Yogyakarta

7.5K 1.1K 30
                                    

"Aku membelinya di loakan," kataku mencoba meraih buku itu. Tapi gagal. Prahara mengangkat tangannya tinggi-tinggi sehingga aku tak bisa meraihnya. Dan ingat pakaianku yang hanya begini, aku tidak lagi mencoba untuk mengambil buku itu kembali.

"Mm, loakan, ya," katanya sambil membalik-balik buku itu.

"Yah, tapi tetep bagus, sih," jawabku sambil lalu dan segera menyibukkan diri membuka lemari pakaian.

Aku mengangsurkan handuk bersih kepadanya.

"Mandilah. Setelah ini kita harus berbicara," kataku sok santai. Yah, sok santai memang. Karena sebenarnya menemui dan berbicara dengan lelaki asing di dalam kamar tidak pernah kulakukan sama sekali.

"Oke," jawabnya ketika menerima handuk dariku. Dia menyerahkan buku itu kepadaku.

"Loakan, kan? Ini di halaman depan ada tulisan 'untuk Sri'. Berarti yang punya sebelumnya namanya sama kayak kamu," katanya lalu menuju kamar mandi.

Aku menerima buku itu. Tanpa kubuka pun aku tahu kalau di halaman depan ada tulisan dan tanda tangan Prahara.

Kalau kamu mengira aku mendapatkannya saat novel itu di-launching, maka kamu salah. Sepuluh tahun yang lalu, nama Prahara belum ada apa-apanya dibanding sekarang. Bahkan mungkin yang mengenal hanya teman-teman dekatnya saja. Pada zaman itu, nama yang tenar adalah Andrea Hirata dan Habiburrahman El Shirazy. Itu yang novelnya best seller. Kalau Prahara? Novel pertamanya saja diterbitkan secara indie. Tanpa promosi yang gencar dan lingkaran komunitas yang kuat, sulit untuk menjadi best seller.

Bagaimana aku bisa tahu? Ya karena aku memang tahu. Secara tak sengaja tentu saja. Rentang waktunya sembilan hingga sepuluh tahun lalu.

Hari pengumuman kelulusan ketika itu. Acara wisuda yang menobatkanku sebagai peraih nilai UN tertinggi di SMP-ku menjadi hambar seketika karena tak ada seorang pun yang mendampingiku. Ayah sedang dinas ke luar kota. Kakek ada job untuk memotret pernikahan di Gedung Juang. Mas Wibi kuliah di Yogyakarta. Mami yang seharusnya mendampingi aku kutunggu-tunggu tak datang juga. Tanpa kabar. Bahkan sampai acara berakhir.

Bisa dibayangkan, kan, betapa kecewanya aku. Apalagi ketika sampai di rumah, aku mendapati rumah dalam keadaan kosong. Dari tetangga, aku tahu bahwa Laras sakit dan Mami membawanya ke rumah sakit. Katanya sih sampai pingsan tadi pagi.

Mendengar berita itu, aku segera menuju rumah sakit langganan tempat Laras biasa dirawat. Setelah menanyakan ruang rawat Laras di resepsionis, aku bergegas menuju ruang rawatnya di lantai tiga.

Tanpa mengetuk pintu, aku masuk ke ruang bercat hijau muda itu. Kulihat Laras sedang tidur ditunggui Mami yang duduk di sofa sebelah tempat tidur Laras.

"Laras sakit apa, Mi?" tanyaku setelah duduk di kursi kecil dekat tempat tidur Laras.

"Gerd-nya kambuh gara-gara  kelelahan," sahut Mama. "Coba kemarin nggak kamu ajak nge-mal. Nggak capek dia."

"Dia sendiri yang minta, Mi," sahutku.

"Kalau kamu nolak pasti dia tidak ikut. Lagian kamu ke mal ngapain?"

"Beli sandal, Mami. Hari ini Didi wisuda. Dapat penghargaan dari sekolah. Masak pakai kebaya sama sepatu kets?" Kebayanya juga sewa, dumelku dalam hati.

"Pakai sandal Mami kan bisa."

"Itu tiga ukuran di bawahku, Mami. Mana bisa? Mami lupa apa memang kurang perhatian, sih? Tadi kutunggu tunggu juga nggak hadir di sekolah. Aku kayak orang hilang, tahu."

"Laras sakit begini kamu masih protes Mami nggak bisa datang? Mikir nggak kamu, Di?"

Deg. Jantungku berdegup kencang mendengar kata-kata Mami.

"Mikir dong. Kupikir  aku seperti anak tiri yang sama sekali tak dianggap oleh keluarganya. Sekali saja, pernah nggak sih, Mami peduli sama aku?"

"Adikmu sakit dan kamu tega-teganya bilang kayak gitu. Jangan egois dong.  Adikmu sakit masih saja minta perhatian? Harusnya kamu bersyukur jadi anak yang sehat. Bisa ke mana-mana. Bisa melakukan apa saja. Kalau Mami lebih memperhatikan Laras, harusnya kamu mengerti, Di. Mami kecewa melihat sikapmu yang seperti itu. Sama saudara sendiri harusnya lebih peduli, dong. Jangan karena dia kelihatannya sehat terus kamu ajak ajak begitu. Kalau sakit, kamu nanti iri, bilang kalau Mami kurang perhatian."

Mami terus berkata-kata. Mengungkit apa yang selama ini bisa kulakukan dan tak bisa dilakukan Laras. Tanpa memedulikan hatiku berdarah-darah karena terluka oleh ucapannya.

Iya, memang aku sehat. Jadi aku bisa ngapain saja. Bisa main ke mana saja. Bisa sekolah dan bergaul dengan banyak teman. Tapi apa aku yang minta? Apa aku mesti sakit dulu supaya bisa dapat perhatian Mami? Tapi, kupikir-pikir itu juga mustahil. Sebagaimana anak lain, aku juga pernah sakit. Tapi Mami nggak pernah seperhatian kalau Laras yang sakit. Akhirnya, aku diam saja. Cukup tidur hingga esok hari tubuh kembali kuat. Yah, mungkin waktu itu Mami nggak tahu kalau aku sakit, sih. 

Mami nggak pernah tahu, bagaimana malam-malamku sendirian ketika Mami dan Ayah panik karena melihat Laras kejang dan segera membawa ke rumah sakit. Mami nggak pernah tahu bagaimana kerasnya usahaku untuk bisa menjadi juara di bidang apa saja agar dia mau sedikit saja memperhatikan aku. Mami bahkan nggak tahu kapan aku pertama kali menstruasi. Mami nggak pernah tahu.

Oke, Mami maunya aku main ke mana pun, kan? Maka aku segera pamit pulang setelah Mami menghentikan omelannya. Tanpa menunggu Laras bangun. Meskipun ia akan bertanya-tanya mengapa kembarannya tak menengoknya ketika ia sakit.

Maka, apa yang dikata Mami pun aku lakukan. Keluar dari rumah sakit, aku langsung menuju halte bus beberapa ratus meter di arah timur rumah sakit. Aku ingin pergi. Ke mana pun. Yang pasti tidak pulang. Aku akan naik bus pertama yang lewat di depanku. Dan karena yang lewat adalah bus ekonomi jurusan Yogyakarta, maka aku pun menuju ke Yogyakarta. Duduk di bangku paling belakang sambil mengusap wajah yang penuh air mata.

Selama hampir lima belas tahun hidupku, aku tak pernah jadi orang nekad. Hidupku selalu penuh perhitungan. Jangan pikir aku ke Yogyakarta dengan tangan kosong. Ada uang hadiah menjadi rangking pertama dari sekolah. Tiga ratus ribu. Cukup untuk membeli tiket pulang pergi dan makan selama satu dua hari. Satu lagi, di Yogya ada Mas Wibi. Aku bisa menginap di kosnya atau mungkin dia berbaik hati menitipkan aku di tempat kos teman perempuannya.

Sayangnya sampai di Yogya aku tak bisa menghubungi kakakku itu.  Aku tak membawa HP dan juga tak tahu di mana dia kos. Yang aku tahu, dia kuliah di fakultas teknik. Namun, aku menolak menangis. Kata-kata Mami masih terngiang di telingaku. Aku bisa pergi ke mana pun. Maka aku pun ngemper di Malioboro bersama para pelancong dan pengasong. Memegang si Niky yang memang selalu stand by di tasku. Mengambil gambar orang orang yang lewat dan para pedagang yang menjajakan dagangannya. Pada tukang becak dan tukang delman yang sedang menunggu penumpang. Siapa saja yang bisa kuambil gambarnya.

Kata Kakek, aku berbakat memotret ekspresi. Jadi, untuk mengasahnya, aku perlu banyak berlatih. Beberapa orang kuambil gambarnya dengan sukarela, memasang senyum terbaik mereka. Beberapa kuambil secara candid. Mungkin melanggar privasi, tapi toh tak akan kupublikasikan.

Kegiatan memotret ini benar-benar menjadi healing bagiku. Aku lupa betapa menyakitkannya kata-kata Mami. Bahkan aku lupa di mana mesti tidur nanti malam. Sampai aku bertemu dengan pemuda itu. Pemuda kurus yang menawarkan bukunya pada wisatawan yang ditemuinya. Yang kemudian duduk di sampingku ketika aku tengah lesehan bersandar di dinding sebuah toko sambil membuka-buka hasil jepretanku hari ini.

"Laris, Mas?" tanyaku iseng. Kalau pikiranku sedang enak begini, aku memang biasa menjadi ramah pada siapa pun, termasuk pada orang asing sekalipun.

Dia hanya mengangkat bahu. "Begitulah. Minat baca di Indonesia masih memprihatinkan."

"Karya sendiri?" tanyaku. Dia mengangguk.

"Kenapa nggak dijual di toko buku?" Mataku mengarah ke toko buku yang juga sampai dikunjungi orang.

"Nggak ada yang berminat dengan pengarang baru."

"Lihat, Mas," kataku. Dia mengulurkan satu buku yang tidak dilapisi plastik.

Dan aku terpesona bahkan ketika halaman pertama belum selesai kubaca.



Prahara's Secret WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang