Perjalanan Yogya—Wonosobo yang awalnya kupikir sangat menyenangkan karena bisa melihat pemandangan yang bagus ternyata tak sesuai ekspektasi. Bukannya pemandangannya tak bagus, tetapi hujan gerimis turun mulai dari Temanggung. Kabut tebal menghalangi pandangan mata di sepanjang jalan sehingga aku tak bisa leluasa menikmati pemandangan kiri dan kanan. Jarak pandang di depan mungkin tak sampai lima meter.
Suasana di mobil juga hening. Hanya terdengar lantunan Wonderful Tonight-nya Eric Clapton yang entah kenapa terasa pas banget dengan cuaca yang syahdu begini. Salah satu hal yang kusimpulkan selama mengenal Prahara adalah ia lebih menyukai lagu-lagu lawas yang kupikir memang nggak ada matinya seperti lagu ini.
Ami tak ikut karena hendak memamerkan si Trico kesayangannya pada Manda, sepupunya. Mereka sudah kencan nginap di rumah Uti sejak minggu lalu ketika Ami mulai mengunggah foto Trico di grup WA keluarga melalui telepon genggam papanya. Sejak itu, Manda rewel mengajaknya menginap di rumah Uti sehingga ia tak bisa ikut hunting foto hari ini.
Jadilah aku berdua bersama papanya Ami. Menembus gerimis dan kabut yang kian menebal. Agak ngeri sebetulnya, tapi kelihatannya sopir di sebelahku sudah pro dan cukup mengenal medan sehingga aku tenang.
Karena tak bisa menikmati pemandangan yang kian pekat karena hari sudah mulai malam, aku membuka Novelaku dan masuk dengan akun admin. Melihat statistik dan wow, novel Prahara yang baru di-publish dua bab sudah menduduki puncak peringkat dengan jumlah pembaca terbanyak. Juga, dari statistik, kulihat separuhnya pembacanya bergender laki-laki yang selama ini sangat sedikit jumlahnya di Novelaku.
"Rekonsiliasi nangkring di Terpoputer," kataku.
"Iyakah?" tanyanya tanpa mengalihkan pandangan dari depan.
"He em, ternyata nama besar Prahara bisa begitu bernilai jual, ya. Kenapa nggak dari dulu, sih?"
"Kata orang, semua akan tepat pada waktunya," sahutnya sambil memutar kemudi ke arah kanan.
"Begitu, ya?" sahutku. "Eh, tapi mengapa kita berbelok, sih? Bukannya arah Dieng masih lurus?"
"Kita akan singgah di rumah seseorang malam ini. Ada yang perlu dibicarakan."
Aku menatap padanya. Mengapa tak sesuai dengan rencana awal? Bahkan dari jam keberangkatan juga melenceng dari rencana semula. Tadinya kami berencana berangkat pukul dua siang, tapi tiba-tiba ada tamu penting sehingga keberangkatan kami tertunda dua jam. Tanpa singgah ke rumah karena semua barang bawaan sudah masuk bagasi, kami berangkat. Kupikir langsung ke Dieng karena tujuan utamanya memang ke sana, tapi dengan alasan belum makan siang, Prahara mengajakku singgah dulu untuk menyantap ikan bakar di Temanggung. Bahkan salat Magrib pun kami lakukan di rumah makan itu. Lalu sekarang, kami mesti berbelok entah ke mana untuk menemui seseorang yang entah siapa. Tapi, sungguh aku tak mau menambah rusak suasana hati yang sudah mulai membiru karena cuaca ini dengan menggerutu terus menerus. Jadi, seperti biasa, aku memilih berkompromi. Apa pun itu, yang penting besok pagi aku bisa mendapatkan foto-foto keren di Dieng.
"Oh, oke," jawabku pada akhirnya.
Mobil terus menyusuri jalanan. Meski gelap, aku tahu bahwa ini adalah perkebunan.
"Perkebunan teh?" tanyaku. Dia mengangguk.
"Yang kita tuju setelah perkebunan teh. Sebentar lagi sampai," jawabnya.
Benar yang dia bilang. Tak sampai setengah jam, mobil berbelok di sebuah gerbang besar. Jalanan membelah tanah lapang luas yang dipenuhi dengan rumput jepang. Nun jauh di depan, terdapat sebuah rumah batu yang cukup besar. Bangunan itu tampak kokoh dan sepi di tengah padang yang luas. Sebenarnya tidak melulu berupa rumput, sih. Banyak tanaman di tepi halamannya. Namun, karena tak ada bunga-bunga di tanah yang lapang ini, kesannya hanya rumput dan rumput, seperti lapangan sepak bola.
Aku turun dan meregangkan tubuh ketika sesosok tubuh yang kukenali keluar dari pintu menuju teras rumah.
"Om Moyo?" ucapku lirih.
Prahara mengangguk. "Ayo," katanya. Aku mengikuti langkahnya menuju teras.
"Didi... lama sekali tak berjumpa," katanya membuka tangan. Aku segera berlari ke pelukannya. Itu kebiasaan selalu kami lakukan setiap kali bertemu. Menjadi cucu dari lelaki berkebangsaan Prancis membuatku terbiasa dengan bahasa tubuh semacam ini.
"Ya Tuhan, sudah sebesar ini kamu sekarang. Sudah berapa lama kita tidak bertemu? Om minta maaf, waktu Kek Aldrich meninggal tidak bisa takziyah, Waktu itu Om juga sedang sakit."
"Sepuluh tahun mungkin, Om,' sahutku tersenyum sambil mengurai pelukannya. "Tapi Om sekarang sudah sehat, kan?"
"Alhamdulillah, sehat banget. Sejak Prahara mengambil alih percetakan Om dan Om bisa tetirah di sini, Om sehat lagi," katanya sambil tertawa lebar dan mempersilakan kami masuk.
"Ayo, masuk, masuk. Pak Salim sudah menyiapkan kamar untuk kalian."
"Maksudnya, Om? Kami akan ke Dieng, kok. Ini masih Kejajar, kan?"
"Loh, Prahara belum bilang akan menginap di sini?"
"Belum sempat, Om," jawabnya santai.
"Ah, pengantin baru memang banyak sibuknya. Tak apa, anggap saja ini honeymoon bagi kalian. Ayo, sekarang kalian bersih-bersih dulu setelah itu kita bisa ngobrol sambil menikmati makan malam."
Ini untuk kedua kalinya aku sekamar dengan Prahara setelah hampir tiga bulan menikah. Pertama, di kamarku dan sekarang di rumah peristirahatan Om Moyo. Ketika aku menanyakan sekilas mengapa Om Moyo bisa tahu status kami, Prahara hanya berkata,"Nanti kamu akan tahu."
Canggung, tentu saja. Namun, karena kami sudah cukup biasa melakukan banyak hal bersama, tentu ini tak secanggung saat kali pertama kami sekamar. Semua berjalan alami saja. Dia memilih ke kamar mandi dulu dan ketika aku selesai, kulihat ia telah menyiapkan sajadah untuk kami salat isya.
Dan yah, ini kali pertama aku menjadi makmumnya. Kalau di rumah, dia lebih sering ke masjid RT, kalau di kantor dia di musala, sedangkan aku lebih suka menunaikannya bersama April di ruang kosong dekat ruangan Novelaku.
Rasa syahdu begitu membuncah di dada mendengarkannya melantunkan Fatihah dan surat-surat pendek. Begitu merdu dan menyentuh. Apalagi setelah salam, dia mengulurkan tangan untuk kucium. Tak bisa kuceritakan dengan kata-kata bagaimana rasanya. Pun, setelah itu, dia mencium keningku lama. Duh, jadi baper, kan?
"Ayo, sudah ditunggu Om Moyo dan kamu bisa menanyakan apa pun yang ingin kamu ketahui," katanya sembari bangkit dan selanjutnya melipat sajadah.
Aku segera melepas mukenaku dan mengikutinya menuju ruang makan. Kupikir dia sudah terbiasa di tempat ini karena tahu lokasi yang harus dituju tanpa sekali pun ragu melangkah.
"Om Moyo tinggal sendiri?" tanyaku ketika kami sudah berada di meja yang sama. Beliau duduk di depanku, sedangkan Prahara berada di sebelahku. Tak ada orang lain lagi selain kami.
"Ada banyak orang, kok. Tapi kebanyakan tinggal di belakang. Yang di rumah ini hanya Om dan Pak Salim."
Note, ya. Pak Salim itu orang kepercayaan Om Moyo.
"Om benar-benar nggak nyangka, Prahara bisa menemukan Didi."
Menemukan, itu banyak makna kupikir. Berarti dulu ia pernah mencariku? Untuk apa?
KAMU SEDANG MEMBACA
Prahara's Secret Wife
RomanceDidi bisa menerima kalau Laras, saudara kembarnya berpacaran dengan Kemal, sahabat sekaligus cinta pertamanya. Sudah biasa jika ia mesti mengalah pada Laras yang fisiknya lebih lemah dibandingkan dengannya. Namun, bisakah dia menerima takdir bahwa i...