Rumit

6.9K 994 35
                                    

Oke. Oke. Akan kuceritakan yang sebenarnya. Memang aku tadi tersandung karpet. Sandal jembatan gantung itu depannya begitu tipis sehingga ketika menginjak karpet tebal membuat ujung jariku bisa menyentuh karpet. Karena aku juga masih kesulitan menyesuaikan diri dengan sandal berhak setinggi 12 cm itu, maka tersangkutlah. Ditambah aku memang ceroboh. Ce-ro-boh. Terutama kalau berjalan. Ada saja benda yang terkena bagian tubuhku lalu terjatuh. Entah itu vas, buku, pulpen, atau apa saja benda tak berdosa yang kebetulan berada di dekatku.

Termasuk malam ini juga bentuk kecerobohanku. Untung saja, sebelum aku jatuh terjerembab mencium lantai, sebuah tangah kokoh menarikku sehingga aku jatuh menimpa tubuhnya.

Untung saja kursinya kuat, meskipun sedikit terdorong ke belakang.

"Maaf," kataku sembari buru-buru bangkit. Namun ternyata susah. Aku jatuh makin dalam dan mesti berpegangan pada bahunya agar bisa bangkit kembali. Kalau dilihat dari kejauhan, posisi kami sungguh tak layak untuk dilihat.

Entah bagaimana pendapat orang-orang yang melihat posisi kami yang seperti itu. Tapi, kulihat budhenya Prahara sempat menyembunyikan senyum yang sedikit mengembang di bibirnya.

"Mas Prahara nggak salah lamar orang, kan?" celetuk salah satu sepupunya.

Aku yang sudah bisa berdiri hanya menunduk sambil menahan hangat yang menjalari pipi. Duh, bisa saja.

"Maaf, saya permisi dulu."

"Sebentar," kata Prahara. Aku menoleh.

"Sandalmu dilepas saja," katanya sambil membungkuk melepas sandalku. "Ini bisa berbahaya bagi gelas-gelas di sana," celetuknya yang disahuti dengan tawa seisi ruangan.

Betapa malunya. Rasa jengkelku padanya yang semula sempat menguap karena sudah diselamatkan, mendadak datang lagi. Kali ini lebih besar karena ia berhasil mempermalukan aku di depan orang banyak.

Tanpa membuang waktu, aku bergegas menuju ke kamar Laras setelah sebelumnya mengganti sandal jahanam itu dengan sneaker abu-abu yang baru saja kubeli. Syukurlah, kaki menjadi lebih nyaman, langkah menjadi lebih mudah, meskipun jarit batik masih mengurangi langkah lebarku.

Sudah sepi di lantai atas. Aku segera membuka kamar Laras.

"Ras, ayo turun. Acaranya sudah mau mulai," kataku.

Namun, apa yang kulihat? Sosok Laras yang tadi sempat memperbaiki tatanan rambutnya tampak begitu kusut di atas tempat tidur. Dia duduk meringkuk memeluk lututnya yang masih berbalut kain panjang. Rambutnya sudah terurai, tak lagi disanggul modern seperti yang tadi kulihat.

"Ras ...," kataku sambil melangkah mendekatinya.

Dia tak bereaksi, tetapi ketika aku sampai di dekatnya, ia memelukku erat-erat. Wajahnya bersimbah air mata.

"Tolong ... Tolong aku, Di. Aku nggak bisa ....," sedunya.

Ya, Tuhan. Mengapa kesadarannya baru muncul sekarang? Mengapa tidak tadi pagi? Kalau ia mundur, tentu akan mempermalukan kedua belak pihak, kan?

Aku memeluknya. Mencoba menenangkannya.

"Mengapa?"

"Aku nggak bisa, Di. Tolong katakan pada Mami aku nggak bisa. Aku nggak mau bertunangan dengan orang yang nggak aku cinta."

"Dicoba sebentar, nanti bisa putus, kan?"

Dia menggeleng kuat kuat.

"Aku nggak mau mengkhianati Kemal. Tolong, Di...."

Tangisnya semakin kencang.

"Oke, oke. Biarkan aku berpikir sebentar."

Aku melepaskan pelukanku. Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan? Aku berjalan mondar-mandir sebentar duduk, sebentar berdiri. Mencari ide yang tak kunjung terlihat hilalnya.

Apa sebaiknya aku turun dan mengatakan kalau Laras tidak mau? Ah, tidak mungkin. Bisa dibayangkan betapa hebohnya nanti. Apa lagi semua wartawan ada di luar. Karier Laras dipertaruhkan di sini.

Tiba-tiba mataku tertumbuk pada telepon genggam yang ada di nakas. Mas Wibi. Dia pasti akan memberikan solusi.

Aku mengambil HP Laras dan diam-diam mengambil fotonya yang sedang dalam kondisi meringkuk mengenaskan, lalu mengirimkannya kepada Mas Wibi. Selain itu, aku juga mengirimkannya kepada Prahara. Dia harus tahu, kerusakan macam apa yang ditimbulkannya terhadap Laras.

Setelah mengirim pesan, aku meletakkan HP itu dan duduk di samping Laras. Kuusap punggungnya sambil menyampaikan kata-kata penghiburan selama beberapa waktu lamanya. Sampai akhirnya Mbak Anggi datang dan mengetuk pintu kamarku.

"Ayo keluar," katanya.

Aku menoleh kepada Laras. Kulihat dia memandangku dengan penuh harap.

"Semua akan baik-baik saja. Kamu tidur saja dulu," kataku.

Dia mengangguk lalu memosisikan dirinya sehingga telentang. Aku menyelimutinya kemudian mencium dahinya. Lalu, dengan langkah gamang aku keluar dari kamarnya.

Adikku yang malang. Sungguh, tak bisa kubayangkan jika berada dalam posisi sebagai Laras. Sejak kecil dia tak pernah bisa memilih jalan hidupnya. Meskipun di mata orang dia tampak begitu bersinar, tapi sebenarnya jiwanya rapuh. Ia terlalu insecure untuk menentukan pilihannya sendiri. Seperti yang dialaminya hari ini.

Di tangga bagian bawah, Mas Wibi sudah menungguku. Dia merangkulku sejenak.

"Bagaimana Laras?"

"Kusuruh tidur, Mas. Gimana ini selanjutnya? Batal?"

Mas Wibi menggeleng. "Terlalu riskan, Dek. Tolong bantu keluarga kita supaya tidak menjadi bahan gosip, ya." Dia menggiringku ke ruang tempat para tamu berkumpul.

"Maksudnya, Mas?"

"Tolong, kali ini saja. Demi keluarga kita."

Aku berhenti.

"Mas Wibi jangan mbulet gitu dong. Ini aku mesti ngapain?"

"Tunggu saja," katanya menggamitku. "Ingat, nama baik keluarga ada di tanganmu," katanya sambil mendorongku untuk duduk di samping Mami.

Kulihat Pakdhenya Prahara sudah dalam posisi tegak, beda dengan waktu omong santai dengan ayah waktu awal datang tadi. Aku pasrah. Apa pun yang terjadi nanti, jika memang ada yang bisa kulakukan untuk keluargaku –khususnya untuk Laras– maka akan aku hadapi dengan besar hati.

"Dik Agung sekeluarga, kedatangan keluarga kami kemari tentu tidak hanya untuk omong kosong. Kami berniat untuk meminang putri Dik Agung untuk keponakan kami, Prahara. Mohon maaf, karena ayahnya sudah meninggal dan ibunya tinggal di Yogya, terpaksa saya wakili."

"Terima kasih, Mas Pras, Saya betul-betul tidak menyangka kita bisa menjadi keluarga. Di kantor, saya selalu dibimbing Mas Pras, Eh, ternyata anak-anak kita juga nyangkut," sahut ayah berbinar-binar sambil tertawa lebar. Ah, tak tahu dia apa yang sedang dialami anaknya di lantai 2 sana.

Pak Pras, pakdhenya Prahara ikut tertawa sambil mengangguk-angguk.

"Ngomong-ngomong, Mas, ini saya punya dua anak perempuan lho. Harusnya dipertegas lagi, siapa yang hendak dipinang Nak Prahara. Yah, meskipun saya tahu, sih, tapi secara formal memang harus kita sebutkan, ya."

"Kalau yang ini biar Prahara yang bilang saja, Dik. Soalnya anaknya juga nggak pernah diajak ke rumah. Kemarin datang-datang minta dilamarkan. Katanya sekalian tunangan biar lebih simpel." Pakdhe Pras memberikan kode kepada Prahara untuk berbicara sendiri.

Prahara berdehem sebentar, kemudian mengangguk pada Pakdhe Pras dan Ayah.

"Nuwun sewu, Om Agung, Mami Arini, seperti yang disampaikan Pakdhe Pras, saya ke sini dengan keluarga saya bermaksud meminang putri Om dan Tante."

Prahara diam sejenak, memandang kami satu per satu. Sedikit lama dan dalam ketika sampai padaku. Jantungku berdegup kencang. Keringat dingin keluar dari telapak tangan yang tanpa kurasa sudah saling meremas. Perasaanku tidak nyaman karena aku tahu, apa pun yang akan dikatakan Prahara, tentu akan berpengaruh besar terhadap kondisi keluargaku.



Prahara's Secret WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang