Kalau akhirnya ada yang harus kusalahkan karena posisiku yang terjepit malam ini, tentulah orang yang menata meja persegi ini dengan sepuluh kursi di sekelilingnya. Namun, karena aku tak mengenalnya, maka kusalahkan saja Prahara yang membuatku duduk satu meja dengan ibunya dan tiga pasang paklik dan buliknya. Adapun Ami, anak itu sudah lepas bermain bersama Onty Milly dan beberapa sepupu yang sebaya dengannya.
Sebagai yang termuda di sini, juga orang luar yang baru bertemu pertama kali dengan mereka, tentu saja aku canggung. Ditambah, percakapan yang mereka lakukan sama sekali tidak kuketahui sehingga aku benar-benar merasa dikacangi eh dicueki. Untunglah hidangan yang disajikan di atas meja cukup nikmat sehingga aku fokus menghabiskan makananku tanpa merasa perlu masuk dalam percakapan mereka. Prahara bahkan beberapa kali mengambilkan lauk-pauk dan menambahkannya di atas piringku. Bebek goreng sambel korek, udang cabe ijo, orek tempe ditumpuknya di piringku. Herannya, semua yang ditambahkannya adalah kesukaanku sehingga aku tak memprotesnya meskipun perutku rasanya kenyang sekali. Yang penting, aku tetap menunduk menghabiskan makananku, kan?
"Jadi, Ndra, tidakkah kamu ceritakan kepada Om dan Bulik, siapa gadis yang ada di sampingmu? Sejak tadi kalian tidak bicara tapi diam-diam kamu melayaninya dengan begitu telaten."
Yang barusan bicara adalah Bulik Hasti. Kami sempat berkenalan tadi. Rumahnya di Sleman. Masih satu kabupaten dengan rumah ibu, tapi rumah ibu dekat dengan kota Yogya, sedangkan rumah Bulik Hasti lebih dekat ke arah Magelang.
Aku melirik Prahara. Rupanya dia tidak gugup dengan pertanyaan buliknya.
"Bulik tahu sendiri, kan, tamu harus dihormati. Daripada dia bengong karena tidak tahu topik percakapan di meja ini, lebih baik makan saja."
"Begitu, ya. Lalu apa argumenmu untuk pertanyaan siapa yang kauajak tunangan, dan siapa pula yang kaubawa pulang?" Kali ini Oma eh Bulik Ajeng yang bertanya.
"Bulik, pekerjaan tunanganku di Jakarta. Aku sama Ami di Yogya. Nggak mungkin kan kalau kami harus terus sama-sama? Lagian baru juga tunangan, bukannya kawin."
"Nikah, Mahendra," gusar Bulik Ajeng, "Tunanganmu tahu kalau kamu membawa gadis lain pulang?"
"Dia tahu." Sangat tahu malah, imbuhku dalam hati.
"Maafkan kami, Nak Srikandi," ibu Prahara yang berkata kali ini. "Bulik-buliknya Hendra memang selalu blak-blakan."
Aku tersenyum mengangguk. "Tak apa, Bu, wajar, kok, kalau Bulik penasaran."
"Yah, bagaimana tidak penasaran. Yang digembar-gemborkan di TV ternyata beda dengan yang ada di hadapan." Kali ini Om Dimas, suami Bulik Ajeng.
"Realita tidak sesuai dengan ekspektasi, ya, Om," kataku sambil tertawa. Tepatnya menertawakan kami yang mesti terjebak dalam hubungan yang entah ini.
"Tapi nggak kalah cantik, kan?" kata Bulik Ana yang sedari tadi diam.
"Cantik sih relatif. Yang penting Mahendra nggak asal saja pilih orang. Jangan sampai kalah dengan yang dulu." Tahu, kan, Itu Bulik Ajeng. Yang disebutnya "yang dulu" itu pasti mamanya Ami yang entah siapa namanya.
"Yang penting hati," kata Bulik Ana. "Meskipun cantik, kaya, bobot bebetnya terjamin, kalau hatinya nggak suka ya nggak bisa kita paksakan."
Nah itu. Aku suka Bulik Ana. Haha, setidaknya kami satu kubu dalam menghadapi Bulik Ajeng. Yang kusimpulkan dari percakapan ini, mama Ami berwajah cantik, dan berasal dari keluarga kaya raya yang leluhurnya tidak punya cela. Oleh karena itu, calonnya Prahara harus setara dengan dia. Ah, jangan-jangan mama Ami adalah seorang bangsawan yang punya gelar raden ajeng, raden ayu, raden rara, atau apalah namanya.
"Sebenarnya Didi terikat hubungan kerja dengan aku, Bulik. Kami akan membuat proyek bersama."
Eh, apa? Sejak kapan kami terikat oleh hubungan kerja. Tapi aku ikuti saja alur pemikirannya.
"Proyek apa?"
"Mas Prahara akan membuat sebuah buku cerita tentang Ami, Bulik. Saya bertugas mendokumentasikan kegiatannya dan mengubahnya dalam bentuk gambar." Catat, ya, sekarang panggil mas, takut dipelototi Bulik Ajeng.
"Oh, jadi Mbak Didi ini pinter nggambar to?"
"Ndak juga, Bulik, saya lebih suka memotret."
"Wah, jadi Mbak Didi ini fotografer?"
Aku tersenyum kikuk. Tak menyangka sambutan antusias terhadap profesiku.
"Masih amatir, Om," jawabku. "Belajarnya juga bukan di sekolah formal, kok."
"Tapi dia belajar sama maestronya, Om," sahut Prahara.
Duh, kenapa ini orang justru semakin membuat posisiku tak enak, sih?
"Ah, enggak juga. Saya hanya belajar dari kakek."
"Kakek?"
"J. A. Aldrich. Om Dimas pasti pernah mendengar namanya."
"Oh, ya Tuhan. Karya-karyanya pernah dimuat di majalah internasional. Kontribusinya terhadap dokumentasi budaya Indonesia nggak bisa diabaikan. Luar biasa. Dia kakekmu?"
Aku mengiyakan. Awalnya kakek adalah warga negara Prancis yang meliput tentang Indonesia. Karena beliau jatuh cinta dengan budaya Indonesia, kemudian jatuh cinta pada orang Indonesia a.k.a nenek, kakek pun pindah kewarganegaraan dan menetap di Indonesia.
Untungnya percakapan lanjutannya adalah membahas karya kakek, bukan tentang aku lagi. Yah, setidaknya aku tidak menjadi orang lain lagi dalam obrolan di meja makan ini. Dan ketika akhirnya obrolan berkembang menjadi semakin jauh, aku pun tak lagi menjadi orang luar karena Om Dimas dan Bulik Ani banyak melibatkan aku dalam percakapan mereka. Hanya Bulik Ajeng yang cenderung diam.
Namun, kalimat terakhirnya ketika kami pamitan cukup membuatku terkesima.
"Kurasa aku familier dengan wajah Mbak Didi. Bukankah dia sedikit mirip dengan Anindita?"
Dan kenapa aku terkesima? Karena semua orang memandangku dengan pias. Aku yakin ada sesuatu dengan nama itu. Nama mamanya Ami-kah?
"Ada yang bilang setiap orang punya tujuh kembaran di bumi ini. Barangkali beliau salah satu kembaran saya di samping mami, Bulik," senyumku. "Tak mungkin kami kakak adik, kan?" lanjutku.
Kalimatku tersebut disambut dengan helaan napas lega dan senyum terkembang dari tetua yang semeja dengan kami. Sayangnya wajah-wajah lega di depanku berbanding terbalik dengan wajah Prahara yang tampak tegang meskipun akhirnya bisa menyembunyikannya di balik wajah datarnya. Dan karena itulah, aku tak mengungkit tentang Anindita dalam perjalanan pulang kami berdua.
Aku tak suka berkonflik. Kalau dia memang ingin bercerita tentang mamanya Ami, tentu itu baik. Namun, dalam pernikahan abal-abal ini, keterbukaan tidak diperlukan, bukan? Kami berdiri di atas pondasi rapuh yang sewaktu-waktu bisa hancur. Jadi, aku tak mau berekspektasi tinggi terhadap apa yang sedang kujalani sekarang. Yang penting, sementara ini hidupku aman dari kedinginan dan rasa lapar. Dan tentu, rekeningku juga aman karena tak perlu mengeluarkan biaya apa pun untuk kehidupan sehari hari. Cukup itu saja. Yang penting, hatiku tak jatuh pada papanya Ami yang malam ini tampil begitu macho dengan kemeja lengan panjang yang digulung sampai bawah siku dan celana jeans yang sedikit pudar warnanya. Juga, dengan kacamata dan man bun-nya yang entah kenapa membuat auranya semakin memikat. Tapi, bisakah tak jatuh mengingat semua perhatian diam-diamnya di meja makan tadi?
Hal-hal itu terus berputar dalam benakku sepanjang perjalanan pulang kami yang memakan waktu sekitar setengah jam. Perjalanan yang kami habiskan dengan keheningan karena Ami menginap di rumah neneknya. Prahara pun tampaknya tak ingin membicarakan apa yang menjadi omongan Bulik Ajeng tadi. Hanya saja, sebelum kami turun, dia berkata,"Ide membuat buku tentang Ami itu bagus. Bagaimana kalau kita realisasikan?"
Apa?
Apa katanya tadi?
Oh, ya, setelah ini hidupku pasti akan lebih berwarna. Baiklah. Mari kita lihat sejauh mana hati bisa bertahan agar tak jatuh kepadanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Prahara's Secret Wife
RomanceDidi bisa menerima kalau Laras, saudara kembarnya berpacaran dengan Kemal, sahabat sekaligus cinta pertamanya. Sudah biasa jika ia mesti mengalah pada Laras yang fisiknya lebih lemah dibandingkan dengannya. Namun, bisakah dia menerima takdir bahwa i...