Chapter 15

76 10 5
                                    

Alhamdulillah, akhirnya bisa up lagi. Doakan saya, ya, semoga bisa terus berkarya, Aamiin.

***

Hari  Ahad, 18 Agustus, 2025, jam 16:00. Tepat satu hari sebelum perlombaan tahfidz per kelas dilaksanakan. Para santri mempersiapkan segala hal yang dibutuhkan untuk perlombaan tahfidz per kelas besok di aula pondok pesantren.

Semua sibuk dengan tugas masing-masing yang dibagikan oleh para kakak-kakak pembina, ustadz dan ustadzah.

"Cahaya," panggil Ratih.

Cahaya yang sedang menyapu aula pun memberhentikan tugasnya. "Na'am, Kak," teriak Cahaya.

"Ke sini sebentar," ajak Ratih.

Cahaya pun berlari menuju ke arah Ratih berdiri. "Ada apa, Kak?" tanyanya.

"Tolong anti ambilkan spanduk di percetakan barokah di desa sebelah. Anti tahukan tempatnya di mana? Tempat biasa pondok kita memesan spanduk," jelasnya.

"Oh, na'am, Kak, ana tau," jawab Cahaya.

"Pinjam saja motor Ustadzah Astrid, ya. Nanti pasti dikasih pinjam. Soalnya sudah Kakak kasih tahu tadi."

"Na'am, Kak. Tapi, Kak, apa ana pergi sendiri?" tanya Cahaya.

"Ajak teman kamu satu orang."

"Baiklah, Kak, kalau begitu ana pamit, ya. Assalamu'alaykum," pamit Cahaya.

"Waalaykumussalam. Hati-hati di jalan, ya," pesan Ratih.

Cahaya membalas dengan senyuman. "Siap, Ustadzah muda." Kemudian Cahaya berjalan meninggalkan Ratih.

Ia menghampiri Aini yang sedang menyapu aula. "Hoe." Cahaya mengagetkan Aini.

Aini menghadap ke belakang. "Astagfirullah, Cahaya, kamu mengagetkan Aini saja," ujarnya sembari mengelus jilbabnya.

"Haha maaf, ya."

"Oh iya, tadi Cahaya dipanggil sama Kak Ratih untuk apa?" tanya Aini penasaran.

"Oh itu. Ana diminta untuk pergi ambil spanduk di desa sebelah," jawabnya.

"Oh. Terus, kenapa Cahaya belum pergi?"

"Ana mau ajak Aini. Aini mau ikut?" ajak Cahaya.

"Alhamdulillah, Aini senang banget bisa keluar di halaman pondok. Aini mau banget, ya nggak mungkin Aini tolak. Ini kesempatan emas banget, hehe," ucap Aini senang.

"Ya sudah, ayo kita berangkat. Simpan dulu sapunya," pesan Cahaya.

"Siap," jawab Aini.

Aini menyimpan sapunya. Kemudian Aini dan Cahaya berjalan menuju tempat Ustadzah Astrid duduk. Beliau sedang duduk di taman pondok pesantren bersama dengan ustadzah lainnya. Ketika sampai, mereka berdua duduk berjongkok di depan Ustadzah Astrid yang duduk di bangku.

"Assalamu'alaykum. Permisi, Ustadzah, ana mau pinjam motornya untuk mengambil spanduk  perlombaan tahfidz besok," jelas Cahaya.

"Oh iya. Ini kunci motornya. Motor beat warna biru, ya, di dekat masjid. Hati-hati di jalan, Anak-anak," pesan Ustadzah Astrid sembari menyodorkan kunci motornya.

Cahaya mengambil kunci motor dari Ustadzah Astrid. "Na'am, Ustadzah. Syukron," kata Cahaya.

"Kalau begitu, kita pamit Ustadzah. Assalamu'alaykum," Pamit Aini dan Cahaya kepada para Ustadzah yang sedang duduk di taman.

Semua Ustadzah yang duduk di taman membalas dengan senyuman.
Aini dan Cahaya pun pergi untuk menuju masjid dan mengambil motor.

Sesampainya mereka di masjid, terlihat ada banyak santriwan yang sedang bermain Hadroh. Yang dibimbing langsung oleh Abah.

Aini Mengejar Impian✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang