Hari yang ditunggu-tunggu oleh seluruh santri pun tiba. Ya, hari di mana mereka akan kembali ke rumahnya. Melampiaskan rasa rindu yang menggebu-gebu di hati mereka.
Sangat ramai, terlihat para santri berjalan dengan membawa tas besar dan koper yang lumayan besar.
Sebagian santri ada yang dijemput oleh orang tua mereka, dan sebagian lagi mandiri pulang sendiri dengan menggunakan bis dan ojek.
Aini dan gadis-gadis kamar Az-Zahra masih di dalam kamarnya. Ditambah dengan Cici di sana.
Mereka sedang bersedih. Karena, mereka akan berpisah dengan Cahaya. Dan tidak akan bertemu lagi walaupun mereka akan balik pondok. Karena, Cahaya akan pindah sekolah.
Sedari tadi, Cahaya memandangi Aini dengan tatapan aneh. Entah itu sedih, atau bingung. Mungkin, ada sesuatu yang ia ingin katakan. Tapi, ia bingung harus berbicara bagaimana.
Cahaya memberikan kode kepada Aini dengan kedipan mata. Dengan cepat, Aini langsung memahami itu.
Kemudian, tanpa mengatakan sepatah katapun kepada yang lain, mereka berdua langsung berjalan keluar kamar, dan berjalan menuju hamam.
"Sepertinya, ada yang ingin anti katakan kepada Aini, Cay? Ayo! Katakan saja," ujar Aini. Kini mereka berdua berada di dalam hamam.
Cahaya melirik sekitaran hamam. Ia mungkin ingin memastikan, bahwa tidak ada yang lewat di luar.
"A-aini," lirih Cahaya dengan tatapan menunduk.
"Iya, Cay? Kenapa? Ada apa? Katakan kepada Aini sekarang," tanya Aini. Melihat tatapan lesu dari sahabat pondoknya itu, Aini takut, jika Cahaya sedang ingin mengatakan hal penting.
"Ana mau jujur sama anti."
Aini menatap bingung wajah Cahaya. Apa sebenarnya yang ingin gadis itu ucapkan kepada dirinya?
"Sebenarnya, uang anti yang 20.000 itu, ana yang ambil," jujurnya.
Aini kaget mendengarkan itu. "Apa? Cahaya? Ini tidak mungkin," gumam Aini. Ia merasa ini sangat tidak masuk akal. Sosok orang yang ia anggap baik, selalu memberikan dia motivasi, dan sekaligus sahabat baginya, telah mengambil uang miliknya.
Aini berusaha tenang. Ia menarik nafas, lalu menghembuskan nya. Sekarang, ia tidak boleh emosi, atau apapun. Ia harus tetap tenang dengan kondisi sekarang ini. "J-jadi, anti, Cahaya, yang mengambil uang Aini? Kenapa anti melakukan itu?" tanya Aini penasaran. Bisa-bisanya gadis yang berada di depan ini, mencuri uang miliknya. Walaupun uangnya tidak seberapa. Tapi, perilaku mengambil hak orang yang izin yang sangat-sangat Aini benci.
"Ana benar-benar sedang membutuhkan uang kemarin itu. Untuk membayar hutang ana kepada Anggun," jelas Cahaya dengan nada pelan. Ia takut, Aini akan melaporkan hal ini kepada kakak pembina.
"Tapi, Cay! Anti, kan, tahu, jika mencuri itu adalah perilaku yang tidak terpuji. Mencuri itu hal yang dilarang oleh Allah. Seharusnya anti sadar, Cay. Jika anti memang sedang membutuhkan uang, seharusnya anti bilang saja kepada Aini. Aini akan memberikan uang itu. Dan anti tidak perlu melakukan perbuatan yang dilarang oleh Allah," jelas Aini.
Cahaya meneteskan air matanya. "Ana benar-benar minta maaf sama anti," mohon Cahaya.
Aini tidak bisa melakukan apa-apa. Ia juga tak tega melaporkan hal ini kepada kakak pembina. Ia mengatakan kepada Cahaya, agar tidak melakukan hal yang seperti ini lagi. "Hmm, ya sudahlah, Aini maafkan. Tapi, anti harus janji, anti tidak akan mengulangi hal seperti ini lagi," peringat Aini.
Cahaya mengangguk, dan mengiyakan apa yang dikatakan oleh gadis yang berada di depannya.
Aini menarik tangan Cahaya, kemudian memeluknya. "Sudah, Cahaya, jangan menangis. Aini tidak dirugikan dengan uang tersebut. Tapi, Aini sangat kesal dengan perilaku anti yang seperti ini," jelas Aini.
"Sudah, sudah, hapus air matanya." Aini kemudian membantu Cahaya menghapus air mata yang keluar dari mata gadis itu.
"Oh, iya, Cahaya. Hari ini adalah hari terakhir kita bertemu. Aini harap, semoga bapak Cahaya cepat sembuh, ya. Dan jangan lupa satu hal! Jangan sampai lupa sama Aini, ya," ujar Aini.
"Ana tidak akan lupa dengan anti, Aini," balas Cahaya.
"Sebaliknya, anti jangan lupa sama ana, ya?!" sambungnya.
Aini mengangguk. "Na'am."
"Aini, Aini." Teriakkan itu membuat mereka terdiam. Mereka keluar dari hamam, memastikan siapa yang memanggil nama Aini tadi.
"Aini!" seorang gadis melambaikan tangan kepada Aini dan Cahaya. Kemudian, ia berjalan menuju ke arah dua gadis itu.
"Anggun!" lirih Aini. Ternyata, gadis yang meneriakkan namanya adalah, Anggun.
"Kalian berdua sedang apa di sini?" tanya Anggun kepada Aini da Cahaya.
Dua gadis itu kemudian saling menatap selama beberapa detik. "Kita habis dari hamam. Memangnya kenapa anti memanggil ana?" tanya Aini penasaran.
"Ummi sama adik anti sedang menunggu anti di kamar Az-Zahra. Beliau ingin menjemput anti," jelas Anggun.
Aini kaget sekaligus bahagia mendengarnya. Ia menatap Cahaya, dan Anggun, kemudian menarik tangannya. "Ayo, kita pergi!" Terpancar senyum bahagian di wajah gadis itu. Cahaya dan Anggun hanya bisa mengikuti langkah kaki Aini. Karena Aini sedang menarik tangan mereka berdua dengan erat.
***
"Ummi, Humaira!" panggil Aini ketika sampai di dalam kamar. Ia langsung memeluk sang ibu dan adiknya.
"Anak ummi," ujar ummi Aini membalas pelukan sang anak.
Setelah berpelukan 1 menit lamanya, mereka kemudian mengeluarkan tas dan koper Aini yang berada di dalam lemarinya.
Sebelum Aini melangkah kakinya keluar dari kamar, ia berpamitan dulu kepada teman-teman yang berada di dalam kamarnya. Mengucapkan 'sampai bertemu Minggu depan'. Kemudian ia memeluk satu persatu temannya.
Tak lupa, teman-teman Aini mengucapkan hati-hati kepada Aini dan keluarganya. Mereka sangat sopan dan ramah kepada ummi dan Humaira.
Setelah mengucapkan selamat tinggal, Aini, ummi, dan Humaira berjalan keluar dengan membawa koper dan tas. Humaira memeluk Al-Qur'an, Aini menggendong tasnya, dan ummi membawa koper.
Sesampainya di depan pondok pesantren, ternyata sudah ada Abi Aini yang menunggu kepulangan sang anak.
"Abi!" teriak Aini sembari berlari pelan menuju sang ayah. Lalu, gadis itu memeluk ayahnya.
Abi membalas pelukan Aini sembari mengelus pelan kepala sang anak.
"Wah, anak abi semakin putih, ya!" seloroh Abi Aini.
Aini melepaskan pelukannya. "Abi bisa saja. Tapi, aamiin," jawab Aini.
"Ya, sudah kita masuk ke dalam mobil, ceritakan pengalaman kamu selama mondok di dalam mobil," ujar Abi Aini.
Aini mengangguk. Kemudian, keluarga kecil itu memasuki mobil, dan langsung menyalakan mobilnya.
Sepanjang perjalanan, Abi, ummi, dan Humaira mendengarkan Aini bercerita tentang susah senangnya hidup di pondok pesantren. Tak lupa disertai dengan canda tawa, hal yang sangat Aini rindukan selama ia hidup di pondok pesantren.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aini Mengejar Impian✔️
EspiritualBlurb: Kisah seorang gadis remaja, pintar, baik, polos, lulusan terbaik pertama di MTs nya. Ketika ingin melanjutkan pendidikan menengah atasnya, ia sangat ingin melanjutkannya di pondok pesantren, dan memiliki impian menjadi hafidzoh Al-Qur'an. Den...