—Selamat Datang dan Selamat Membaca—
✨✨✨
Bukan, bukan percintaan seperti ini yang diinginkannya, bukan akhir seperti ini yang diinginkannya, apa yang terjadi padanya, semua terlalu mengada-ada. Ia hamil. Apakah ia harus bersyukur atau justru sebaliknya?
Wanita cantik itu terus menatap pantulan dirinya di cermin. Rambutnya berantakan, kantung mata yang terlihat begitu jelas membuktikan bahwa ia tidak mendapatkan tidur yang cukup beberapa hari ini. Ia mengunci dirinya di dalam kamar mandi sejak semalam, tidak keluar, bahkan ketika maid di rumahnya berusaha membujuknya. Saat pertama kali ia tahu bahwa ia tengah mengandung, ia juga melakukan hal yang sama, mengurung dirinya di kamar mandi, duduk di atas kloset dan membiarkan belasan testpack berserakan di lantai.
Lantas, ia mengelus perutnya yang sudah membesar sambil tersenyum miris—ia bisa merasakan ada kehidupan yang tumbuh dalam dirinya. Bayangkan saja, setelah kembali ke rumahnya di Shanghai ia berusaha bersikap biasa saja, ia berusaha tegar, seolah tak terjadi apa pun di malam terakhirnya di Inggris waktu itu. Tapi, waktu terus berjalan, bukan? Ketika kandungannya menginjak usia empat bulan, perutnya mulai terlihat membesar, dan hal bodoh yang dilakukannya adalah menggunakan korset.
Memang sesak, tapi ia tak punya pilihan lain untuk menutupi perutnya yang kian membesar. Ia sempat nyaris melakukan aborsi, ia sempat ingin membunuh darah dagingnya sendiri dengan berbagai cara karena merasa tidak siap dan tidak terima. Ditambah, dengan kenyataan bahwa tak satu pun keluarganya membantu, hal itu membuatnya semakin tertekan dari segala sisi.
Bunuh diri? Ia sudah pernah mencobanya. Tapi lagi-lagi Tuhan selalu punya cara untuk menyelamatkannya. Berulang kali ia mencoba membunuh dirinya juga janinnya hingga suatu kejadian menyadarkannya. Ia sudah melakukan sebuah dosa, dan tak mungkin baginya menutupi dosa dengan dosa lain dengan membunuh janin ini, calon anaknya sendiri. Apa pun ceritanya, bayi yang dikandungnya tidak bersalah, kan? Ia hanya hadir di saat yang tidak tepat, hanya itu.
"Maaf, ya? Maafkan Mama jika Mama membuatmu kesakitan di dalam sana," ia mengelus lembut perutnya, menahan tangis. "Mama benar-benar jahat. Mama terus menerus menggunakan korset demi menjaga penampilan agar tak ada satu pun orang yang tahu. Tapi, Mama lupa bahwa itu bisa membuatmu sesak. Maaf, Mama minta maaf, tapi Mama bingung apa yang harus Mama lakukan sekarang. Mama benci sekali dengan diri Mama, hidup Mama, kenapa begitu menyedihkan? Tak seharusnya Mama mencoba membunuhmu saat itu. Mama benar-benar tidak pantas menjadi ibumu,"
Saat pria itu berjanji akan bertanggung jawab, ia percaya, dan saat pria itu berjanji akan menikahinya setelah tahu ia tengah mengandung anaknya, ia tak langsung mengiyakan. Jujur, ia hanya merasa belum siap. Namun, ia percaya dengan apa yang pria itu katakan padanya, ayah dari bayi yang dikandungnya.
"It's okay, Mama akan tetap bertahan untukmu, tidak apa."
BRAAK
Suara bantingan pintu kamar terdengar begitu keras, membuat tubuhnya seketika menegang. Ia tahu siapa yang baru saja datang. Tidak apa-apa, semua akan baik-baik saja, kan? Wanita itu sejujurnya takut, takut sekali, tapi apa gunanya ia memperlihatkan ketakutan itu sekarang? Ia harus tetap bertahan, untuk dirinya, dan untuk anaknya. Setelah berulang kali menghela napas, ia memberanikan diri membuka pintu kamar mandi, bersiap, apa pun yang terjadi ia memang harus siap.
"Hwang Hwa-Young,"
"Astaga, suamiku, coba kau lihat keadaannya, ia tampak sangat kacau," ibu tirinya bersuara, merangkul lengan sang suami seolah tampak terkejut. "Coba kau lihat perutnya itu, aku tidak bohong saat aku mengatakan bahwa putrimu sedang mengandung, astaga, sudah sebesar itu. Bagaimana mungkin kau bisa menutupi kehamilanmu, Hwa-Young? Kau tak seharusnya membiarkan janin itu tetap hidup."
KAMU SEDANG MEMBACA
MIRACLE : "Between Flowers, Hearts and Us"
RomansAntara bunga, hati dan kita, siapakah sebenarnya yang paling mengerti satu sama lain? Antara bunga yang berguguran dan bersemi, antara hati yang tercerai-berai dan bersatu-padu, antara kita yang saling terluka dan melukai, manakah yang lebih dulu ak...