Bersua

22.3K 1.3K 19
                                    

Drrrt... drrrt... drrttt...

HP-ku bergetar menandakan pesan masuk. Kuintip pop-up. Dari Mas Gerry. Kutengok angka di sana. Masih pagi. Masih ngantuk. Tidur lagi lebih enak. Mumpung sedang ada tamu bulanan. Segera kupejamkan mataku kembali.

Namun, tak berapa lama, si purple bergetar kembali. Berulang-ulang. Sampai jatuh ke lantai. Hah! Apaan si. Ini pasti Mas Gerry yang nyepam. Redaktur majalah Trend yang setengah gila itu memang seringkali nyepam pesan kalau pesannya tak segera kujawab.

Kubiarkan si purple teronggok di lantai. Bergetar-getar seperti sayap capung. Semoga saja jatuhnya tadi tak membuat layarnya pecah. Maklum, purple adalah salah satu asetku yang sangat berharga. Kalau rusak, maka separuh nyawaku juga ikut melayang.

Kring... kring...kring...

Hah, sekarang telepon yang berbunyi. Bukan lagi pesan. Iya, ringtone teleponku memang sengaja kupasang dengan tone jadul. Untuk mengenang jasa penemu telepon pertama kali yang belum pernah mendengarkan lagu-lagu merdu di hape zaman now. Dan, yah, telepon ini memang bukan si purple yang sukses mendarat d lantai. Ini adalah Oldy Blacky, telepon jadul yang hanya diketahui oleh segelintir orang dalam lingkaran pergaulanku.

Kriiingg...

"Ya Mas, nanti aku datang," sahutku sambil setengah melek.

"Mas siapa?" tanya suara sember di sana.

Hah? Aku segera menjauhkan telepon. Kulihat fotonya.

"Apaan? Subuh gini sudah bangunin orang," sungutku kepada wajah cantiknya.

"Mas siapa tadi? Pacar baru?" tanyanya.

"Kapan aku punya pacar lama?" sungutku.

"Iya, kali aja, Di."

"Ngapain telepon?"

"Cuma ngingetin. Nanti aku konpers. Jangan lupa datang."

Oh, shit. Aku lupa.

"Memangnya harus, begitu?" tanyaku yang akhirnya sudah seratus persen melek.

"Haruslah. Kamu tahu, kan, satu-satunya fotografer yang bisa lihat sisi terbaik dari kondisi terburukku ya dirimu."

"Jangan lebay, Ras. Kamu meragukan profesionalisme si Rio?" sungutku.

Dia tertawa.

"Model kayak kamu yang selalu cantik di setiap photoshoot pasti nggak butuh amatiran kayak aku," lanjutku ketika dia tak menjawab.

"Butuh, Didi. Ingat, kamu yang membuatku seperti ini. Harusnya kamu juga yang membuatku tetap pada posisi ini," katanya setengah mengancam.

"Kena virus apa kamu sampai memujiku setinggi langit. Cukup satu apartemenmu sajalah sebagai ungkapan terima kasih."

"Hah. Pulang saja ke rumah. Lebih enak dari apartemen."

Enak baginya tak pernah sama enak bagiku.

"Lebih enak di kos. Bangun siang nggak ada yang ngelarang. Nggak kerja juga nggak ada yang nyinyirin," sahutku santai.

Dia diam. Tahu kalau omonganku benar. Nyonya ratu Arini Sugiarto memang agak terlalu sibuk mengomentari aktivitasku yang geje menurut sebagian orang.

"Ah, jangan dianggap hati, lah. Yang penting nanti kamu harus hadir."

"Ke mana?"

"Konpers, Srikandi Atmaja Sugiarto. Dudul amat. Tadi aku sudah bilang,kan?"

"Kalau nggak?"

"Nyonya Arini Sugiarto siap menceramahimu."

Huh. Kulihat senyum kemenanganan di wajah pucat tanpa make-up itu.

Prahara's Secret WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang