Sudah memasuki pertengahan tahun, tetapi Yogya masih sering hujan. Aku mendesah menatap langit yang muram sedari tengah hari. Bukannya aku tak suka hujan, tapi hari ini aku menjemput Amira di TK-nya menggunakan motor. Eh, biasanya juga menggunakan motor, ding, karena Prahara menyuruhku menggunakan benda itu sebagai alat transportasiku antar-jemput Amira selama seminggu ini.
Untungnya hari ini ia pulang agak sore karena latihan untuk persiapan pentas perpisahan. Wisuda atau apalah namanya. Sekarang kan wisuda tidak hanya untuk yang lulus kuliah saja. Anak TK saja diwisuda. Pakai baju cantik-cantik yang idenya sudah diplot setahun sebelumnya.
Karena nggak masuk grup WA wali murid, maka aku ketinggalan info dan akhirnya kepagian menjemputnya. Beruntung, ada kafe yang buka tepat di seberang sekolah Amira. Jadi kuputuskan untuk menunggu Ami pulang di kafe sambil menunggu hujan reda bersama segelas teh susu gula merah yang diberi toping cincau.
Suasana kafe lumayan sepi. Hanya aku dan sepasang kekasih yang mojok di sudut kafe yang sayangnya berada lurus dengan arah pandangku. Supaya tidak mengganggu privasi mereka, kuarahkan tatapanku ke luar kaca jendela, tepat mengarah ke jalan raya depan sekolah Amira. Kulihat sebuah Camry hitam keluaran tahun terbaru terparkir di sana. Aku mengerutkan kening. Agak heran karena anak-anak yang sekolah di sini rata-rata dijemput dengan mobil sejuta umat dan yang sekelas dengan itu. Tak ada satu pun yang dijemput dengan mobil mahal mengingat sekolah ini berada di lingkungan tenpat tinggal penduduk kalangan menengah yang rata-rata pekerjaan orang tuanya adalah dosen dan pegawai negeri. Dari kalangan itu, ada berapa yang memiliki mobil mewah?
Lagi pula, anak-anak yang masih tinggal di sekolah hanya dari angkatannya Amira. Dan aku sudah mengenal –tepatnya mengetahui—bahwa sebagian besar mereka hanya dijemput menggunakan sepeda motor seperti halnya Amira karena mobil digunakan untuk orang tua mereka bekerja.
Ah, barangkali hanya parkir. Lagi pula di sini ada beberapa kantor yang tempat parkirnya terbatas sehingga banyak yang parkir di tepi jalan.
Agak lama aku mengamati mobil yang ongkos pajaknya bisa kubuat hidup di kos selama berbulan-bulan itu hingga akhirnya hujan mereda. Amira dan teman-temannya pun sudah selesai latihan sehingga aku memutuskan untuk menyeberang melewati mobil itu. Memakaikan helm Amira lalu memboncengkannya di belakang.
"Capek?" tanyaku.
"Iya. Tapi Ami senang. Kata Bu Guru narinya sudah lancar."
"Wah, bagus dong. Siapa dulu dong."
"Ami-nya Bidi, dong," katanya sambil tertawa.
"Mau hadiah apa?"
"Mmm ... apa ya? Simpan dulu, nanti saja Ami pikir dulu."
"Oke, Bosku. Yuk, pulang," kataku sambil mulai menekan tombol starter motor.
Si matic merah pun segera membelah jalanan kota Yogya. Anehnya, sedan mewah itu terus mengikutiku hingga aku berbelok ke jalan arah rumah Prahara.
"Nanti malam kita ke rumah ibu," kata Prahara sepulang dia entah dari mana. Baiklah aku cerita dulu tentang kehidupan rumah tangga kami. Meskipun sudah seminggu aku menjadi istrinya, kami belum bisa dibilang akrab. Tentang ibu Ami, aku sama sekali tak bertanya dan ia pun tak memberi tahu. Kupikir dia duda, mengingat Ami sama sekali tak pernah menyebut nama ibu, mama, mami, umi, mommy, mimi, emak, atau apalah yang merujuk pada perempuan yang melahirkannya. Selain itu, Oma Ajeng –yang sampai sekarang hanya kukenal lewat nama—juga menjodohkan Prahara dengan gadis-gadis, artinya, keponakannya itu jomlo, tidak beristri.
Tentang statusnya sebagai ayah dari Amira bisa kuterima karena pertama, pernikahan ini bisa dibilang abal-abal dan kedua, adanya Ami bisa membuatku tak kesepian di sini. Bahkan aku berterima kasih kepada gadis kecil berambut ikal yang karakternya mirip dengan Laras itu, begitu manis dan sangat mudah untuk dicintai.
Selain antar jemput Amira, aku tidak mengerjakan pekerjaan rumah karena ada Mak Yem yang datang setiap hari untuk memasak dan bersih-bersih. Untuk meringankan beban Mak Yem, aku cukup mengurus kebutuhanku sendiri, jadi tak menambah bebannya.
Karena punya banyak waktu luang, aku mulai membuka lagi website pribadiku dan mengiklankan jasaku melalui laman media sosial. Meskipun bukan selebgram dengan jutaan follower, ada beberapa follower-ku yang fanatik, terutama yang berkaitan dengan fotografi dan desain grafis. Meskipun sampai saat ini belum banyak tawaran pekerjaan, setidaknya ada satu dua job yang bisa kukerjakan sembari menunggui Amira bermain. Yah, cukup menyenangkan sih, setidaknya aku tidak perlu khawatir memikirkan makan apa hari ini. Juga tidak perlu mengkhawatirkan saldo rekeningku akan berkurang karena Prahara memberikan satu kartu debet untuk memenuhi kebutuhanku dan Amira. Yeah, aku memang semurah itu, ya. Cukup makan dan uang aman maka aku akan bahagia, hahaha.
Sayangnya berita yang dibawa Prahara sore ini cukup membuat dunia bahagiaku sedikit berguncang. Kupikir hidupku sudah cukup dengan dia dan Amira saja. Namun, berita bahwa malam ini sang ibu minta ulang tahun dirayakan dengan berkumpul bersama seluruh keluarga besarnya cukup menggelisahkan. Catat, ya. Seluruh keluarga besar. Berarti bukan hanya anak dan cucunya saja, melainkan juga bersama adik-adik dan keponakannya. Bahkan dengan cucu adiknya juga. Jumlah total hampir mencapai lima puluh orang. Dan semuanya orang asing bagiku. Kecuali Amira, tentu saja.
Tepat pukul tujuh malam, mobil yang dikendarai Prahara memasuki sebuah rumah joglo berhalaman cukup luas. Rumah ini model lama tetapi banyak renovasi di sana-sini. Ada dua bangunan di sayap kiri dan kanan. Bangunan dua lantai di sebelah kanan rumah memiliki pintu berjajar. Kutebak ini adalah kos-kosan karena kebetulan lokasi rumah ini dekat sekali dengan beberapa kampus terkenal di Yogyakarta. Di sayap kiri, terdapat bangunan yang sekarang sedang digunakan sebagai tempat acara. Ada tulisan "Waroeng Emak" di depannya. Dan yups, ini adalah warung yang dikelola ibunda Prahara. Ini sih bukan warung, tapi rumah makan. Nyatanya bisa dibuat mengadakan acara untuk lima puluh orang, kan?
Belum banyak yang datang sehingga aku tak merasa kikuk. Setidaknya Prahara tahu diri untuk datang lebih awal sehingga aku bisa mempersiapkan mental. Bisa dibayangkan, kalau kami hadir terlambat, tentu kami akan disambut dengan tatapan penuh tanya puluhan pasang mata.
Kedatangan kami disambut dengan antusias oleh seorang perempuan pertengahan lima puluhan yang kuduga adalah ibu Prahara. Garis wajah mereka mirip, utamanya pada bagian mata dan hidung yang lurus. Posturnya tinggi semampai, tak seperti Mami yang pendek. Mungkin mencapai 165 cm, sedikit lebih pendek dari aku. Ibu Prahara menyambut kami dengan senyuman dan pelukan. Tak hanya kepada putranya dan cucunya, tetapi juga kepadaku yang notabene tak dikenalnya. Dia bahkan mencium kedua belah pipiku lalu memintaku untuk menikmati acaranya. Aku pun hanya bisa mengiyakan dan duduk di kursi sebelah Prahara yang sudah didudukinya sejak tadi.
Aku mengembuskan napas lega. Untuk sementara masih aman. Namun, aku tak tahu apa yang terjadi jika Oma Ajeng yang pernah disebut-sebut Amira datang. Dan tak berapa lama, mereka pun berdatangan. Aku hanya bisa pasrah, apa yang harusnya terjadi, biarlah terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Prahara's Secret Wife
RomanceDidi bisa menerima kalau Laras, saudara kembarnya berpacaran dengan Kemal, sahabat sekaligus cinta pertamanya. Sudah biasa jika ia mesti mengalah pada Laras yang fisiknya lebih lemah dibandingkan dengannya. Namun, bisakah dia menerima takdir bahwa i...