Part 17

2.1K 261 0
                                    

« بسم الله الر حمن الر حيم »

Rey POV

"Jadi, kesimpulan dari kumpulan kali ini membahas mengenai penyelenggaraan pelantikan pengurus OSIS baru yang akan dilaksanakan pada tanggal 22 Agustus 2021. Kemudian berlanjut dengan pelepasan jabatan kelas 12 pada tanggal 28 Agustus 2021. Itu dia kesimpulan yang akan menutup kumpulan pada hari ini. Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh..." terang Anisa, selaku sekretaris.

"Wa'alaikumusalam warahmatullaahi wabarakatuh." balas serentak dari semua sudut ruang rapat OSIS.

"Oke, terimakasih Anisa untuk kesimpulannya. Gimana, pak, ada satu kata, dua kata buat penutup?"

Pak Ali, selaku pembina OSIS lantas memberikan cengiran kuda dan mempersilahkan aku untuk melanjutkan. "Ayo, silahkan, langsung tutup aja. Kasian perut kalian pasti udah pada meronta dari tadi. Mangga, Rey."

"Oke. Sebelum saya tutup, saya sangat berterimakasih untuk kehadiran sang pembina, pak Ali..." Pak Ali mengangguk sekali, masih dengan cengirannya. "Untuk rekan dan rekanita sekalian atas kehadirannya. Baiklah, saya tutup kumpulan ini dengan bacaan hamdalah..."

"Alhamdulillah..."

"Billahi taufik wal hidayah wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh..." Setelah aku mengucapkan demikian, mereka menjawab salam dan pamit pergi, tak terkecuali dengan pak Ali yang katanya sedang ada perlu. Hingga tersisa hanya aku sendiri yang ada di ruang OSIS.

Sedang asik dengan laptop, Alfin datang begitu hebohnya. "Rey! Tolongin gue, Rey!"

Aku menoleh sekilas, lalu menatap layar monitor lagi. "Apa?"

"Rey! Tolongin gue!" serunya lagi namun agak pelan, sembari mengguncangkan lenganku. Ini anak kenapa si, tumben amat.

"Iya, apa? Gue harus tolongin lo apa?" tanyaku gemas sambil menghadap dia seutuhnya.

Alfin celingukan, seperti memastikan bahwa di ruangan ini memang hanya ada kami berdua. "Lo kenapa sih, Fin? Di ganggguin sama jin toilet? Kenapa gak baca ayat kursi aja?" tanyaku lagi, gemas melihatnya yang semakin bikin penasaran.

"Kampret! Lo tahu gak...-"

"Nggak!"

"Jangan disela pea!"

Aku terkikik geli. Tapi kayanya apa yang mau dia omongin emang benar-benar penting, dilihat dari mukanya yang meyakinkan. Biasanya, kan nggak!

"Tadi, kan gue ke toilet... nah, lo tau, kan toilet yang deket gudang itu?" Aku mengangguk, terus menyimak.

Lagi. Alfin celingukan ke kanan dan ke kiri. Tapi setelahnya, ia bangkit kemudian memastikan lagi di luar pintu sebelum akhirnya ia menutup pintu rapat-rapat. Ya Allah... kenapa lagi sih sama ini anak.

"Nah, di gudang itu gue denger suara cewek."

"Siapa? Mba kunti!" /PAK! Aku ditampol dengan tangan kosong yang entah mengapa terasa sakit bak kena gampar tangan baja.

"Serius, bambang!"

"Iya, iya... lanjut."

"Gue denger cewek itu ngomong di telpon, dan ngomongin si Ayra, bokapnya yang udah meninggal, sama penusukan itu." Mendengar pertanyaan itu, mimik muka ku yang tadinya menahan senyum mendadak serius.

"Nah, tuh! Kaget, kan! Ini belum apa-apa...-"

"Bentar! Ngomong apa lo, tadi?" sela olehku.

"Hufftt... oke gue ulang. Dengerin baik-baik! Jadi, waktu gue ke toilet tadi, gue denger suara cewek yang kayanya lagi ngomong di telpon gitu. Nah dia ngomongin si Ayra, alm. bokapnya, sama penusukan itu. Lo kenal Ayra, kan?"

Aku mengangguk. Iyalah kenal, Bambang! Kenal banget!

"Nah, gue tadi denger dia ngomong gini, Gue kan udah bilang sama lo! Gue gak nyuruh elo buat nusuk bokap Ayra, anj*ng! Itu semua salah elo yang teledor! Gue cuma nyuruh lo, buat kasih pelajaran Ayra! Jadi jangan bawa-bawa nama gue atas penusukan itu!"

Peredaran darah seakan berhenti mengalir. Aku terkejut bukan main. Siapa cewek itu. Jadi dalang penusukan itu ada disini.

"Rey! Rey, astaghfirullah hal'adzim, Rey! Lo dengerin gue, kan!" Aku terperanjat akibat sentakan itu.

"Lo tau orangnya? Dia siapa? Kenapa gak lo sergap langsung aja?" cecar ku, tak habis pikir dengannya yang malah membiarkan pelaku pembunuhan begitu saja.

"Itu dia...!!" seru Alfin, kemudian dilanjut cicitan yang hampir tak bersuara. "Gue gak berani..."

"Jadi yaaa, gue langsung kabur dari sana dan belum sempat tahu muka dia."

Astaghfirullah hal'adzim, sabar, Rey! Lo harus tenang menghadapi makhluk satu ini!

Aku memejamkan mata, menetralisir kekesalan. Jangan sampai aku membuang Alfin ke Laut Malaka. "Cirinya gimana? Menurut lo dia adik kelas, atau seangkatan sama kita?"

"Dia pake rok abu-abu di atas lutut, kemejanya juga sengaja dikecikin, terus rambutnya yang berkilau dia gerai, terus kulitnya putih bersih, kakinya juga putih bersih, gue yakin si, itu muka pasti juga cantik-"

"Astaghfirullah hal'adzim, lo jangan coba-coba menebar dosa, Alfin!" seru ku, menyadari kejailan Alfin yang sudah balik.

"Hehe.. satu lagi nih, sepatunya sneaker."

Aku terdiam. Berfikir keras siapa kira-kira yang memiliki ciri-ciri itu. Ini sangatlah sulit, mengingat murid yang bersekolah disini jumlahnya tak hanya puluhan, melainkan ratusan orang. Dan yang memiliki ciri-ciri itu kebanyakan memang cewek pada umumnya.

"Nggak ada yang lain yang lebih bisa bedain? Disini banyak banget cewek modelan gitu!" tanyaku, agak malas.

"Bentar..." Alfin lantas melipat kedua tangannya di depan dada, kemudian mengusap-usap dagu layaknya bapak-bapak yang memainkan jenggotnya.

"Oh! Gelang item terus ada bandulnya bentuk smile gitu."

Aku menghela nafas berat. Cewek yang memakai gelang hitam juga bukan hanya satu. Tapi aku bertekad untuk mendapatkan pelaku itu. Ya Allah... izinkan aku untuk mengungkapkan siapa dalang di balik penusukan almarhum om Heri. Dan Ayra, semoga dia selalu diberikan kekuatan.

Rey POV end


****

Si Alfin emang orangnya bikin darah tinggi, yang sabar ya, Rey 😭

See u next part 🙌

Hijrahku di bangku SMA (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang