Prolog

11.7K 583 5
                                    


« بسم الله الر حمن الر حيم »

° ° °

"Dokter Ayra,"

Aku menoleh, dan mendapati seorang lelaki berjas sama persis seperti yang ku pakai. Dia berlari, mendekat.

"Wa'alaikumusalam, dokter."

"Ah, ya, saya lupa. Assalamualaikum, dokter Ayra."

"Ada apa?" tanyaku, tak ingin bertela-tele.

"Itu... selamat ya, dokter berhasil lagi menyelamatkan nyawa pasien. Saya turut bahagia."

"Atas izin Allah, Alhamdulillah. Terimakasih, dok. Kalau begitu... saya permisi, karena masih ada urusan lain, assalamualaikum." ucapku, yang sebenarnya risih sekali jika hanya berduaan dengan seorang lelaki yang bukan mahram.

"M, dokter!"

Aku berbalik dari jarak 10 kaki darinya. Dalam sepersekian detik, aku dibuat terpaku karena ucapannya.

"Saya mencintai kamu,"

"Maaf jika saya lancang. Tapi dua tahun sepertinya sudah cukup untuk saya menyembunyikan perasaan ini. Dan kali ini, saya sudah berfikir matang untuk menyatakannya."

Dia mulai melangkah mendekat, dan semakin dekat yang membuat debaran jantung ku semakin gila.

"Dokter Ayra, dengan asma Allah saya siap menjadi tulang punggung mu, saya siap menanggung beban mu, dan akan selalu siap jika kamu membutuhkan saya."

"Saya mencintai mu karena Allah." ujarnya lagi, diantara keterdiaman ku.

"Dokter Ayra, bersediakah engkau ku khitbah?"

"-maaf dokter, sepertinya hatimu jatuh pada orang yang salah. Dokter Ayra sudah sah menjadi permaisuri saya. Apa anda tidak tahu itu?"

Aku terkesiap kala sebuah lingkaran tangan merangkul ku tanpa diduga. Aku sedikit mendongak untuk melihat wajah pemilik raga yang membuatku mabuk setiap kali menghidup aromanya.

/Deg!

Paru-paru, ginjal, hati, jantung bak berhenti bekerja. Aku menunduk malu, kala melihat sebuah ukiran manis dari bibirnya.

"Dia istri saya, dok. Maaf jika ini menyakitkan bagi hati anda. Tapi memang kebenarannya begitu, dia istri sah saya. Kami permisi, ya. Wassalamu'alaikum."

Setelahnya, aku dituntun pergi oleh lelaki berseragam loreng dari sana. Bahkan aku lupa memikirkan bagaimana perasaan dokter malang itu.

"Nakal,"

Mendengar gerutuan itu, aku mendongak sesaat.

"Siapa?" tanyaku, menahan diri dari ledakan tawa ketika melihat wajah jealous itu.

"Kamu, lah. Aku tuh udah nunggu lama di parkiran, nahan gerah dari tadi. Eh, yang ditunggu lagi dilamar orang! Tahu apa perasaan, ku?"

Aku menggeleng kepala.

"Gerah banget, sayang~"

Astaghfirullah hal'adzim. Aku beristighfar ratusan kali demi meredakan dentuman jantung yang kian menggila ini. Sayang? Ya Allah, tolong, aku meleleh, bang!

"Dih, malah diem-"

/cup! "Biar tambah gerah. Hahaha..."

Setelah berhasil membuatnya diam bak patung ancol, aku berlari masuk kedalam mobil. Sementara sang suami yang baru saja mendapatkan hadiah sekejap mata itu, dia memandang kemari sembari menyunggingkan senyum merekahnya. "Udah berani, ya. Awas nanti di rumah."

-

Sayidina Ali bin Abi Thalib pernah berkata, apapun yang menjadi takdirmu, akan mencari jalan untuk menemukannya.

Inilah takdirku, ini hidupku dan ini adalah kisah ku. Kisah tentang perjalanan hijrahku di empat tahun silam, yang membawaku hingga sampai di hari dimana aku mendapatkan kembali arti kebahagiaan. Kisah tentang pahit, manisnya perjuangan melawan hasrat dan memegang teguh niat adalah satu hal yang selalu ku genggam.

****

Makasih banyak buat yang mau mampir 🙌
Semoga hari kalian diberi keberkahan, aamiin🤲

See u next part 🌈

Hijrahku di bangku SMA (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang