"Apa-apaan ini?" seru Mas Gerry. "Yang lain bisa dapat gambar bagus, kenapa hasilmu seperti ini?"
"Itu juga bagus, Mas," celetukku. "Nih lihat, gambarnya seperti tiga dimensi. Ini hasilnya sangat bagus, Mas."
"Bagus sih bagus, tapi tidak menjual. Mana ada pasangan mau tunangan tapi fotonya manyun seperti ini. Yang lain dapat kok, foto mereka yang saling tersenyum bahagia."
"Tersenyum bahagia, ya, Mas? Ya, kali, settingannya kan memang gitu."
Mas Gerry menatapku. "Maksudmu?"
Aku mengedikkan bahu. "Untuk menaikkan rating, kali."
"Nggak mungkin. Prahara sendiri sudah bilang kalau mereka tidak butuh gimmick untuk menarik animo masyarakat."
"Iyalah, mana ada maling ngaku," gumamku.
"Ngomong yang bener, Di. Mereka artis, bukan maling."
"Iya, Mas, iya."
"Jangan iya iya melulu. Bagaimana ini bisa jadi berita bagus kalau gambarnya seperti ini," sungutnya.
"Sebenarnya, sih, harusnya kita curiga," kataku.
"Maksudmu?"
"Hih, Mas Gerry dari tadi nggak paham juga. Mana insting wartawannya? Mentang-mentang sudah duduk di kursi empuk jadinya tumpul tuh insting."
"Ngomong yang jelas, Di."
"Logikanya, Mas, kalau ada orang saling jatuh cinta, apalagi berencana mau tunangan, nggak mungkin kan, tepergok manyun sambil melamun? Mana yang satu tatapannya datar, yang satu nolehnya ke mana. Itu nggak berjarak jam, lho. Hanya beberapa menit setelah mereka mengatakan akan tunangan. Apa nggak mencurigakan, tuh?"
Umpan sudah kulempar. Tinggal menunggu kecerdasan Mas Gerry untuk menangkap umpanku itu. Yaps, katakan saja aku tokoh antagonis. Tapi aku tak rela jika Kemal dikhianati setelah apa yang terjadi selama ini. Biarkan kali ini aku melaksanakan tugasku sebagai sahabat yang baik, Menjaga gadis yang selama ini menautkan hati kepadanya.
Ketika aku melangkahkan kaki keluar dari ruangan Mas Gerry, kudengar ia memanggil Indah, wartawan yang kemarin bersamaku meliput di Gerha Salindia.
"Ndah, coba cek, apakah Laras punya pacar rahasia. Masa lalu Prahara juga."
Beberapa jam kemudian, muncul berita di trendzone.com. Larasati dan Prahara Hanya Gimmick? Fotoku yang digunakan sebagai bukti pendukung.
Ah, iya. Memang itu yang kumau.
*
Aku memasuki rumah bercat putih berlantai dua berhalaman luas itu dengan santai. Panggilan Nyonya Besar Arini Sugiarto sore tadi membuatku mau tak mau datang ke rumah yang hanya sekadar tempat singgah bagiku. Meskipun kedua orang tuaku tinggal di sini, sih. Aku tak pernah menganggap rumah ini sebagai rumah.
Aku besar di Semarang. Jadi, kupikir Semarang, rumah kakek, adalah rumahku. Dulu, ayah berkantor di Semarang. Dekat pelabuhan dan Stasiun Tawang Karena ia anak tunggal, maka setelah berkeluarga tak pernah meninggalkan rumah.
Ketika aku SMP, ayah mendapatkan promosi di Jakarta. Awalnya menjadi kepala bagian sebuah BUMN, sekarang sudah naik menjadi direktur. Yah, lumayan banyak sih, gajinya.
Meskipun tinggal sendirian, kakek tak mau diajak ke Jakarta. Ia lebih suka mengurus studio fotonya yang hidup segan mati enggan di tepi keramaian Pasar Johar. Aku memilih menemani kakek yang sendirian setelah nenek meninggal. Setelah menyelesaikan masa SMP-ku, aku melanjutkan sekolah di SMA favorit yang terletak di Jalan Pemuda. Di sinilah aku semakin dekat dengan Kemal, pemuda tanggung anak pedagang kecil di Pasar Johar yang menjadi ketua Mapala di sekolah kami.
Lulus SMA, studio mini milik kakek terbakar. Katanya sih korsleting listrik. Kondisi ini membuat kakek depresi. Bagaimana pun, studio ini adalah jiwanya. Kakek meninggal tak lama kemudian. Mau tak mau, aku ikut dengan orang tuaku, melanjutkan kuliah di Jakarta. Karena letak kampus cukup jauh, aku memilih kos di dekat kampus. Sampai sekarang aku tetap kos di sana meskipun sudah lulus dua tahun yang lalu.
Jadi, kalau aku mengganggap bangunan ini sebagai tempat singgah, wajar, bukan? Selama enam tahun ini aku hanya mengunjunginya sebulan sekali. Itu pun hanya menginap semalam. Sekadar menggugurkan kewajiban supaya masih dianggap hidup.
Selepas mengucap salam, aku memasuki ruang tamu. Suasananya cukup ramai. Para penghuni rumah sedang asyik bercengkerama di ruang tamu. Ayah menyambutku dengan pelukan, seperti biasa. Untuk mami, cium tangan saja, juga seperti biasa. Mas Wibi duduk di samping Mbak Anggi, membuka lengannya untuk memelukku, tapi aku hanya duduk di sampingnya. Dengan sayang, dielusnya kepalaku. Yah, kakakku satu-satunya inilah yang membuatku merasa benar-benar diterima di rumah ini. Sayang, ia pun hanya sesekali singgah di sini, sebagaimana aku. Hanya Laras yang benar-benar berumah di sini.
Ngomong-ngomong tentang Laras, ternyata dia juga ada di sini, lho. Duduk di dekat akuarium yang airnya bergelembung-gelembung dengan ikan air laut warna-warni hilir mudik di sana. Di sampingnya, duduk seorang pria. Siapa lagi kalau bukan Prahara Mahendra. Aku menatap keduanya sambil menaikkan alisku dan tersenyum sedikit sinis. Iyeh, si orang yang sedang ramai digosipkan gimmick ternyata sungguh-sungguh menjalin hubungan. Hah, lalu dikemanakan Kemal? Kalau tahu begini, tak akan kulepas sahabatku itu untuk perempuan plin plan macam Laras.
"Ini Prahara," kata Ayah memperkenalkan kami. "Dan ini Srikandi, Nak Pra. Anak kami yang suka sekali menghilang. Srikandi ini pengemar bukumu, lho, Nak Pra." Aku mengecimus. Ayah membuka aibku di depan orang yang sekarang kepadanya aku hilang respek.
Dia menatapku. Tanpa ekspresi. Mengapa tidak tersenyum, aku tak tahu. Bukankah etikanya dia tersenyum untuk menanggapi gurauan ayah yang garing itu?
"Jadi beneran mau tunangan?" tanyaku tanpa basa-basi.
"Iyalah. Bukannya kamu kemarin denger sendiri, Di?" sahut Laras.
"Tapi, Ke...."
"Dia tak ada hubungannya dengan aku lagi," tukas Laras.
Aku menatapnya dingin. Dia memandang ke arah lain. "Jangan pandang aku seperti itu," desisnya.
"Aku cukup mengenalmu," jawabku ambigu.
"Sudah, jangan bertengkar," kata Mas Wibi menengahi. "Baru juga ketemu, sudah mulai bertengkar."
"Biasanya juga gini, kan, Mas. Biar ramai, ah, daripada sepi seperti kuburan," sahutku asal.
"Nggak baik ngomong soal kuburan. Ayo, makan dulu. Mami sudah memasakkan makanan kegemaran kalian."
"Masak apa, Mi?"
"Udang asam manis untuk Wibi, garang asem untuk ayah. Laras sup jamur saja, bagus untuk dietmu. Untuk Nak Prahara, ayam kalasan. Orang Yogya biasanya suka yang manis-manis, kan?"
Yang ditanya hanya mengangguk sambil tersenyum.
"Terima kasih, Mi."
Mi? Memang sudah sejauh itulah hubungan mereka? Lalu gosip yang dilempar Trendzone.com tadi hanya menjadi gosip belaka? Lalu Kemal menjadi sad boy yang ditinggal selingkuh kekasihnya. Begitu?
Hah. Dengan setengah hati kunikmati hidangan di depanku. Oh, ya, jangan tanya apa makanan yang dimasakkan mami untukku. Dia tak tahu makanan apa yang kusukai. Sampai kapan pun tak akan tahu. Aku yakin itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Prahara's Secret Wife
RomanceDidi bisa menerima kalau Laras, saudara kembarnya berpacaran dengan Kemal, sahabat sekaligus cinta pertamanya. Sudah biasa jika ia mesti mengalah pada Laras yang fisiknya lebih lemah dibandingkan dengannya. Namun, bisakah dia menerima takdir bahwa i...