« بسم الله الر حمن الر حيم »Masih di tengah perjalanan, suasana begitu senyap kalau saja tidak ada musik diantara keterdiaman ku dengan Alfin. Yang ada di pikiranku cuma satu. Punya ikatan apa antara Rey dan Alifia.
"Ay." Aku menoleh sekilas sebelum akhirnya kembali bertopang dagu melihat jalanan dari balik jendela.
"Apa?" tanyaku, lirih.
"I mean, sejak kita gass dari rumah Alifia sampe kita gass pulang dari pondok, muka lo lecek banget sih. Ada masalah?"
Mendengar kata lecek, aku mendengus. "Makasih atas hinaan itu." Aku diam sejenak. Lalu merubah posisi dudukku, sedikit menghadap Alfin. "Fin, gue mau nanya deh sama lo."
Alfin menoleh sebentar. Lalu menghadap depan lagi. "Nggak, ah! Nanti lo sama aja kaya Rey. Masa gue ditanyain, kapan kira-kira gue waras? Kan, jadi pengen ngomong kasar, gue!"
Aku mendengus lagi. "Gue serius! Jangan sampe gue ikut pengen ngomong kasar karena lo!"
"Dih? Oke, oke. what's wrong?"
"Antara Rey sama Alifia, mereka punya hubungan apa sampe Alifia manggil Rey itu 'mas'. Rey juga kalau ngomong sama Alifia pake aku-kamu-an."
Sekilas aku melihat sekelebat senyuman Alfin. "Kenapa lo tanya itu ke gue?"
"Lo kan temen deket Rey."
"Lo juga temen deket Alifia. Gue denger-denger, lo bahkan sahabat Alifia dari kecil. Masa lo gak tahu hubungan mereka."
Skakmat!!
Aku terdiam cukup lama. Hingga akhirnya aku membuka suara dengan intonasi yang hampir seperti berbisik. "Gue gak pernah tanya itu ke dia."
Alfin mengangguk-anggukkan kepalanya. "Mau tahu?"
Melihat aku mengangguk dengan penuh harap. Alfin menjawab. "Tanya aja sama mereka berdua."
/Bugh!! Aku memukulnya yang membuat Alfin hampir oleng. Untunglah jalanan lenggang. Ia yang hendak protes, mendadak diam ketika menyadari ponselnya bergetar.
/Drrrtt...
Pak Ali is calling...
"Hallo pak, assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumusalam. Fin, tahu gak Rey kemana? Saya telfon kenapa gak aktif?"
"Wah, pas banget. Saya baru aja ketemu dia, pak. Tapi sayangnya saya udah pulang."
"Yahh... puter balik aja kalau gitu."
"Puter balik ndasmu." gumam Alfin. "Gak bisa lah, pak. Saya ditunggu mamah saya di rumah. Ada perlu apa emang pak?"
"Ya udah. Tolong sampaikan saja pesan saya. Besok pagi tolong suruh dia ke sekolah buat bicarain soal maulidan di sekolah. Kamu juga hadir, ya, Fin."
"Loh? Besok, pak?"
"Iya besok. Ya sudah itu saja. Tolong sampaikan, ya. Bapak tutup dulu. Wassalamu'alaikum."
"Loh, pak? Pak?? Pak???"
"Lah, mati! Wa'alaikumusalam. Bener-bener nih guru! Gak tahu jam berapa sekarang, apa ya!" omel Alfin. Kemudian menyerahkan ponselnya padaku. Aku memandangnya heran. "Tolong dong, telponin Alifia. Gue lagi nyetir. Kalau gue gagal fokus terus nubruk, kan bahaya."
"Heh!! Omongan adalah do'a." sergahku.
"Ya mangkanya, jangan lo aminin. Buruan telpon Alifia."
Aku menerima ponsel Alfin dan mulai mencari nama Alifia. Tepat ketika aku berhasil menemukan sebuah kontak yang bertulisan, 'Ning ALifia🤪' membuatku melirik Alfin dengan heran. Aku yang tak mengindahkan itu, langsung memencet tombol panggil kemudian menspiker-kan panggilan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hijrahku di bangku SMA (End)
Teen FictionApa yang terlintas dalam benak ketika mendengar kata "hijrah"? Iya, hijrah. Ini kisah tentang Ayra Khairunniswah Haseena. Gadis SMA yang jauh dari kata taat, dan kini belajar jauh dari maksiat. Memegang teguh niat, untuk meninggalkan kesenangan duni...