Chapter 3

424 69 36
                                    

***

Aini terbangun dari tidur nyenyaknya. Ia melirik jam yang ada samping kasurnya, jam sudah menunjukkan pukul 15.30, ia berdiri meninggalkan kasur empuknya, untuk berwudu.
Seperti biasa, ia melaksanakan sholat berjamaah dengan keluarnya di ruang khusus sholat.

Hari ini, Lensi mengajak Aini dan Lidya bertemu untuk terakhir kalinya di cafe biasa mereka kunjungi, sebelum Lidya pindah ke Bandung.

Aini bersiap-siap, ia menggunakan gamis berwarna biru dongker, dan tas kecil berwarna hitam, tempat biasa di mana ia menyimpan ponsel dan sakunya. Aini nampak terlihat sederhana, tapi sangat mempesona.

Abi, Umi, dan Humaira sedang duduk bersama di ruang tamu sambil menonton televisi. Aini berpamitan terlebih dahulu kepada kedua orang tuanya.

"Abi, Umi, Aini izin keluar, ya? Aini ingin bertemu Lensi dan Lidya untuk terkahir kalinya, sebelum Lidya pindah ke Bandung besok, dan sebelum Aini masuk Pondok," jelas Aini.

"Tafadhol, Nak. Jaga diri baik-baik, ya! Jangan pulang waktu Maghrib," jawab Abi.

"Iya, Bi. Assalamualaykum." Aini kemudian mencium tangan kedua orang tuanya.

"Waalaykumussalam," jawab Abi, Umi, Humaira dengan serentak.

Aini keluar dari rumah, dan memasuki mobil taksi yang baru saja sampai di depan rumahnya.

Dalam perjalanan, ada saja pertanyaan yang diajukan oleh supir taksi tersebut. Hal itu membuat Aini senang. Karena, menurut Aini, pengemudi yang suka mengajak penumpangnya berdialog, itu adalah hal yang menbuat perjalanan terasa lebih cepat sampai.

Aini telah sampai di Cafe kofiradja. Sebelum masuk kedalam cafe itu, Aini mengucapkan terimakasih terlebih dahulu kepada supir taksi itu.

Aini keluar dari mobil, kemudian mengeluarkan uang yang berada di dalam tasnya. "Terimakasih banyak, Pak," ucap Aini sembari menyodorkan uang kepada supir taksi.

Supir taksi itu mengambil uang yang disodorkan oleh Aini, sembari tersenyum. "Iya, Ning. Jangan lupa kasih bintang lima," ujarnya.

Kemudian, mobil taksi itupun meninggalkan Aini, dan Aini melangkahkan kakinya masuk ke dalam cafe.

Setelah melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruangan cafe, ia melirik meja-meja yang ada di sana, mencari di mana keberadaan Lensi, dan Lidya duduk. Akhirnya, Ainj melihat Lensi yang duduk sendiri di bagian pojok cafe, di meja nomor 18.

Gadis itu berjalan dengan tersenyum menghampiri meja yang di duduki sahabatnya. "Assalamualaykum," salam Aini kepada Lensi, sembari menduduki kursi yang ada di sebelah Lensi.

Lensi menatap ke arah suara berada, dan menatap Aini dengan wajah yang bahagia. "Waalaykumussalam."

Aini melontarkan tatapan bingung kepada Lensi. "Lidya belum sampai?" tanya gadis itu. Soalnya, hanya Lensi saja yang ia lihat di sini. Ia belum lihat sosok Lidya.

Lensi mengangguk. "Iya, dia masih di jalan. Kira-kira tiga menit lagi sampai," jelas Lensi kepada Aini.

Baru saja, dibicarakan, dan tak menunggu waktu lama, sosok Lidya langsung terlihat dari arah pintu. Ia datang menghampiri meja Aini dan Lensi dengan wajah yang ceria.

"Assalamualaykum," salam Lidya. Gadis itu menarik kursi, kemudian ia duduk.

"Waalaykumussalam," jawab Aini dan Lensi bersamaan.

Tiga sahabat itu pun mulai berbincang sejenak, dan langsung memesan beberapa menu untuk disantap, dan untuk menemani mereka berbincang.

"Oh iya Aini, maaf, ya, Aku tidak bisa melanjutkan pendidikan aku di Pondok. Papa sama Mama aku mengizinkan ku untuk sekolah di MA saja. Soalnya, kalau aku mondok, nggak ada yang bisa bantuin mama ngurus rumah. Aku kan anak tunggal," jelas Lensi dengan nada sedih, dan bibir yang mengerucut.

Aini Mengejar Impian✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang