Part 19

2.2K 242 0
                                    


« بسم الله الر حمن الر حيم »

Rey POV

Selepas shalat isya berjamaah di masjid al-qaromah, aku cukup terkejut melihat mobil putih milik Abi terparkir di halaman rumah. Pasalnya, tidak biasanya Abi pulang mendadak, bahkan tanpa kabar begini.

"Assalamu'alaikum."

Tepat ketika aku membuka hingga menutup pintu, bau harum masakkan serta suara dari telivisi seolah langsung menyambut kedatanganku.

"Wa'alaikumusalam warahmatullaahi wabarakatuh."

Dia Abi. Orang yang tengah duduk di depan televisi. Itu artinya, orang yang memasak tak lain adalah umi. Aku tersenyum ketika pandangan kami bertubrukan. Setelah mencium tangan Abi, aku duduk di sebelahnya.

"Kenapa?"

Entah karena salah bertanya, atau memang Abi yang tak mengerti dari pertanyaan ku.

"Kenapa apanya? Nanya yang jelas, dong Rey. Ah, anak siapa si ini." Aku menghela nafas atas tingkah menjengkelkan Abi.

"Kenapa... ya kenapa abi sama umi pulang mendadak gini? Mana gak kasih kabar, lagi."

"Ya... itu sih karena umi. Tahu sendiri, umi itu gak kuat kalau disuruh LDR-an."

Aku terkekeh sekilas. "LDR. Kebalik ya, bi. Orang-orang mah LDR, anaknya yang di pondok, orang tuanya di rumah. Lah ini... anaknya di rumah, orang tuanya di pondok. Hahaha..."

Abi ikut tertawa. "Cuma keluarga kamu doang, Rey."

"Bi," Pandanganku beredar ketika belum melihat batang hidung umi. "Umi masak?"

Melihat Abi kembali mengalihkan pandangan ke televisi, sembari memberi anggukan. Aku terdiam sesaat ketika aku kembali mengingat pembicaraan ku dengan Alfin. Tentang dalang yang ternyata berada di sekolah.

Haruskah aku menceritakan ini pada Abi. Atau aku pendam dan menyelidiki sendiri. Tapi... dalam hal seserius ini, aku juga butuh sosok pendukung seperti abi, bukan.

"Kenapa, Rey? Ada yang kamu pikirin?" tanya Abi, sembari menoleh.

Saat ketika aku membuka mulut, aku tersentak lantaran kemunculan umi beserta kehebohannya.

"AAA~~ MAS REY, PULAAANG...!!"

Sebuah serangan pelukan dari umi aku terima lapang dada. Aku pun ikut membalas pelukan dari umi.

Setelah pelukan terlepas, serangan lain datang. Umi menciumi seluruh wajahku dengan bertubi-tubi. Mulai dari kedua pipiku, jidat, mata, hidung dan dagu. Astaghfirullah hal'adzim, yaa Allah...

"Umi kangen banget tahu nggak, mas!" Aku terkekeh tipis, lalu mencium punggung tangan umi berkali-kali.

"Rey juga kangen, umi..."

"Ah, kamu, mas... mangkanya, mondok aja di pesantren. Kalau kamu disana, kan jadi nggak bolak-balik."

Mendengar umi merajuk, aku kembali bersuara dengan tenang sembari mengusap-usap punggung tangan umi. "Bukannya ini juga rumah kita, ya, mi. Kalau rumah ini nggak ada yang tinggal, nanti jadi markas setan, gimana?"

Umi mendengus membuatku terkekeh lagi. "lagian, kan... umi sendiri dulu yang nyuruh aku satu sekolah sama Alifia. Nah, kalau Alifia mau sekolahnya di SMA, ya Rey juga sekolah di SMA, umi..."

Beliau menghela nafas berat. "Ya tadinya sih umi mikir kalau Alifia mau mondok, mas."

"Ya udahlah, mi... Rey juga udah kelas 12. Sebentar lagi lulus. Doain aja biar Rey jadi nomer satu di sekolah, biar dapet beasiswa di kampus favorit dia. Dan... doain juga, biar dia nggak digangguin jin sekolah yang suka komporin orang buat terjerumus ke dalam pergaulan bebas." sahut abi.

Hijrahku di bangku SMA (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang