Setelah melakukan pencarian yang cukup melelahkan bagi mereka, Fitri memutuskan untuk melaporkan hal ini kepada kakak pembina.
Gadis-gadis kamar Az-Zahra itu menghampiri kamar pembina.
Mereka mengucapkan salam, berharap kakak pembina ada di dalam kamarnya. Untungnya, Aisyah berada di dalam kamar itu.
Fitri memberitahu kepada Aisyah, bahwasanya uang Aini 20.000, telah hilang. Dan Aisyah meminta kepada Aini untuk memperjelas alurnya. Kemudian, dengan rinci Aini menjelaskan kepada Asiyah apa yang sebenarnya terjadi. Setelah diceritakan oleh Aini, Aisyah mengangguk paham. Ia berpikir ingin mengumpulkan para santriwati ke aula, untuk mengumumkan hal ini. Tapi sayangnya, Aini menolak hal tersebut.
"Tapi, Kak, tidak apa-apa, kok, uang Aini hilang. Aini ikhlas," jelas Aini.
"T-tapi, kamu yakin kamu ikhlas, Aini?" tanya Asiyah dengan tatapan kasihan terhadap Aini.
"Na'am, Kak. Aini ikhlas. Mungkin, uang Aini jatuh di jalan."
Fitri menatap Aini penuh dengan kebingungan. "Anti yakin ikhlas, Aini?"
Gadis itu mengalihkan pandangannya ke Fitri, kemudian tersenyum. "Na'am, Kak. Aini sungguh-sungguh sangat ikhlas," jawabnya.
"Gue, sih, yakin, uang lo itu diambil sama orang. Tadi, kan, lo bilang, kalau lo udah simpan uang lo di lemari lo," sanggah Rini.
Semua mata menatap Rini. "Tidak! Mungkin, Aini yang lupa menaruhnya di mana." Gadis polis itu berusaha mengelak. Padahal dia yakin, menang iya dia menyimpan uangnya di lemari. Tapi, ia tak ingin memperpanjangkan hal ini.
"Ya sudah, kalau anti sudah ikhlas uangnya hilang, kita hanya bisa berharap. Semoga saja, uang itu bisa ditemukan oleh santri, agar bisa dikembalikan lagi ke tangan anti," jelas Aisyah.
Mereka semua mengangguk, dan mengucapkan aamiin secara bersamaan. "Aini mau mengucapkan Syukron kepada kalian semua. Soalnya, kalian semua sudah mau membantu Aini. Barakallah!" Gadis itu menatap satu persatu orang yang ada di hadapannya itu, dengan senyuman manis yang terpancar di wajah tirusnya itu.
Setelah selesai berbincang, mereka semua berpamitan kepada Aisyah, dan kembali menuju ke kamar mereka.
***
Gadis-gadis itu menyenderkan badannya di lemari mereka masing-masing, sembari menghembuskan nafas lega. Karena lelah telah berjalan mengelilingi asrama.
Cahaya mengalihkan pandangannya kepada Aini. "T-tapi, Aini, anti yakin sudah ikhlas?"
Aini menatap Cahaya. "Ah, ya sudahlah, tidak usah dibahas lagi. Aini ikhlas dan sangat ikhlas," pungkasnya.
Setelah mengatakan hal itu. Tiba-tiba Aini teringat, bahwasanya hari ini adalah hari terakhir ia bersama dengan sahabatnya Cahaya yang akan berpindah sekolah.
"Cay, berarti, hari ini adalah hari terakhir kita bersama," lanjutnya. Wajah gadis itu yang tadinya tersenyum, tiba-tiba menjadi murung.
Fitri, Rini, dan Suci yang bingung dengan apa yang dikatakan oleh Aini, lantas terkaget. "Terakhir? Maksud anti?" tanya Fitri berusaha memastikan apa yang dimaksud dengan ucapan Aini tadi.
"Ana mau pindah sekolah, Kak." Jawab Cahaya. Gadis itu berusaha tersenyum. Padahal, sangat terlihat jelas di wajahnya bahwasanya dia sedang sedih.
Ungkapan Cahaya, seketika membuat orang-orang yang berada di dalam kamar kaget mendengarnya.
Fitri menghampiri tempat duduk Cahaya. "Kenapa, Cahaya? Alasannya, apa? Kenapa anti tidak cerita kepada kami?" tanya Fitri.
Cahaya menatap Fitri dengan senyuman yang dipaksakan. "Bapak ana sakit-sakitan, Kak, di kampung. Cahaya kasihan sama ibu ana, beliau pasti sangat kesusahan merawat bapak sendirian di sana. Ana, kan, anak tunggal. Jadi, ana mau membantu ibu merawat bapak saja di kampung. Dan sekolah di sana," jelas Cahaya dengan air mata yang mengalir.
Mendengarkan perkataan Cahaya tersebut, membuat Fitri sedih mendengarnya. "Cahaya!" lirihnya. Kemudian ia memeluk gadis yang berada di sampingnya itu.
Melihat Fitri dan Cahaya berpelukan dan bersedih. Aini, Rini, dan Suci juga ikut memeluk Cahaya.
"Cahaya, gue, Suci, sama Cici minta maaf, ya, karena kita banyak salah sama lo. Dulu geng kita sering banget cari masalah sama lo dan Aini. Dan sekarang kita bertiga sudah sadar, kalau yang kita lakuin dulu itu benar-benar nggak ada hati," ungkap Rini.
"Na'am. Ana juga minta maaf, ya, kalau ana punya salah sama kalian semua. Tolong maafin ana." Kemudian mereka melepas pelukannya.
Mereka sangat sedih harus kehilangan sosok sahabat yang selalu ada di dekatnya. Apalagi Aini. Karena, Cahaya bagi Aini adalah sosok yang selalu memberinya motivasi. Tapi, mereka semua harus ikhlas dengan perpisahan ini.
"Biar tidak larut dalam kesedihan. Bagaimana, jika kita bermain sambung ayat pada juz 1 saja. Kalian setuju?" tanya Aini. Ia berusaha mengalihkan pembicaraan. Agar mereka semua tidak berlarut dalam kesedihan.
Semuanya mengangguk setuju. Dan mereka memulai permainan itu.
Setelah sekitar 30 menitan mereka bermain, mereka memutuskan untuk menyelesaikan permainannya. Karena, rasa kantuk dan lelah telah menghampiri tubuh gadis-gadis itu.
"Oh iya. Hanu, Aini mau telepon Abi. Mau minta tolong sama Abi buat jemput Aini di pondok besok. Kalian mau, tidak, mengantarkan Aini untuk meminjam handphone nanti malam?" tanya Aini kepada teman sekamarnya.
Suci mengalihkan pandangannya ke Aini. "Gue juga pengen telepon mamah sama papah gue. Buat jemput gue besok," sambung Suci.
"Ya sudah, kalau begitu, nanti malam kita pergi ke kamar kakak pembina, ya. Setelah makan malam," jelas Fitri.
Dan mereka semua pun mengangguk. Setelah itu, gadis-gadis itu memutuskan untuk tidur siang, karena sudah merasa sangat lelah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aini Mengejar Impian✔️
SpiritualBlurb: Kisah seorang gadis remaja, pintar, baik, polos, lulusan terbaik pertama di MTs nya. Ketika ingin melanjutkan pendidikan menengah atasnya, ia sangat ingin melanjutkannya di pondok pesantren, dan memiliki impian menjadi hafidzoh Al-Qur'an. Den...