Part 3

3.1K 295 1
                                    

• tidak untuk ditiru!

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ


Menjadi sorotan publik sekolah sudah seperti makanan sehari-hari bagiku. Namun, di pagi ini terasa aneh dengan tatapan itu. Ada apa? Bahkan ketika langkahku membawa ku semakin masuk kedalam sekolah, mereka dengan beraninya mencibir ku.

Gak nyangka si, anak trouble maker school bisa tampil cupu juga ya.

Cupu???

Aku melangkah mendekatinya, orang yang dengan lancang mengataiku 'cupu'. Di detik berikutnya aku mendorong bahu dia dengan penuh emosi. "Maksud lo apa bilang gue cupu, ANJ*!"

"Eh, santay dong!" balasnya mendorongku yang tak seberapa itu.

"Lagian, gue ngomong itu fakta! Di sekolah aja si so jagoan, so nindas orang, so bikin onar sampe seantero sekolah geger! Tapi di luar sekolah, CUPUUU..."

Aku menggeram marah, mendorongnya lagi hingga terjungkal. Mampus. "LO JANGAN FITNAH, SETAN! GUE CUPU DARI MANANYAA? MATA LO KEMANA? PAKE, YANG BENER!" tunjuk gue, tepat di depan wajahnya. Selanjutnya, sebuah tangan menghempaskan tanganku.

Kemudian orang lain menodongkan ponsel yang menampakkan fotoku pagi tadi, aku semakin menggeram marah. "Tuh! Jelas banget kalau lo itu cupu! Itu elo, kan-" aku merampas paksa ponsel tadi dan- /PYAR!! Hancur sudah ponsel itu berkeping-keping.

"SIAPA YANG NGAMBIL FOTO ITU, ANJ*NG?!!" teriakku membahana.

/WOY LO GILA?? ITU PONSEL GUEEE?? AAAKHHH!!

"Lo yang ambil foto itu?" tanyaku, begitu menusuk pada objek bicara. Ku lihat dia meneguk ludahnya susah payah.

Aku melangkah maju, mendekati pemilik ponsel tadi. "LO YANG AMBIL FOTO ITU??" teriakku lagi, bak orang kesetanan.

Tak lama seseorang menahan lengan ku dan membawaku mundur. Aku meronta.

"Ra, tenang dulu, okey..."

"Bukan. Bukan gue yang ambil foto itu, Ra! Gu-gue aja nemu tuh foto dari grup sekolah kita!"

"Terus kalo bukan lo, siapa?!!"

"Ayra, udah!!"

"Lepas, Yud!! Gue harus cari orang itu!! Sialan banget dia, anj*ng, ba*i, tuh orang!! Setan!!"

/"AYRA!!" Terdengar pak Ali berteriak, guru wali kelasku itu berjalan kemari. Tapi aku tak peduli.

"SIAPA YANG AMBIL FOTO ITU? NGAKU SIALAN!!"

/"AYRAA!!" Lagi.

"Ra, tenang dulu! Ayo cabut!"

"AYRA! Ikut saya, ke ruang BK!" Lagi, seraya mengambil alih tanganku dari Yuda dan Tessa.

-

Tanpa rasa bersalah sedikitpun, aku duduk dan menarik nafas berkali-kali. Kesal sekali dengan manusia pengecut itu, berani bertindak tapi takut menampakkan jati dirinya.

"Ayra. Are you okey?"

"Hmm,"

Huufft, "kalau saya boleh berkomentar, kamu itu tadi sudah sangat mirip dengan orang gila di lampu merah dekat perumahan saya." Dalam sekejap mata, aku memandang pak Ali dengan tatapan tajam, bak ingin menghunus nya dengan pedang api milik boboy boy.

"Sudahlah! Sebenarnya apa masalahmu kali ini? Kenapa kamu tadi seperti orang kerasukan, Ayra?"

/Brakk! "Stop bikin saya jadi makin emosi, pak!"

Persetan dengan gebrakan meja yang membuat guru di depanku tersentak. Aku kembali duduk sebelum disuruh, hal itulah yang membuat guru itu mengelus dadanya.

"Yaa Allah, astaghfirullah hal'adzim..."

/Tok tok tok! "Ya, masuk..."

"Permisi,"

Suara itu... ketika aku mendongak dan melihat sang empu suara, aku dibuat mati kutu tak bisa berkutik sama sekali. Itu ayah. Ayah datang.

"Sebelumnya, selamat datang pak Haris. Maaf, jika panggilan mendadak ini mengganggu waktu bapak." Sapaan pak Ali pada ayah, mampu membuat lamunanku buyar.

"Ah, tidak apa-apa, pak guru. Tapi... ada apa ya ini sebenarnya? Kenapa saya dipanggil kemari?"

Aku menunduk, berharap siapapun bisa menolongku menyumpal mulut pak Ali dengan kaos kaki atau menyeret ayah dari hadapan pak Ali. Sumpah demi apapun, aku paling takut jika dua orang itu dipertemukan.

"Jadi begini, pak... sebenarnya sudah berkali-kali kami dari pihak sekolah mengirimkan surat undangan untuk pak Haris melalui nak Ayra, tapi sampai detik ini belum ada tanda-tanda kehadiran bapak. Oleh sebab itu, kami terpaksa menghubungi pak Haris secara langsung."

Mampus, guee... gak tau, gak denger, pake handset, gak lihat, gelap. -batinku.

"Nah, jadi maksud dan tujuan undangan tersebut... saya selaku wali kelas hanya ingin melaporkan atas kelakuan Ayra selama di sekolah, pak."

"Dari sekian banyak guru yang mengeluh pada saya, dapat saya simpulkan bahwa Ayra ini... sering sekali bolos mata pelajaran, tidak mengerjakan tugas, membuat ricuh di kawasan sekolah seperti pagi tadi, dan masih banyak lagi."

"Bahkan tempo hari..."

Please, jangan bilang itu sama ayah. Please.

"Ayra dan teman-temannya kepergok minum-minuman keras di atap sekolah."

Astaga! Kalimat itu terngiang di dalam kepalaku.

"M-minum? Minum-minuman keras, pak???"

Aku semakin menunduk dalam-dalam. Akh, rasanya ingin menghilang saja dari muka bumi ini, ya tuhan...

"Ayra..."

Hening.

"Ayra, lihat ayah!"

"AYRA!!" Aku tersentak ketika sebuah tangan mencengkeram daguku dan membawanya mendongak, menatap paksa ayah. Tapi tidak, aku memejamkan mataku, sekuat dan sebisaku sembari menahan sakit.

/Plak!! /"Pak Haris!"

Panas. Sakit. Malu. Kenapa harus disini. Kenapa harus di depan pak Ali Kenapa tangan ayah sangat entengnya menamparku di depan pak Ali.

"Ayra, dimana otak kamu, HAH?!" tunjuknya tepat di pelipis ku.

"Pak Haris, saya mohon tahan emosi bapak. Mari silahkan duduk kembali."

Sudah ku katakan bukan, aku sangat-sangat takut jika kedua orang ini dipertemukan. Dan untuk sekarang, aku cuma ingin pergi dari sini. Hilang dan tidak ingin pernah muncul lagi di hadapan ayah. Menyesal? Mungkin, iya. Ketika dulu aku melakukannya dengan senang hati tanpa ketakutan barang sedikitpun, kini justru aku harus menanggung ketakutan itu.

Tapi tunggu! Memang siapa yang mau berbelas kasih dan menolongku? Allah? Apa Dia masih mau memelasi ku? Ayra... sadar! Bahkan barang beribadah pun aku jarang menunaikannya. Mengingat-Nya saja, kadang-kadang.

Masih punya muka lo memelas sama Allah?

****


Ayra gak tahu aja kalau Allah SWT. maha pengasih lagi penyayang, maha pengampun dan baiknya minta ampun🤧

See u next part ✨

Hijrahku di bangku SMA (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang