Ini adalah pengalaman pertamaku menginap di pantai. Selama ini aku lebih banyak bertualang di gunung. Bagiku, meskipun gunung mengandung beribu misteri, pantai lebih misterius lagi. Karena, di gunung kita masih memijak tanah, sedangkan di laut, entah apa yang tersembunyi di kedalamannya. Jadi, melewati malam sendirian di tengah suara deburan ombak yang cukup keras membuatku bergidik. Pikiranku ke mana-mana. Satu saat, ingat berita tentang bencana tsunami Yogya bertahun-tahun yang lalu. Saat yang lain, ingat sang ratu penguasa laut selatan yang menjadi mitos paling terkenal di negeri ini. Duh.
Resor milik Mbak Sekar ini berdiri di sepanjang garis pantai, terdiri atas satu bangunan utama berlantai tiga yang terdiri atas kamar-kamar seperti hotel, dinamai Puspaloka. Di sisi Puspaloka, terdapat pondok-pondok kecil dua kamar yang bisa disewa oleh keluarga atau rombongan. Pondok-pondok ini membentuk formasi U mengeliling Puspaloka. Di Puspaloka lantai 1 terdapat restoran tempat pengunjung sarapan. Awalnya Mbak Sekar mengajakku menginap di bangunan utama, tetapi aku memilih menempati pondok kecil ini. Menurutku, ini lebih nyaman meskipun sendirian.
Sore tadi aku baru sempat mengambil gambar view luar resor. Meskipun Mbak Sekar bilang tidak besar, resor ini yang terbesar di antara bangunan-bangunan lainnya. Juga yang paling mewah. Besok pagi rencananya aku akan mengambil gambar detail setiap sudut resor. Sorenya aku bisa kembali ke Yogya dan bertemu dengan Laras di hotelnya. Bagaimana pun, sudah tiga bulan lebih aku tidak bertemu dengannya. Kangen juga ngobrol langsung dengannya.
Oleh karena itu, malam ini aku berniat tidur lebih awal supaya besok bisa penuh energi. Setelah dijamu seafood oleh Mbak Sekar, aku pamit untuk beristirahat di pondokku. Sayang, sampai hampir tengah malam aku masih belum bisa memejamkan mata.
Suara-suara di luar begitu gaduh karena penghuni pondok sebelah tengah mengadakan pesta. Selain itu, gemuruh ombak juga terasa begitu dekat, seakan setiap saat tsunami siap menggulung. Aku merapatkan selimut, menutup telingaku dengan bantal, dan mencoba tidur. Sayang, tidak berhasil. Pikiranku juga ke mana-mana. Mengingat suamiku yang sejak sore tadi tak bisa kuhubungi karena tak ada sinyal.
Ah, sudahlah. Barangkali malam ini aku memang tak boleh tidur. Besok saja, di kasur hotel Laras. Pasti lebih nyaman. Pastinya dia menginap di hotel bintang lima, kan.
Aku pun bangkit dan duduk di sofa ruang tamu. Ada TV besar di sana dan akhirnya aku menonton tayangan sejak tadi sama sekali tak kulihat. Hanya kuhidupkan agar ada tidak terasa begitu sepi.
Tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk. Pikiranku travelling ke mana-mana. Namun, karena Mbak Sekar mengatakan kalau petugas keamanan berjaga 24 jam, maka aku memberanikan diri bertanya, "Siapa?"
"Buka, Dek, ini aku." Sebuah suara berat yang sangat kukenal terdengar dari luar.
Aku segera membuka pintu.
"Mengapa kemari? Bukannya Mas menemani Laras?"
"Eh, suaminya datang kok malah ditanya begini. Mbok disambut yang bener, gitu," sahutnya menerobos masuk.
Aku menyeringai. "Maaf, hanya kaget saja. Sudah makan?"
"Sudah tadi. Kopi saja kalau ada."
Aku segera memanaskan air dan menyeduh kopi untuknya.
"Duduk sini," katanya.
Aku duduk di sampingnya. Setelah menyeruput kopinya, dia merengkuh bahuku dan aku menyandarkan kepala di bahunya.
"Coba bisa begini terus," katanya.
Aku tidak menjawab karena kalau aku menjawab tentu akan merusak suasana romantis yang tengah terbangun. Bagaimana bisa begini terus? Kita makan apa kalau nggak kerja. Hahaha.
"Mami di Puspaloka," katanya.
Aku mendongak. "Laras juga?"
Dia menggeleng. "Hanya Mami. Laras ada urusan dengan manajemen."
"Mengapa Mami tidak mendampingi Laras? Dia kan manajernya."
"Mami ingin ke sini cepat-cepat."
Bolehkah aku mengira itu karena Mami kangen aku? Tapi kalau kangen, dia harusnya di sini, bukan di Puspaloka.
'Oh." Akhirnya hanya itu yang bisa aku katakan.
"Kenapa hanya oh?"
Aku mengangkat bahu.
"Mami mengira kamu sudah tidur, jadi nggak mau ganggu."
"Lalu kenapa Mas malah kemari? Bukannya ganggu aku juga?"
"Aku memang mau ganggu kamu, kok," katanya, sambil mengeratkan pelukannya. Bibirnya menyentuh pelipisku.
Lalu suasana menjadi kental dengan napas yang memberat. Kami mulai berciuman. Dan memang berbeda. Beda sensasi tepatmya. Bercinta di rumah dengan Ami di kamar sebelah dan bercinta di sini di sela deburan ombak yang memecah di pantai. Keduanya sama-sama memuaskan atau justru sama-sama tidak memuaskan. Buktinya yang kami mau adalah mengulang dan mengulangnya berkali-kali hingga fajar menjelang.
Restoran tidak begitu ramai dengan pengunjung ketika kami melangkahkan kaki ke dalamnya. Memang sudah siang. Ketika yang lain memilih ke pantai untuk memulai snorkeling, kami justru melanjutkan satu sesi bercinta setelah salat Subuh yang sedikit kesiangan. Benar-benar seperti bulan madu. Kalau tak ingat dengan pekerjaan yang menunggu, aku pasti memilih untuk kembali bercinta seperti rayuan Prahara.
Kami duduk di dekat jendela yang menghadap ke arah laut. Lurus dengan arah pandang kami, pasir dan laut yang membentang. Aku menatap jalan itu, melihat orang berlalu lalang menuju ataupun kembali dari pantai. Tak berapa lama, aku melihat sosok Mami menuju tempat ini. Dan Mami tidak sendiri. Dia bersama Mbak Sekar, yang entah mengapa, kulihat begitu akrab dengan Mami.
Aku menatap Prahara, tanpa kata menanyakan mengapa Mami tampak begitu akrab dengan Mbak Sekar. Namun dia hanya mengangkat bahu.
Tapi, hei, bukankah mereka tampak begitu serupa? Wajah yang selama ini dikatakan mirip aku, ternyata mirip juga dengan Mbak Sekar. Lebih mirip, malah. Bukan hanya wajah, posturnya juga serupa. Meskipun kecil mungil, tubuh mereka sangat proporsional. Berlekuk di tempat-tempat yang tepat. Rambut mereka, bahkan cara mereka tertawa juga sama. Tidakkah ini terlalu kebetulan? Mana mungkin ada dua orang yang begitu mirip di dunia ini kalau tidak memiliki hubungan darah? Atau, mungkin Mami memiliki saudara kembar dan Mbak Sekar adalah anak saudara Mami?
Selama ini aku memang tak mengenal keluarga Mami. Mami berasal dari Solo. Katanya keluarganya sudah meninggal semuanya. Setiap lebaran tiba, kami tak pernah bersilaturahmi ke rumah keluarga Mami. Namun, untuk ziarah pun tidak. Padahal kalau orang tua sudah meninggal, bukankah sesekali kita harus menengok kuburnya?
Tiba-tiba aku menyadari bahwa ada begitu banyak hal tentang Mami yang tak kuketahui. Tentang keluarganya, tentang masa lalunya.
Dan sekarang, ketika kulihat Mami tengah berjalan dengan seseorang yang begitu mirip dengannya, dengan wajah berseri-seri yang selama ini tak pernah kulihat, tiba-tiba aku merasa jarakku dan Mami ibarat bumi dengan matahari. Begitu jauh dan jika dekat justru akan menghancurkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Prahara's Secret Wife
RomanceDidi bisa menerima kalau Laras, saudara kembarnya berpacaran dengan Kemal, sahabat sekaligus cinta pertamanya. Sudah biasa jika ia mesti mengalah pada Laras yang fisiknya lebih lemah dibandingkan dengannya. Namun, bisakah dia menerima takdir bahwa i...