—Selamat Datang dan Selamat Membaca—
✨✨✨
"Jiyeon belum keluar kamar sama sekali?"
Xian, ia yang berjalan di samping Yizhou menggeleng. Raut panik bercampur khawatir terlihat jelas sekali di wajahnya. Sudah sejak kemarin Jiyeon menolak ditemui oleh siapa pun termasuk dirinya, mengurung diri, tak keluar kamar, bahkan menolak makan dan minum. Pintu kamar Jiyeon tak terkunci, tapi tiap kali Xian mencoba membukanya ia selalu merasa kesulitan seolah ada lemari besar yang menghalangi di balik pintu.
"Apakah ada benda tajam di sekitarnya?"
"Tidak ada, Tuan Zhou, tapi,"
"Tapi apa?"
"Semua obat Nyonya Zhou, semuanya tersimpan di laci nakas, Tuan Zhou. B-bagaimana jika—"
Tanpa perlu Xian melanjutkan ucapannya, Yizhou sudah mengerti apa yang ditakutkan oleh Xian. Yizhou menggedor pintu kamarnya berulang kali, berteriak-teriak memanggil nama istrinya berharap Jiyeon akan membalas panggilannya. Pintu memang tidak terkunci, tapi ia butuh usaha ekstra untuk membukanya karena ternyata sebuah rak buku berukuran sedang menahan pintu tersebut. Ketika pintu terbuka, alangkah terkejutnya ia dan Xian ketika menemukan Jiyeon dalam keadaan setengah sadar terbaring di atas tempat tidur dengan tangan menggenggam botol berisi obat tidur.
Ketika Chanyeol memutuskan pergi, masalah baru memang kembali datang. Jiyeon yang masih sakit dan terluka akibat kejadian tersebut kembali dibuat drop hingga berminggu-minggu lamanya. Semenjak Chanyeol pergi dan tak kembali hingga lima bulan lamanya, intensitas pertengkaran antara Jiyeon dan Yizhou pun semakin sering, Jiyeon menyalahkan Yizhou atas kepergian kedua putranya, dan Yizhou, ia yang bersikeras bahwa ia tak pernah mengusir mereka justru semakin menyibukkan diri dengan pekerjaannya.
Mengabaikan Jiyeon dan membiarkannya menelan semua kenyataan pahit itu seorang diri. Seandainya hari ini ia tak pulang, ia tak yakin nyawa Jiyeon masih bisa diselamatkan. Ia hampir kehilangan istrinya akibat ulahnya sendiri.
"Ji,"
Jiyeon belum sadar, ia masih memejamkan mata.
"Maafkan aku,"
"C-Chan,"
"Aku akan memintanya pulang. Kau tenang saja, ya?" egonya memang belum runtuh sepenuhnya, tapi demi Jiyeon, tapi demi istrinya yang kini didiagnosis mengalami depresi dan dehidrasi, Yizhou bersedia menurunkan sedikit egonya. "Setelah kondisimu membaik, aku akan membawamu ke Guangzhou. Kita akan tinggal di sana sebagaimana dahulu,"
"Y-Yizhou,"
"Kau sudah sadar? Ada apa, Ji?"
Jiyeon menggeleng. Kepalanya sangat pening, tenggorokannya yang terasa kering membuatnya tak bisa banyak bersuara. Ia masih ingin menangis, tetapi rasanya air matanya sudah terkuras habis hingga tak bersisa. Selama hampir lima bulan lamanya, Jiyeon seperti membentengi diri, tenggelam dalam sakit dan sedihnya hingga puncaknya adalah kemarin.
"Kenapa aku bisa berada di sini?" tanya Jiyeon pelan.
"Kau overdosis, Ji,"
"Overdosis...? Tapi kenapa aku tak mati?"
"Jiyeon,"
"Aku merindukan kedua putraku, aku merindukan mereka. A-aku juga merindukan Yishan, Yi, aku sangat merindukannya. Y-Yishan... Terakhir kali aku melihatnya ia sudah bisa mengoceh, ia sudah bisa membalas perkataanku dengan senyum maupun tawa. T-tidakkah... Tidakkah kau juga ingin melihatnya dan ingin tahu seperti apakah dirinya sekarang? Tidakkah kau ingin tahu bagaimana kabarnya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
MIRACLE : "Between Flowers, Hearts and Us"
RomanceAntara bunga, hati dan kita, siapakah sebenarnya yang paling mengerti satu sama lain? Antara bunga yang berguguran dan bersemi, antara hati yang tercerai-berai dan bersatu-padu, antara kita yang saling terluka dan melukai, manakah yang lebih dulu ak...