Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
•••
Mew merindukan anak kucingnya.
Hampir tiga minggu berkutat dengan persiapan keberangkatan juga hati, menimbang kembali apakah ia sanggup meninggalkan si manis yang mungkin sekarang tengah di rundung sedih.
Kebersamaan mereka telah terjalin setidaknya hampir empat tahun, tidak mudah untuk menyingkirkan semuanya.
Mama Gauri menatap sedih anaknya yang hanya terdiam dibalik meja belajar bersama buku-buku, mengubur diri.
"Mew, Mama bisa bantu bilang ke Papa kalau kamu mau mengambil pendidikan lanjut disini saja."
"Tidak apa Ma, Papa benar.. hari seperti ini akan datang. Dimana kami mau tidak mau harus mulai menentukan masa depan, lagipula hanya sementara kan?"
Mew memang selalu tampak menjadi pihak yang paling kokoh, tetapi dibalik itu semua ia bisa menjadi sangat lemah— seperti sekarang.
"Empat tahun.. setelah itu kami bisa kembali bersama. Iya kan, Ma?"
Mama Gauri tersenyum, memeluk tubuh putranya yang kini sudah semakin dewasa.
Rasanya baru tahun lalu ia melahirkan seorang bayi, dan kini bayinya akan pergi meninggalkan rumah ini.
Demi merajut masa depan.
"Tentu, jadilah lulusan terbaik dan kita semua juga Gulf akan berkumpul kembali."
"Bisakah aku menikahinya?"
Mama mengangguk lagi, menangkup wajah Mew penuh kasih. Anaknya sudah besar.
"Bisa. Kalian bisa menikah."
"Meskipun kami adalah laki-laki?"
"Tidak ada yang salah, kalian saling mencintai."
Dibawah naungan langit menuju gelap, ada satu rencana yang telah di susun sedemikian rupa.. tentang janji juga ucapan dalam hati.
. . .
Membentang sebuah hamparan rindu, Gulf menatap origami terakhirnya hari ini dengan tatapan sendu.
Pertemuan terakhir mereka tiga minggu yang lalu, Gulf akhirnya menyadari bahwa kini keduanya tengah berada diambang batas kedewasaan.