Kami masih menunggu pesanan kami diantarkan ketika mereka berdua berjalan ke arah restoran. Meskipun restoran ini satu tempat dengan penginapan, namun sistemnya tidak prasmanan seperti kebanyakan hotel. Sarapan di sini sama seperti kalau makan di restoran biasa. Pesan dulu, baru disajikan.
Mereka berdua memasuki restoran dengan beriringan. Mbak Sekar terlihat mengarahkan Mami ke sebuah meja dan memanggil pramusaji. Kelihatannya mereka berdua belum melihat kami, jadi aku berniat mendatangi meja mereka. Namun, belum lagi berdiri, tiba-tiba teleponku dan telepon Prahara berbunyi bersamaan. Milly.
Dan kudengar Prahara mengucapkan salam," Asalamualaikum, Bu."
Dua panggilan dari lokasi yang sama kupikir bukan kabar yang baik. Segera kuangkat panggilan di HP-ku, "Ya, Mil."
"Mbak ...." Kudengar suara panik. "Ami kecelakaan, Mbak. Kalau bisa pulang sekarang. Ini Ibu sedang menghubungi Mas Prahara."
"Mas Prahara sedang bersama aku. Kami segera ke sana. Segera bawa ke rumah sakit, jangan lupa share lok."
"Oh, syukurlah. Cepet, ya, Mbak."
Aku memandang Prahara, rupanya dia sudah selesai berbicara dengan Ibu. Kulihat wajahnya tidak terlalu panik. Aku menduga, Ibu belum mengatakan apa yang terjadi.
"Ibu menyuruhku pulang," katanya.
"Kalau begitu mari kita pulang," sahutku sambil beranjak. "Aku pamit dulu sama Mbak Sekar."
Aku segera menuju ke tempat mereka berdua yang kaget karena melihatku di sini juga.
"Mbak Sekar, mohon maaf, hari ini aku belum bisa ambil foto resornya. Kami terpaksa pulang karena ada panggilan darurat dari rumah."
"Ada apa, Dek?" tanya Mbak Sekar.
"Ami kecelakaan. Kami harus segera pulang. Maaf, Mbak, lain kali aku akan ke sini sendiri saja."
Tanpa menunggu jawaban Mbak Sekar, aku segera berbalik menuju Prahara. Kulihat dia sudah menungguku dengan wajah tak sabar.
"Milly bilang apa? Tadi aku dengar kata 'rumah sakit'," katanya berjalan menjajariku.
"Sudah, jalan saja."
"Nggak. Pasti ada yang darurat," katanya.
Aku berjalan setengah berlari dan dia tak kalah cepat. "Nanti aku ceritakan. Ayo packing dulu."
Tak sampai lima menit, kami sudah siap di mobil. Namun, Prahara tidak kunjung membuka pintu mobil.
"Apa yang terjadi?" tanyanya.
"Jalan saja dulu, nanti juga tahu."
"Nggak. Kasih tahu dulu, baru jalan."
"Oke, kalau begitu serahkan kunci mobil dulu. Biar aku yang setir."
Dia menatapku ngeri. Hari ini dia membawa Land Cruiser yang baru dibelinya bulan lalu. Katanya supaya aku nyaman kalau bepergian ke gunung hunting foto. Oh, so sweet, kan.
"Tenang, aku dulu belajarnya pakai Jeep Willys kok. Yang tua saja takluk, apalagi yang muda." Efek kalau punya kakek nyentrik ya gini. Willys-nya kakek malah setirnya di kanan. Kadang-kadang remnya suka blong tiba-tiba. Belum lagi gasnya yang beratnya minta ampun.
Akhirnya dia menyerah dengan rasa penasarannya. Dengan enggan diserahkannya kunci kepadaku. Aku segera naik ke kursi pengemudi setelah meletakkan tas punggungku di bagasi. Ketika dia sudah naik ke kursi penumpang, aku berkata, "Ami kecelakaan," kataku sambil mulai mengemudi.
Aku melirik responsnya. Tuh, kan, seperti yang kuduga si papa bucin langsung pias. Makanya aku ambil alih jadi sopir. Ingat waktu di bom bom car, dia begitu protektif kepada Ami. Kalau tabrakan mainan saja dia sudah begitu, apalagi kalau kecelakaan beneran seperti sekarang? Aku sendiri belum tahu bagaimana kondisi Ami, tetapi mungkin lebih baik tidak tahu dulu supaya bisa konsentrasi di jalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Prahara's Secret Wife
RomanceDidi bisa menerima kalau Laras, saudara kembarnya berpacaran dengan Kemal, sahabat sekaligus cinta pertamanya. Sudah biasa jika ia mesti mengalah pada Laras yang fisiknya lebih lemah dibandingkan dengannya. Namun, bisakah dia menerima takdir bahwa i...