Cahpter 25

61 7 0
                                    

***

Ini adalah hari ke-2 para santri melaksanakan ulangan semester.

Setelah selesai berpakaian rapih dengan seragam Hitam-Putih nya, mereka dengan cepat langsung menuju ke kelas masing-masing.

"Aini, kita duluan, ya!" pamit Fitri dan Amel, ketika melihat Aini yang sedang berdiri di depan kamar Az-Zahra, menunggu sang sahabat, Cahaya, selesai berpakaian.

Aini kaget ketika melihat dua gadis itu tiba-tiba menyapanya. "Iya, Kak! Semangat, ya!" Ia melontarkan senyuman manisnya.

Fitri dan Amel pun langsung berjalan meninggalkan Aini.

Gadis yang sedang berdiri di pintu kamar Az-Zahra ini, kepikiran dengan sahabatnya. Tumben sekali ia berpakaiannya lama. Biasanya, kan, dia yang paling cepat, dan dengan setianya ia menunggu Aini. Tapi, sekarang malah sebaliknya, Aini yang menunggu Cahaya.

Tak berselang lama, akhirnya Cahaya keluar dengan lemas, seperti orang sakit saja.

"Cay, kenapa?" tanya Aini ketika melihat sang sahabat begitu lemas.

Cahaya memaksakan senyumannya. "Tidak ada, Aini. Ayo, kita berangkat," ajaknya.

"Ta—"

Belum juga Aini melanjutkan perkataannya, Cahaya langsung menarik tangan Aini dengan kuat. Aini dalam hati bergumam, 'apa Aini punya salah? apa Cahaya marah dengan Aini?' Pikirnya.

***

Kring kring kring

Terik matahari pagi menjelang siang hari ini ditutup oleh beberapa awan, membuat suasana seperti mendung. Para santri keluar dari kelasnya, ada yang menuju asrama untuk berganti pakaian, adapula yang berlari menuju masjid untuk sekedar berehat-rehat dan membaca Al-Qur'an.

Aini dan beberapa santriwati kelas 10 lainnya langsung berjalan menuju taman yang berada di depan kelas. Mereka menyempatkan waktu untuk bercanda gurau sejenak, melepas rasa letih dan gugup yang terjadi di dalam kelas tadi.

"Huffttt lelah banget, ya!" ujar gadis yang memakai kacamata bulat, sembari meregangkan tubuhnya.

Santri yang memakai jilbab rabbani yang duduk di dekat gadis itu, langsung menyenggol pelan badannya. "Eh, tidak boleh seperti itu. Nanti kalau dilihat santriwan, bagaimana?" katanya sambil melihat lingkungan sekitar.

Gadis berkacamata itu tersenyum kikuk. "Hehehe Afwan!" jawabnya.

Gadis-gadis kelas 10 itu bercanda ria. Banyak hal yang mereka ceritakan. Mulai dari soal ulangan, metode menghafal, dan cerita tentang kamar mereka.

Mata Aini tiba-tiba menatap Cahaya, ketika ia melihat Cahaya yang sedari tadi hanya menyimak saja obrolan mereka. Senyum yang terpancar di wajah Cahaya pun, seperti senyum terpaksa. Aini bingung, kenapa teman dekatnya itu begitu pendiam sejak kemarin malam. Biasanya, jika mereka berkumpul seperti ini, pasti Cahaya ikut berbicara. Kadang, kalau sudah habis bahan obrolan mereka, Cahaya akan berceramah.

"Cay!" bisik Aini.

Cahaya langsung menatap Aini. "Hm? jawabnya hanya sekedar berdehem.

"Tidak jadi. Nanti Aini tanya di asrama saja," katanya. Kemudian ia langsung kembali menatap temannya yang sedang bercanda gurau.

***

Jam menunjukkan pukul 17:00. Program untuk ba'da ashar pun telah selesai. Masing-masing santri sibuk dengan sendirinya. Sebagian ada yang lanjut menghafal dan muroja'ah di masjid, taman, dan asrama. Sebagian lagi ada yang sengaja melirik santriwan di gorden pembatas sholat.

Aini, sekarang ia sedang asyik duduk sendiri sembari bersandar di tembok masjid yang ada diluar. "Cahaya!" panggil Aini dari jendela, dengan wajah yang menempel di kaca.

Cahaya tak mendengarnya, ia masih terlihat fokus dengan Amel. Mungkin saja, ia sedang setor hafalannya.

Aini masih menatap Cahaya, menunggu ia selesai setor hafalan.

Ketika samar-samar mendengar Cahaya mengucapkan shodaqollahul'adzim, Aini kembali memanggilnya.

"Cahaya!"

Lantas, Cahaya yang mendengar ada orang memanggil namanya, langsung melirik di mana suara itu berasal. Ya, ia langsung melihat Aini di luar masjid, yang sedari tadi wajahnya menempel di kaca jendela. Gadis itu lalu berjalan keluar dari pintu masjid, dan langsung menghampiri Aini.

"Ada apa?" tanyanya, lalu menjatuhkan badannya, dan langsung duduk di samping kiri Aini.

"Aini boleh nanya, tidak?"

Cahaya membuka lebar matanya. "Na'am, tafadhol!"

Aini menggeser badannya, dan langsung berbisik di kuping Cahaya. "Aini ada salah, ya, sama Cahaya?" Tanya gadis itu, kemudian ia perlahan memundurkan wajahnya dari kuping.

Cahaya berdesis pelan. "Kenapa anti berpikiran seperti itu?" jawab gadis itu.

Aini semakin semangat membahas obrolan ini. "Lantas, kenapa Cahaya cuek dengan Aini? Tidak mungkin Cahaya diam terus dari kemarin malam, kalau Cahaya tidak marah dengan Aini," pungkasnya.

Gadis itu menghela nafasnya. "Tidak, Aini!" ucapnya sembari memegang bahu Aini. "Cahaya tidak marah, kok, sama Aini. Hanya saja—"

"Hanya saja, apa? Cahaya benci sama Aini?" ujarnya memotong perkataan Cahaya.

"Astagfirullahal adzim. Aini, jangan dulu memotong perkataan ana. Dengarkan baik-baik dulu."

"Ya, sudah, ayo ceritakan kepada Aini sekarang!" pintanya.

Gadis itu mengalihkan pandangannya, dan langsung menatap lantai masjid. "Jadi, kemarin ana, kan, telponan dengan ibu ana. Dalam percakapan itu, ibu ana bilang, kalau bapak ana sekarang sedang dirawat di Puskesmas. Ana khawatir dengan keadaan beliau. Ana diam, bukan karena ana marah dengan anti, tapi karena kepikiran dengan orang tua ana. Ana sangat ingin melihat keadaan beliau sekarang. Satu lagi, ana harus pindah sekolah setelah ulangan semester ini," jelasnya.

Aini menelan ludahnya. Ia kaget mendengar perkataan sang sahabat. Ia menatap penuh kesedihan gadis yang ada di depan matanya ini. "Cay!" panggilnya sembari memeluk Cahaya.

Cahaya membalas pelukan Aini. Rasanya sangat sedih, padahal belum berpisah sekarang.

Aini melepaskan pelukan Cahaya. "Kak Fitri sudah tahu?"

Cahaya menggeleng. "Belum," jawabnya.

"Cay, Aini harap, semoga bapak Cahaya cepat sembuh, ya, aamiin," ucap Aini.

Cahaya tersenyum. "Aamiin," jawabnya.

"Ta-tapi, Aini tidak ingin Cahaya pindah sekolah," ujarnya dengan wajah yang sedih.

Cahaya tersenyum tipis. "Mau bagaimana lagi. Ini sudah takdir."

"Cahaya!" Aini kembali memeluk gadis yang berada di depan matanya itu. Dan gadis itu kembali membalas pelukannya, dengan senyum tipis yang terpampang di wajah imutnya.

Sahabat itu seperti keluarga sendiri. Mereka selalu ada di setiap kita merasa susah, dan senang. Memiliki sahabat di terdekat di pondok pesantren itu anugerah. Ketika uang jajan kita belum dikirim oleh orang tua, sahabat akan selalu ada untuk mentraktir kita. Eak😭

Aini Mengejar Impian✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang