41. Ephemeral

3.1K 507 71
                                    

"Bunuh dia!"

"Bunuh dia!"

"Anak pembawa sial itu harus dilenyapkan!"

"Jangan diberi keringanan!"

"Dia mengkhianati manusia!"

"Pembawa kutukan!"

"Mati saja sana!"

Telinganya berdengung hebat, pandangannya kabur, kepalanya pusing tak tertahankan. Yang bisa ia dengar hanya dengungan dan seruan dari orang-orang yang sekiranya ada di depannya.

Ia tak tahu apa yang terjadi, tak tahu apa yang membuat orang-orang itu terdengar marah, tak tahu kenapa tubuhnya rasanya sakit semua.

"Tuan, dia sudah bangun."

Terdengar suara pria yang sangat dekat dengannya.

"Ah, haruskah kita memulai eksekusinya?"

"TENTU SAJA! HUKUM DIA!"

"CEPAT BUNUH DIA SEBELUM SEMUANYA SEMAKIN PARAH!"

"GADIS MURAHAN ITU TAK BISA DIBIARKAN HIDUP!"

Teriakan makin menjadi, dan perlahan pandangannya mulai jelas.

Puluhan- atau lebih orang tengah berdiri di depannya. Memegangi obor dengan ekspresi marah dan murka.

Ia mengedarkan pandangannya, melihat lebih luas. Banyak mayat bergelimpangan dengan kondisi mengenaskan. Sungguh hal itu membuat ia sangat terkejut.

"A-ada apa ini...?" Suaranya bergetar.

Seorang pria tua dengan penampilan religius menoleh padanya.

"Jangan bersandiwara! Tak ada gunanya," ucapnya tegas.

Sang gadis menukikkan alisnya heran.

"Apa maksud anda?! Sandiwara apanya?!" Ia sedikit berteriak.

"Gadis jalang!"

"Sudah seperti ini dia masih saja berpura-pura!"

Dan banyak lagi kemurkaan warga yang ia dengar.

"Apa-apaan ini..." gumamnya tak percaya.

"Kau pikir bisa membodohi kami di saat semuanya sudah jelas begini?! Puluhan kutukan mengamuk di sini dan banyak memakan korban. Berani-beraninya kau menyerang desa tempat tinggalmu-"

"Apa?! Kutukan mengamuk?" Ia membulatkan matanya tak percaya. "LALU BAGAIMANA?! ORANGTUA SAYA-"

"MEREKA MENINGGAL KARENA ULAHMU! SUDAH KUBILANG JANGAN BERSANDIWARA!" Sang pemuda yang berdiri di depannya ikut berteriak.

[Fullname], gadis yang kini kedua tangan dan kakinya dirantai, membelalakkan matanya, sampai rasanya mata hijau itu hendak keluar dari rongganya.

"Ibu... Ayah..." gumamnya lirih.

"Apalagi ini?! Berhenti berpura-pura seolah kau-"

"BERPURA-PURA APA MAKSUD ANDA! SAYA- ORANG TUA SAYA MENINGGAL DALAM INSIDEN INI! DAN KENAPA SAYA SEKARANG DI SINI!" [Name] berteriak murka dengan air mata yang mulai mengalir lembut.

"Lihatlah seberapa busuk dia."

"Sudah membunuh orang tuanya, sekarang memainkan sandiwara kurang ajar seperti itu."

"Kenapa..." lirih [Name], menatap pada sang tetua desa.

"Sebaiknya mengaku saja, anak muda. KAMI, PARA PENYIHIR, JELAS MELIHATMU BERSAMA RAJA KUTUKAN!"

𝐑𝐞𝐠𝐫𝐞𝐭 - 𝐉𝐮𝐣𝐮𝐭𝐬𝐮 𝐊𝐚𝐢𝐬𝐞𝐧 (𝐏𝐚𝐫𝐭 𝟏) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang