah mie ongklok. Tak lengkap pergi ke Dieng tanpa menikmati mie ongklok. Gambarnya begitu menarik sehingga menggugah selera. Dalam dengan suasana gerimis dan kabut, makan mi panas-panas adalah salah satu dambaan kaum pemuja kuliner seperti aku.

Sayang, ekspektasi tak sesuai dengan realita. Entah lidahku yang manja, atau memang kecapnya yang tak enak, mi di warung yang kami masuki ini justru membuat nafsu makanku menghilang. Pertama, karena antreannya begitu panjang sehingga langsung ilfeel dibuatnya. Bayangkan, kami harus menunggu sejam lebih untuk mendapatkan sepiring mi ongklok. Kedua, mi-nya tak lagi panas karena hawa Dieng yang dingin membuat masakan berkuah itu begitu cepat mendingin. Ketiga, rasanya tidak sesuai dengan ekspektasi. Masakan di sini pedas, asin, dan manisnya tidak balance menurutku. Beda dengan masakan Semarang yang manis, asin, dan pedesnya pas di lidahku. Yah, ini memang soal selera, sih.

Melihatku tak berselera menghabiskan makananku, Prahara mengajakku kembali ke vila.

"Sudah, nanti kubuatkan mi instan saja. Pasti rasanya lebih terjamin," katanya.

Kami pun akhirnya pulang. Sayangnya pula, sesampai di vila aku mendapati tamu bulananku datang. Seperti biasa pula, tamu ini begitu manja sehingga membuatku harus rebahan di tempat tidur menahan perut yang tidak nyaman.

Jangan tanyakan dari mana aku mendapatkan pembalut. Tentu saja, suamiku yang ganteng itu yang membelinya di toko kelontong depan gang sekalian membeli mi instan. Keren, kan? Sayang, aku tak bisa merasakan masakannya karena bagiku lebih baik tidur daripada melek tapi menahan mulas.

Namun, oh, sayangnya pula, aku tak bisa segera tidur karena selain mulas, juga dingin begitu menusuk tulang ketika jarum jam mulai melangkah dari pukul sembilan malam. Suhu sudah di bawah 10 derajat Celsius dan karena tubuhku sedang tak baik-baik saja, maka aku merasakan semakin tidak nyaman.

Oh, barulah aku menyesal karena meminta kamar pisah. Kalau ada Prahara kan setidaknya ada kompor berjalan yang cukup hangat dan diam-diam memelukku dari belakang, kan? Tapi, untuk bergabung dengannya di kamar sebelah, rasanya gengsi juga. Jadi, sepanjang malam, aku menggigil sambil menahan rasa tak nyaman di perut. Mana lapar, lagi. Duh.

Akhirnya, setelah menghitung jutaan domba imajiner, alam mimpi pun perlahan menghampiri. Dalam mimpiku, aku berada di depan sebuah perapian di kastil tua kerajaan Inggris, sementara di luar hujan salju turun dengan derasnya. Oh, tidak dingin. Nyaman sekali rasanya. Aku mengenakan mantel bulu yang sedikit kasar. Mungkin dari bulu beruang atau entah apa. Aku tak pernah menyentuh beruang, sih. Jangankan menyentuh, melihatnya pun dari televisi, kan. Bulu-bulu sedikit kasar itu sedikit menggesek kulit leherku sehingga terasa geli. Namun, nyaman sekali. Dan ah, ketika aku bangun, ternyata memang ada bulu yang menggesek leherku. Apalagi kalau bukan cambang halus milik Prahara yang kepalanya kini menyuruk di leherku.

Untunglah aku sudah mulai sedikit terbiasa berdekatan dengannya. Jadi, subuh ini, kami mulai pendakian ke Bukit Sikunir tanpa rasa canggung. Dia bahkan beberapa kali menggenggam tanganku ketika jalanan sedikit menanjak dan licin sisa gerimis semalam.

Setelah menunggunya salat Subuh di musala yang berada di jalur pendakian, kami melanjutkan perjalanan. Karena ini hari Minggu, banyak wisatawan yang setujuan dengan kami. Bahkan, beberapa kelompok anak muda dari luar negeri juga ada. Kalau melihat ciri fisiknya, mereka berasal dari Italia dan Rusia.

Kami duduk menghadap arah matahari terbit menunggu munculnya sang raja siang. Karena cukup awal sampai, kami bisa mendapatkan posisi strategis. Aku siap dengan kameraku dan Prahara siap dengan ponselnya di sampingku. Ketika matahari mulai menampakkan diri, suara seruan takjub menggema dari setiap pengunjung. Semuanya terpesona. Bahkan, banyak yang bertepuk tangan saking antusiasnya.

Dan aku, takjub juga karena tiba-tiba Prahara menyambar bibirku begitu saja. Dengan bibirnya. Dan aroma mint dari mulutnya. Oh, tidak, benarkah aku baru saja dicium? Dan ciuman pertamaku dicuri begitu saja? Dalam momen yang jelas tak akan aku lupakan seumur hidup.

Mengabaikan canggung, kami pun turun. Kulihat Prahara banyak tersenyum, sedangkan aku, ah, tahu mesti bagaimana. Namun, entah mengapa, kurasakan tubuhku sedikit melayang ketika berjalan. Rasanya mataku berkunang-kunang dan perutku mual. Apakah ini efek dari ciuman itu? Entahlah. Yang jelas, sebelum aku jatuh, sebuah tangan menahanku, lalu sang pemilik tangan menggendongku dan membawaku turun.

Tubuhku panas. Mungkin mencapai 39 derajat. Tak ada fasilitas kesehatan yang buka dan toko-toko yang menjual obat pun masih tutup. Entah bagaimana, Prahara berhasil membawaku kembali ke vila. Setelah menggendongku sampai tempat parkir, dia bergegas memacu mobil dengan kecepatan gila-gilaan. Untung masih pagi, jadi jalanan sepi.

Sampai di vila, karena tak mendapati obat, dia melepas pakaianku dan menyelimutiku. Aku marasakan dingin yang luar biasa hingga menggigil, tapi tubuhku panas. Aku tak tahu apa yang Prahara lalukan, tapi setelah dia melepas bajuku, dia pun melepas bajunya pula dan masuk ke dalam selimutku. Aku sama sekali tak sempat memikirkan apa yang akan dia lakukan karena kepalaku pusing sekali. Namun, kurasakan ia meraihku dan memelukku dari depan. Kepalaku dia surukkan di dadanya sehingga aku bisa mendengarkan detak jantungnya.

"Tidurlah. Aku biasa melakukan ini ada Ami ketikda dia demam," katanya.

Oh, begitukah? Dan kurasa memang mataku memberat. Aku tak mau berpikir banyak. Besok saja, akan kuingat momen ini dalam setiap momen sakitku.





Prahara's Secret WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang