•••
Dua tahun terlewati.
Gulf mengusap fotonya bersama seseorang yang hingga kini tidak memberi kabar barang sedikitpun, Mew seolah hilang bersama dengan semua kontaknya yang tidak bisa di hubungi.
Telaga cokelatnya hampir saja mengeluarkan bulir bening lagi jika saja ia tidak ingat bahwa dirinya tidak boleh egois.
Ya, sejak keberangkatannya.. Gulf selalu menerka-nerka sedang apa Mew disana.
"Mew kamu tahu tidak? Aku sekarang sudah tidak pilih-pilih makanan, mereka juga sering bilang bahwa aku menjadi lebih pendiam. Apa iya?" Tubuhnya berputar di kursi belajarnya.
Pemandangan dari sini memperlihatkan hamparan langit penuh bintang, Gulf selalu menikmati saat-saat seperti ini.
Ketika rindu menyeruak dan kenangan seakan mengolok-olok dirinya, Gulf akan menangis sendirian.
Ttok
Ttok
"Gulf, kamu sudah tidur?"
"Belum Bun, kenapa?"
Bunda membuka lebar pintu kamar anaknya, lalu menatap sendu Gulf yang masih dalam posisi sebelumnya. Berputar-putar di kursi belajar.
"Bunda masak ayam kecap, yuk turun?"
Gulf tersenyum lalu menggeleng, "Maaf Bunda.. tadi Gulf sudah makan jadi masih kenyang."
"Tidak mau makan lagi?"
"Kalau Gulf makan terus nanti jadi gendut dong," kekehnya jenaka.
Bunda tahu bahwa itu hanyalah alibi, Gulf yang sekarang memang benar-benar merubah kepribadiannya hampir 50%.
Tidak ada rengekan.
Tidak ada keluhan-keluhan juga omelan menggemaskannya lagi.
"Bunda.. tapi nanti sisain ya? buat sarapan."
Bibir wanita cantik itu tertarik membentuk senyuman, "Akan Bunda sisihkan."
.
.
."Mew, ayo makan siang."
"Aku masih belum selesai Saint, duluan saja."
Mew mengetik kembali laporannya untuk minggu ini, kacamata masih bertengger apik menambah pesonanya. Lengan kemejanya bahkan sudah tergulung hingga siku.
Mengenai Saint, tidak ada yang menyangka bahwa mereka akan bertemu lagi. Mew merasa senang karena masih bisa menggunakan bahasa negaranya jika bersama dengannya.
"Mew, Sam sudah menungguku di depan. Tidak mau menitip?"
"Jangan kembali lagi ya."
"Sialan!"