Pernahkah kalian mendengar tentang tulang besar dan tulang kecil?
Istilah ini mungkin tidak dikenal dalam bidang kedokteran, ya. Tapi orang Jawa kadang bilang, ada orang dengan kerangka besar, ada pula yang punya kerangka kecil. Ragangan, sitilahnya. Orang yang ragangannya besar akan selalu terkesan besar meskipun sebenarnya kurus, sedangkan yang ragangannya kecil akan selalu tampak langsing meskipun sebenarnya lemaknya banyak.
Nah, meskipun aku dan Laras kembar, kami memiliki ragangan yang berbeda. Aku besar, dan tentu saja dia kecil. Meskipun tinggi kami hampir sama, dia selalu tampak lebih rapuh dibandingkan dengan aku. Tentu saja, ia lebih langsing dan lebih enak dipandang. Seperti yang sedang kusaksikan saat ini.
Saat ini dia sedang duduk bersama para pemain dan orang-orang yang berkepentingan dengan Rhine's Romance di bagian depan ruang konferensi. Raja Danadyaksa, sang male lead duduk di tengah-tengah. Di sisi kiri dan kanannya adalah Laras dan Aruna Delmora, sang female lead dan second female lead. Di sebelah kiri Laras duduk Prahara, sang penulis novel yang diangkat menjadi film sekaligus penulis skenario film tersebut. Sutradara duduk di sebelah kanan Aruna. Selain mereka, masih ada tiga orang yang duduk di sana, tetapi aku tak begitu tahu namanya.
Di belakang mereka, poster film Rhine's Romance terpampang lebar. Tentu saja ada gambar Laras, sang tokoh utama yang bersanding dengan Raja, pemain utama pria yang mulai terkenal setelah sinetron Rahasia Cinta yang dibintanginya melejit di kalangan mak mak. Lanskap sungai Rhein menjadi background poster itu. Keren.
Para bintang memakai kaos putih seragam bertuliskan Rhine's Romance dengan bawahan beragam. Kebanyakan celana jeans. Laras mengenakan rok model A dengan motif garis-garis berwarna dusty sebatas lutut, memperlihatkan kaki jenjangnya. Alas kaki bertali melingkar sampai betis menegaskan keindahan kakinya. Yah, memang itulah dia dengan segala keindahannya. Jika ia menumpukan salah satu lutut ke lutut lainnya, bisa dipastikan semua kaum adam pecinta kaki tak akan bisa menahan salivanya.
Aku duduk di bagian belakang, menempati kursi yang disediakan untuk para pemburu berita. Di dekatku sudah terpasang beberapa kamera video dan kamera foto bermoncong panjang, termasuk milikku yang sudah kupasang di tempat strategis. Selain kamera, aku juga menyiapkan si purple sebagai alat cadangan untuk mengambil gambar. Yeah, kadang hasil si purple malah lebih bagus, sih, jadi aku menggunakan keduanya. Tentu, dibantu dengan editing yang tak pernah simpel.
Konferensi pers ini tak main-main, sebagaimana halnya proyek film ini. Hampir semua media massa diundang. Beberapa jurnalis pernah kutemui, meskipun tak satu pun yang kukenal dengan baik. Maklum, aku masih anak bawang. Track record-ku untuk meliput kegiatan semacam ini masih sedikit. Iyalah, aku hanya meliput jika diberi mandat oleh Mas Gerry. Biasanya sih menggantikan para fotografer tetap yang berhalangan datang.
Yah, segitunya memang. Mas Gerry pernah menawari aku untuk menjadi pegawai tetap di majalahnya tetapi aku menolak. Bukan apa-apa, sih. Tapi aku masih punya rencana lain dan tak siap untuk terikat secara mutlak di sebuah kantor. Sebuah keputusan yang berat mengingat akhirnya aku hanya dipandang sebelah mata saja oleh orang-orang terdekatku yang mengenalku sebagai kembaran --yang perbedaannya begitu jauh, layaknya utara dan selatan-- dari seorang Larasati Putri, sang aktris multitalenta.
Drrt..
Sebuah pesan masuk dari Laras.
Jangan lupa ambil foto yang bagus.
Bawel, sungutku dalam hati. Yah, dia memang sebawel itu. Tak akan berhenti jika orang belum mengiyakan permintaannya. Jadi, pesan yang ini pun kuabaikan. Sebagai balasannya aku memandangnya dengan malas dan dia tertawa nyengir kepadaku.
Aku mengabaikannya, pura-pura fokus ke sutradara yang sedang bercerita tentang proses syuting di Paris. Padahal sebenarnya aku tak menyimaknya. Pikiranku melantur ke mana-mana. Secara garis besar aku sudah mendengar ceritanya dari Laras. Jadi, malas saja mendengarkan cerita yang berulang. Toh, ujung-ujungnya juga untuk menaikkan animo penonton. Jadi, bagian jelek-jeleknya pasti dihilangkan.
"Jadi memang ada sesuatu nih, antara Laras dengan Mas Prahara?" tiba-tiba sebuah pertanyaan kudengar dari sisi kanan depan. Ya Tuhan, ternyata sedemikian lama aku melamun sehingga tanpa sadar sudah masuk sesi tanya jawab.
Aku mendongak. Kulihat Laras sedang mengangkat mikrofonnya.
"Bagaimana kalau saya jawab no comment saja?" jawabnya samar sambal tersenyum manis.
Siapa pun tahu, apa jawaban di balik no comment itu. Apa sih, susahnya bilang tidak? Bukannya dia sudah punya pacar? Mau menaikkan rating dengan gimmick murahan ini? Kalau mau bikin gosip, kenapa bukan sama bintang utamanya saja, sih? Lebih keren, lebih muda, lebih menjanjikan. Kenapa mesti sama Prahara? Dan kenapa mesti jawab no comment. Tiba-tiba, aku teringat Kemal.
Kemal, sahabatku, cinta pertamaku.
Cinta pertamaku yang sekarang jadi kekasihnya.
Kekasihnya yang sekarang sedang mengambil S2-nya di Jerman dengan beasiswa LPDP yang diperjuangkannya dengan sekuat tenaga supaya dipandang layak oleh Kanjeng Ratu Arini Sugiarto.
Calon mantu tak potensial yang berjuang menjadi potensial supaya bisa mempersunting gadis cantik kebanggaan keluarga Sugiarto.
"Mas Prahara, bagaimana komentar Anda tentang gosip ini? Apakah ini hanya gosip untuk meningkatkan rating film ini?"
Aku mengangkat muka untuk memastikan jawaban dan ekspresi Prahara.
"Saya yakin film ini akan laris tanpa adanya gimmick," sahutnya dengan nada rendah. Suaranya berat dan seksi. Oh, wow, kali ini aku mendengar suaranya setelah menjadi pembaca tulisannya lulus sejak SMP. Iyap, aku akui bahwa aku adalah salah satu penggemar tulisan-tulisannya. Tapi bukan berarti aku akan merestuinya untuk menjalin hubungan dengan Laras. Langkahi dulu mayatku kalau sampai dia berani melakukannya.
"Berarti berita rencana pertunangan itu tidak benar, Mas?"
Kufokuskan pandanganku. Kupasang telingaku baik-baik. Eh, sudah terpasang, ding. Tepat di sisi kiri dan kanan kepalaku. Konsentrasi yang kupasang.
Kulihat dia tersenyum sambil menghadap Laras yang berada di sebelah kanannya. Laras menoleh kepadanya dengan tersenyum manis. Kulihat Prahara memindahkan mikrofonnya ke tangan kiri, lalu tangan kanannya memegang tangan Laras. Aku melihatnya tentu saja. Semua melihatnya karena tak ada meja di depan mereka.
"Kami berharap hubungan ini bisa dilanjutkan ke jenjang yang lebih serius."
Apa?!
"Kami berencana untuk segera bertunangan."
Kalau kamu dengan bunyi krek, itu pasti hatiku. Ada yang retak di sana, seiring dengan tepuk tangan yang bergema di ruangan ini. Kilatan lampu blitz sambung-menyambung mengabadikan momen yang menurut mereka manis, tetapi menurutku mengerikan itu. Ingatanku melayang kepada Kemal. Bagaimana hatinya? Yang selama ini telah berusaha berjuang untuk memantaskan diri supaya bisa bersama Laras?
Oh, tidak, aku bahkan lupa untuk mengambil gambar mereka. Sial, Mas Gerry pasti akan marah besar. Tiba-tiba kebencianku kepada sejoli tukang selingkuh itu melonjak sampai ke ubun-ubun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Prahara's Secret Wife
RomanceDidi bisa menerima kalau Laras, saudara kembarnya berpacaran dengan Kemal, sahabat sekaligus cinta pertamanya. Sudah biasa jika ia mesti mengalah pada Laras yang fisiknya lebih lemah dibandingkan dengannya. Namun, bisakah dia menerima takdir bahwa i...