"Anti alumni mana?" tanya Cahaya penasaran.
"Saya alumni MTs Al-Ummah Jakarta."
Cahaya membuka lebar mulut dan matanya bersamaan. Terlihat kaget dengan jawaban Aini. "Maasyaa Allah, salah satu MTs terunggul di Jakarta itu, kan?!"
Aini mengangguk sembari tersenyum kikuk. "Alhamdulillah."
Merasa penasaran dengan sekolah Cahaya waktu MTs, Aini pun bertanya balik kelasnya. "Kalau kamu sendiri alumni mana?"
"Ana alumni Pondok ini. Dari MTs Ana sudah mondok di Darul Huffazh."
"Maasyaa Allah," puji Aini dan dibalas senyuman oleh Cahaya. Gadis itu merasa kagum dengan orang yang berada di sampingnya. Karena, menurutnya Cahaya sangat keren, sebab sudah mondok dan belajar mandiri dari dia lulus SD.
Lama sudah Cahaya dan Aini berbincang, saling bertanya, dan bercanda gurau. Hingga tak terasa sebentar lagi memasuki waktu sholat dzuhur.
Cahaya berdiri dari tempat duduknya. "Aini, ayo kita ambil wudhu! Sebentar lagi mau masuk waktu dzuhur. Di Pondok ini, kita harus sampai masjid 10 menit sebelum adzan berkumandang. Jika tidak, kita akan dihukum oleh keamanan."
Dua gadis itu pun berjalan menuju tempat wudhu. Terlihat banyak sekali santriwati yang sedang berantrian untuk mengambil air wudhu.
Setelah mengambil wudhu, dan memakai mukenah nya, Aini, Cahaya, berjalan ramai-ramai dengan santriwati lain.
Sesampainya di masjid, Aini terkagum-kagum melihat pemandangan yang ada di dalamnya. Terlihat semua santri sibuk dengan Al-Quran masing-masing. Untuk pertama kalinya Aini melihat suasana pondok seperti ini, rasanya luar biasa sekali.
Aini dan Cahaya memilih untuk duduk di shaf paling depan di bagian paling ujung sebelah kanan.
Dua gadis itu pun sama seperti santri lain, memanfaatkan waktu luang sebelum adzan dengan membaca Al-Quran juga.
Ketika sedang khusu' nya dengan Al-Quran, tiba-tiba terdengar suara tawa yang besar, yang membuat mereka serentak menghadap ke arah suara berasal.
"Hahahhaa iya! Lucu banget, ya ampun."
Cahaya tahu, pasti banyak santriwati yang merasa terganggu, sama seperti dia. Tapi, mereka tidak ada nyali untuk menegurnya, mungkin karena mereka merasa baru di pondok ini. Jadi, ia berinisiatif untuk mengur santriwati yang tertawa tersebut.
Cahaya menatap tajam tiga santriwati yang sedang duduk membulat di dekat pintu masuk. Lalu, Cahaya menghampirinya. "Kalian semua bisa tidak memanfaatkan waktu untuk menghafal Al-Qur'an sebelum adzan? Bukan untuk gosip seperti ini. Kalian bertiga ini sudah mondok di sini dari MTs, masih saja sifat kalian belum berubah. Seharusnya kalian malu sama santriwati yang lain, mereka sedang fokus membaca Al-Qur'an, kalian malah gosip yang nggak ada faedahnya. Kalian sebagai senior seharusnya memberikan contoh yang baik kepada santri baru. Jika nanti aku masih dengar kalian berisik dan menganggu konsentrasi santri lain, akan Ana laporkan kepada ustadzah," ucap Cahaya pelan kepada tiga santriwati itu, dengan menahan amarahnya.
Ternyata, tiga santriwati yang tertawa memang sudah mondok sejak MTs di sekolah ini, sama dengan Cahaya. Oleh sebab itu Cahaya berani menegur mereka dengan kata-kata yang keluar dari mulutnya barusan.
Aini ternyata sedari tadi memandang Cahaya, terlihat kagum dengan Cahaya yang tegas dan pemberani.
Tiga santriwati tadi menatap Cahaya dengan tatapan sinis. "Dasar sok bijak," Celetuk Rini, salah satu santri diantara tiga santri yang di nasehati Cahaya.
"Caper aja tuh dia sama santri baru. Jijik gue lihatnya," sambung Cici.
"Udahlah, mending kita lanjut ngegosip," pungkas Suci.
Cahaya menghela nafas berat melihat jawaban dari mereka. Ia pun memutuskan untuk kembali ke shaf nya yang berada di samping Aini.
Rini, Cici, dan Suci adalah santri yang terkenal dengan kenakalannya di podok. Mereka sebenarnya pintar dalam ilmu pengetahuan. Tapi, karena pengaruh pergaulan mereka di luar Pondok, menbuat mereka sedikit berbeda dengan santri lain.
Adzan pun berkumandang, santri-santri tadi mulai duduk rapi di setiap shaf. Semua santri mengerjakan sholat sunnah qobliyah.
Sholat Dzuhur berjamaah di imami oleh pendiri Pondok Pesantren Darul Huffazh. Para santri memanggil beliau dengan sebutan Abah.
Setelah melaksanakan sholat Dzuhur berjamaah, Aini, Cahaya, dan santri lain keluar dari masjid.
Agar tidak bertabrakan antara santriwan dan santriwati, terlebih dahulu santriwan yang akan berjalan menuju ke asrama. Aini dan Cahaya berdiri di dekat pintu masjid, sembari menunggu semua santriwan berjalan.
Melihat tidak ada santriwan lagi di masjid, Cahaya pun mengajak Aini untuk kembali ke asrama. "Ya sudah ayo kita jalan, santriwan nya sudah tidak ada," ajak Cahaya seraya menarik tangan Aini dan memegangnya dengan erat. Dan dibalas anggukan oleh Aini.
Biasanya, setelah selesai melaksanakan sholat dzuhur, semua santri akan mendapatkan jatah makan siang.
Kini, Aini, Cahaya, dan tiga santriwati lain menikmati makan siang mereka di kamar Khadijah. Mereka makan satu nampan berisi lima orang.
Setelah selesai makan dan minum, Aini dan Cahaya memutuskan untuk tetap di kamar Khadijah. "Bagaimana? Kenyang tidak? Kehidupan mondok memang seperti ini. Makan seadanya, tidur menggunakan tikar. Tapi, dibalik ini semua pasti ada hikmahnya," jelas Cahaya. Mungkin menurutnya, Aini akan kaget dengan kehidupan pondok yang seperti ini. Terlebih lagi, yang Cahaya lihat, Aini adalah orang kaya.
"Aini bersyukur bisa mondok, punya banyak teman, belajar mandiri, belajar ilmu agama. Aini bersyukur sekali." Gadis itu tersenyum. Walaupun ia masih belum bisa beradaptasi dengan kehidupan pondok. Tapi, ia yakin, seiring berjalannya waktu, ia pasti terbiasa dengan semua ini.
"Syukurlah kalau begitu. Semoga anti betah, ya."
"Aamiin. Terimakasih banyak Cahaya sudah mau menjadi teman Aini." Gadis itu merasa bersyukur bisa kenal Cahaya. Menurutnya, Cahaya adalah gadis yang sangat baik.
"Kita di Pondok semuanya keluarga, jadi harus saling menghargai," ujar Cahaya, dan dibalas senyuman oleh Aini.
Mengingat soal pondok, Aini jadi penasaran, apa saja program yang dilakukan di pondok Darul Huffazh dari pagi hingga malam.
Ia pun memutuskan untuk bertanya kepada Cahaya. "Oh iya, Cahaya. Program di pondok dari pagi sampai malam, apa saja? Bisa tolong jelaskan kepada Aini?"
Cahaya tentu sangat ingin menjelaskannya kepada Aini. Ia mengangguk setuju "Subuhnya kita menghafal Al-Qur'an, dzuhur nya istirahat, ashar menghafal Al-Qur'an, dan maghrib mengkaji kitab kuning," jelas Cahaya.
Mendengar penjelasan dari Cahaya, Aini pun mengangguk paham.
"Kalau ada yang ingin ditanyakan tentang Pondok, langsung bertanya saja sama ana, nanti ana jawab," tawar Cahaya. Ia akan sukarela menjawab pertanyaan terkait pondok Darul Huffazh.
Merasa bahwa rasa kantuk nya sudah menghampiri, Cahaya pun memutuskan untuk tidur siang, supaya ketika program sore dan malam ia tak merasa ngantuk lagi.
Gadis itu mengajak Aini untuk ikut tidur siang bersamanya. Namun, Aini menolak dengan sopan. Karena, ia sama sekali belum merasa ngantuk.
Gadis itu memurtuskan memanfaatkan waktunya sekarang untuk murojaah hafalan ia yang sebelumnya.
Setelah berduaan dengan Al-Quran satu jam lamanya, gadis itu pun memutuskan untuk tidur siang juga, karena, beberapa kali ia sudah menguap, menandakan bahwa ia harus istirahat dan tidur siang seperti santri lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aini Mengejar Impian✔️
EspiritualBlurb: Kisah seorang gadis remaja, pintar, baik, polos, lulusan terbaik pertama di MTs nya. Ketika ingin melanjutkan pendidikan menengah atasnya, ia sangat ingin melanjutkannya di pondok pesantren, dan memiliki impian menjadi hafidzoh Al-Qur'an. Den...