37. Tak peduli

2.7K 468 10
                                    

"Agh!"

[Name] bangun dari pingsannya, ia langsung memegangi kepalanya yang terasa sakit. Matanya perlahan terbuka, dan segera ia bangkit duduk.

Pemandangan pohon-pohon luas langsung menyambutnya. Ia tahu jelas ini adalah domain Hebi.

"Mimpi apa itu?" gumamnya, suaranya bergetar.

"Itu jelas adalah ayah, ibu dan.... aku?"

Ia kembali memegangi kepalanya yang pening.

Kenapa perasaan sedih tiba-tiba menghampirinya? Kenapa rasanya ia ingin menangis?

[Name] kemudian memandangi kedua telapak tangan. Timbul bayangan darah yang berlumuran pada tangan lembut itu.

"Bagaimana bisa... Bagaimana bisa aku membunuh banyak orang lalu setelahnya aku melupakan hal itu? Kupikir... Saat umurku tujuh tahun itulah pertama kalinya aku melihat mayat," lirihnya dalam sanubari.

"Tidak, tidak, tidak! Aku harusnya tidak pernah dilahirkan. Aku tak pantas dilindungi oleh siapapun! Aku..."

Suara itu bergetar hebat, memilukan. Air mata mulai menetes ke tahan. Tangannya menarik rambutnya kuat. Kepalanya sungguh sangat sakit.

"Kenapa aku?" lirihnya hampir tak terdengar.

"Kau sudah bangun ternyata."

[Name] segera menoleh ke belakang, lalu berdiri tegak. Matanya menatap nanar pada manik yang senada dengan miliknya.

"Hebi..." panggilnya pelan.

Tangannya terkepal kuat. Tak peduli dengan rasa sakit pada telapak tangan yang disebabkan kuku panjangnya.

Hebi menyahut dengan juluran lidah.

"Kenapa kau membunuh orang tanpa izinku?" [Name] mendongak, menatap tenang ular di depannya.

"Kapan?" Hebi bertanya dengan santainya.

"Jangan pura-pura lupa." Suara [Name] lembut. "Saat aku kecil, seberapa banyak orang yang kau bunuh tanpa seizinku? Tak terhitung, ya?"

Hebi diam. [Name] makin kuat mengepalkan tangan.

"Jika seperti itu, aku yang menanggung penyesalankunya, bukan?"

Sang gadis tersenyum.

"Pernahkah kau memikirkan seberapa frustrasinya orang tuaku? Pernahkah kau memikirkan seberapa aku menderita karenamu?"

Bibir ranum itu tersenyum, namun tidak dengan matanya yang meneteskan butiran bening.

"Aku dikurung dalam sangkar emas yang merampas kebebasan masa kecilku. Aku dibuang tanpa tahu keselahanku, padahal selama ini aku hanya diam menurut. Aku hidup sendirian dengan beban bertahan hidup yang besar di pundak kecilku saat aku di jalanan menyeramkan."

Tidak bisa ditahan, ia terisak.

"Kau tahu seberapa menakutkannya dunia di mataku? Kau tahu seberapa kecewanya aku ketika orang tuaku yang selalu ingin melindungi, berkata bahwa dunia luar berbahaya, tapi malah membuangku begitu saja?"

Ia menunduk, menggigit bibir sekuat mungkin untuk menahan isakan. Ia frustasi karena tak tahu harus meluapkan emosinya ke mana. Jika ia bisa, ia mungkin akan membunuh Hebi saat itu juga. Tak peduli dengan hidupnya jikapun ia akan mati terbunuh tanpa perlindungan sang Kutukan.

"Tentu saja kau tak mengerti," ucapnya lagi, pelan. "KAU HANYALAH KUTUKAN TAK BERHATI YANG MEMETINGKAN DIRIMU SENDIRI!" teriak [Name] nyaring, menggema ke seluruh penjuru domain. Semua ular-ular kecil berselancar menjauh dari sana.

𝐑𝐞𝐠𝐫𝐞𝐭 - 𝐉𝐮𝐣𝐮𝐭𝐬𝐮 𝐊𝐚𝐢𝐬𝐞𝐧 (𝐏𝐚𝐫𝐭 𝟏) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang