Praduga

6.6K 935 35
                                    

"Ini kan arah ke rumah ayah, Mas. Memang Mas Wibi masih mau singgah ke sana?" tanyaku setelah sekira tiga jam kami putar-putar keliling Jakarta. Nggak sepenuhnya muter, sih, sempat makan bakso sebentar tadi. Iya, bakso, bukan steak di kafe-kafe. Tahu, kan, selera kami masih selera ndeso.

"He em. Ayah minta kita nginap," sahutnya enteng.

"Lho, kan aku nggak bawa baju ganti," elakku. "Nggak, ah, aku balik saja ke kos," lanjutku.

"Nggak bisa, Dek. Ingat kan, yang tadi Mas bilang."

"Yang mana?"

"Yang sejauh-jauh seorang anak pergi, rumah adalah tempat kembalinya."

Aku diam. Tadi dia memang sempat bilang begitu ketika kami sedang makan.

"Tapi kan ...."

"Nggak bawa baju ganti? Tenang saja, itu rumahmu. Lemarimu masih penuh dengan baju yang kamu butuhkan."

"Besok aku masih butuh kerja, Mas."

Dia tertawa. "Siapa tadi yang bilang kalau semua jobnya minggu ini sudah beres? Lagian, job terbesarmu sudah menunggu, Dek."

"Apa?"

"Jadi fotografernya Laras sama Prahara kan, nanti Jumat malam."

"Itu sih bukan job. Paling nggak ada duitnya."

"Ish, duit melulu yang dipikir. Jangan khawatirlah, kalau ayah lupa transfer, nanti Mas yang transfer. Yang penting, kamu harus profesional juga."

Sebenarnya bukan tentang uangnya, sih. Sematre-matrenya aku, kalau sama keluarga sendiri aku nggak pernah terlalu perhitungan. Malas saja mesti ikut hiruk pikuk hal yang sedari awal tidak kusukai.

Namun, ketika akhirnya mobil Mas Wibi memasuki rumah ayah, tak ada hal lain yang bisa kulakukan selain masuk menuju kamar tidurku.

Pada akhirnya kusadari bahwa aku memang harus berdamai. Tidak semua hal bisa berjalan sesuai dengan keinginanku. Apalagi jika itu berkaitan dengan hidup orang lain. Jika Laras memang sudah pasrah hendak bertunangan dengan Prahara, maka aku bisa apa?

Jadi, hari-hari ini kugunakan untuk membangun quality time bersama saudaraku itu. Menemaninya mengepas baju ketika sang asisten desainer membawakannya gaun pertunangan. Menemaninya ke spa, mencoba katering, bantu mengatur venue, dan apa pun yang bisa kulakukan untuknya.

Acara pertunangan itu sendiri sudah ditawar untuk disiarkan langsung oleh Trend TV, tapi Prahara menolaknya. Alasannya, acara ini bersifat privacy. Namun, untuk menuntaskan keingintahuan para wartawan, mereka akan melakukan konferensi pers setelah acara itu berlangsung. Lokasinya di dekat kebun anggrek mami.

Kamis malam, persiapan sudah 80 persen selesai. Tinggal bunga segar dan katering yang memang belum waktunya dieksekusi.

Malam ini, setelah makan malam, Laras nempel ikut ke kamarku. Aku membiarkannya. Mungkin ia ingin menikmati kebersamaan kami sebelum dia terikat pertunangan dengan Prahara.

Dan di sinilah dia sekarang. Telungkup di atas tempat tidur sambil membuka-buka file foto lama. Sementara aku membersihkan lensa kamera supaya besok hasil jepretanku lebih jernih.

"Betul kata Mami," katanya tiba-tiba. Aku menoleh.

"Kemal lebih cocok sama kamu ketimbang sama aku," katanya. Wajahnya menampilkan senyum yang tak keluar dari hati.

"Apa?" Aku memutar tubuh.

"Kemal lebih cocok sama kamu. Nggak sama aku." Ia menegakkan tubuh sambil menunjukkan foto kami berdua ketika masih SMA.

"Itu karena kami sama sama dekil. Sekarang dia lebih cocok sama kamu," ujarku malas sambil kembali mengelap lensa dengan kain microfiber. Yah, bagaimana nggak dekil, jika kegiatan kami lebih banyak di luar ruangan ketimbang di dalam ruangan.

"Tahu nggak, Di, aku sering iri sama kehidupan kamu." Aku memutar mata.

"Kamu disayang Ayah. Disayang Mas Wibi."

"Mas Wibi iya. Tapi ayah, tidaklah. Ayah lebih sayang sama mami," sahutku asal. Bener kok, kalau ayah disuruh milih istri atau anak-anaknya, tentu ayah akan memilih mami.

"Kamu bisa sekolah dengan normal, hidup dengan normal."

"Hidupmu juga normal, Laras. Kamu punya banyak bakat. Kamu terkenal. Uang terjamin. Sebentar lagi punya tunangan yang juga terkenal. Kurang apa lagi?"

Kulihat dia termangu.

"Maaf...," katanya.

"Maaf untuk apa?"

"Telah mengambil Kemal darimu."

"Berapa kali kubilang, Kemal bukan milikku. Dia bukan barang. Dan kamu nggak pernah mengambilnya dariku."

"Tapi kata Mami ...."

"Berhentilah bilang 'kata Mami', Laras. Kamu nggak punya pendapat sendiri apa? Kamu nggak lihat, seberapa sayangnya Kemal sama kamu selama ini? Sampai bela-belain cari beasiswa ke luar negeri supaya nggak malu-maluin menjadi menantu keluarga ini?"

Dia diam.

"Atau, jangan-jangan, kamu mau tunangan sama Prahara juga karena 'kata mami'. Begitu?"

Masih bergeming. Matanya menatap foto Kemal yang tengah tertawa lebar.

"Kamu masih mencintai Kemal dan sekarang mau tunangan dengan Prahara karena Mami mengatakan Prahara lebih baik bagi kamu ketimbang Kemal. Begitu?" cecarku. Aku meletakkan kamera dan mendekati Laras di atas ranjang.

"Dengan, Ras. Aku tahu, selama ini kamu dekat dengan Mami. Aku minta maaf karena sebagai kembaranmu, aku tak pernah ada untuk kamu. Tapi ini hidupmu, Ras. Kamu yang menjalaninya. Bukan Mami."

Dia menarik napas panjang. Mukanya menunduk.

"Kamu yang tunangan. Kamu yang menikah. Bukan hanya fisik. Tapi juga hati. Sekarang tanyalah hatimu. Kepada siapa dia bergetar. Kepada Prahara ataukah Kemal?"

"Aku merasa nyaman dengan Prahara. Ia seperti kakak bagiku," sahutnya lirih.

"Seperti Mas Wibi terhadapku? Karena Mas Wibi lebih dekat denganku sehingga kamu mencarinya pada Prahara?"

Lagi-lagi ia tak menjawab.

"Hubungan kekasih itu tidak sama dengan hubungan kakak adik, Ras. Beda banget. Yah, aku belum ngalamin, sih, tapi aku tahu bedanya lah. Harusnya ada getar-getar gimana gitu," kataku sambil tersenyum kecil menertawakan kebodohanku dalam urusan asmara. Tentunya dia lebih paham, kan?

"Iya, aku tahu. Tapi kata mami itu sudah cukup. Yang penting nyaman dulu. Toh menikahnya juga masih lama."

"Ya Tuhan, Laras... Lagi-lagi bawa 'kata mami' kamu," kataku jengkel. "Lagi pula, kamu kok nggak curiga, sih, bisa-bisanya Mami lebih memercayakan anak gadis kesayangannya pada Prahara yang baru dikenal beberapa bulan ketimbang pada Kemal yang sudah bertahun-tahun mendampingi kamu. Jangan-jangan..."

"Jangan-jangan apa?"

"Mmmm... Apa, ya? Mau tahu beneran?" godaku.

Laras menatapku dengan puppy eyes-nya.

"Hah, anak kecil nggak akan tahu kamu," sahutku sambil melambaikan tangan di depan matanya.

Apa iya, aku tega mengatakan, "Jangan-jangan justru Mami ada afair sendiri sama si Prahara". Nggak mungkin, kan?

Tapi, hari ini gini, apa yang tak mungkin? Suami selingkuh, istri ikut arisan brondong, kakak ipar menghamili adik ipar, nyonya ada affair dengan sopir, tuan main belakang sama baby sitter, mertua doyan sama menantu, dan macem-macemlah. Itu baru dari ranah keluarga. Belum lagi dari urusan kerjaan di kantor. Juga anak-anak sekolah-kuliahan yang FWB-an itu. Tahu-tahu kena HIV baru nyesel dia. Dikiranya tampilan bersih, tampang polos, bisa bebas dari virus mematikan itu? Dih, mengapa jadi ke sini, sih, mikirnya.

Mengingat selama ini Mami yang begitu getol menjodohkan Laras dengan Prahara, bukannya tak mungkin sebagai kamuflase bahwa ada sesuatu antara dia dengan Prahara, bukan? Hah, rupanya aku punya bibit-bibit menjadi anak durhaka. Segera kuhalau pikiran itu dari benakku. Meskipun akhirnya, terbawa juga ke alam mimpi. 

Prahara's Secret WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang