Bismillahirrahmanirrahim
__________~~~__________Hujan lebat turun mengguyur bumi yang kupijak saat ini, gelapnya malam ditambah dengan angin yang berembus ikut serta membawa rintikan hujan kesana dan kemari, membuat hawa dingin semakin terasa bahkan sampai ulu hatiku. Bulan ramadhan baru datang, bulan beribu kemuliaan baru datang, tapi kenapa ayah malah pergi membiarkan aku dan ibu saja yang merasakan suasana ramadhan.
Yaa Allah... bolehkah aku meminta untuk mengembalikan ayah kedalam pelukanku, aku ingin merasakan betapa nikmatnya sahur bersama, berbuka puasa bersama dan ingin merasakan hari raya idul Fitri bersama. Tapi aku sadar, itu tidaklah mungkin terjadi. Ayah telah kembali ke sisi-Mu dan gak akan pernah kembali ke dunia.
"Ayra... masuk, yuk. Disini dingin, nanti kamu sakit..."
"Disana... pasti ayah lebih kedinginan. Ayah gak punya baju dan selimut. Aku kangen ayah, Fi..." kataku. Menengadahkan tangan, dan membiarkan rintik-rintik hujan dari genting jatuh ke tangan. Dingin.
"Ay, kamu tenang aja... ayah kamu udah sama Allah. Allah pasti jagain ayah kamu. Sekarang kita masuk, ya?"
Aku menggeleng samar, lalu sebuah tangan tiba-tiba menangkup pipiku dan menghapus air mataku yang tak kunjung henti. "Yang kuat ya, Ay. Aku tahu ini berat banget buat kamu. Tapi mau gimana lagi, ini udah takdir Allah. Kita gak bisa menentangnya, kita hanya bisa terima dengan ikhlas, in syaa Allah, Allah akan memudahkan segala urusan kita."
Tanpa komando, aku berhambur kedalam pelukan Alifia, menumpahkan segala lara yang terus saja menggerogoti ulu hatiku. "Gue kangen ayah, Fi... gue pengen ayah balik..."
"Sabar ya, Ay... sabar... istighfar... astaghfirullah hal'adzim... astaghfirullah hal'adzim..."
"As- astaghfirullah hal'adzim..."
Bersamaan dengan suara derasnya hujan, aku menangis di pelukan Alifia. Sakit rasanya ditinggal orang yang sangat berarti dalam hidupku, bahkan yang lebih sakit, ayah pergi sebelum aku meminta maaf padanya.
Ayah... kalau ayah denger aku, maka dengarlah. Aku janji sama ayah, aku akan jadi anak baik, aku gak akan mengulang kemaksiatan itu lagi, aku akan membawa ayah ke depan pintu surganya Allah. Aku janji.
"Udahan, ya nangisnya. Gak kasihan tuh air mata dari kemarin ngucur mulu?" Aku diam, tak menanggapinya.
"Dari tadi ibu udah nunggu, loh di dalam. Beliau belum mau makan, sebelum kamu mau makan, Ay. Lihat kamu nangis gini, ibu juga di dalam ikutan nangis. Kalau ayah lihat kamu nangis terus gini, beliau juga pasti bakal ikutan sedih."
"Setidaknya, jangan bikin ibu khawatir, Ay. Ayo, masuk...?"
Mau tak mau aku mengangguk, menurutinya masuk. Benar saja, di meja makan, belum ada sedikitpun makanan yang berkurang. Itu artinya, ibu belum makan sedikitpun. Lantas, dengan Alifia yang duduk di samping ibu, aku menyuapi ibu makan.
"Ibu gak mau makan, kalau kamu belum makan, Ayra..."
Aku tersenyum getir. "Iya, Ayra makan. Ibu juga harus makan. Nanti ibu sakit. Aku udah janji sama ayah, aku harus jaga ibu. Kalau aku ingkar, nanti ayah marah. Makan, ya?"
Satu suapan sudah ibu makan, lalu di suapan kedua untukku, begitupun seterusnya.
_
Setibanya aku di bangku kelas, Ghea dan Tessa lantas menghampiri ku, menatap mataku yang masih sembab. "Ra, sekali lagi kita turut berdukacita, ya, atas meninggalnya bokap lo," ucap Tessa, mengusap-usap punggungku.
Melihat itu, Ghea pun ikut menyambung, "iya, Ra. Yang kuat, ya... kita pasti selalu ada buat lo. Jangan berlarut sedihnya, nanti gue juga ikut sedih." Aku tersenyum simpul, lalu berterimakasih.
"Mana Ayu? Dari kemarin gue gak lihat dia di pemakaman. Dia sibuk?" tanyaku.
"Oh, Ayu... gue juga gak tahu, Ra. Kemarin kita udah kabarin dia. Tapi sampai sekarang belum ada kabar sama sekali dari dia. Btw, kemana, ya, dia...." balas Ghea, mengusap dagunya.
Aku tercenung. Apa dia marah karena aku putus dari Yuda. Kalau iya... Ayu harus tahu alasanku putus dari Yuda. Aku gak mau kalau sampai ada kesalahpahaman disini.
Setelahnya, aku yang hendak menghubungi Ayu, aku dibuat mengurungkan niatku kala seseorang memanggilku. Aku mendongak.
"Ikut dulu, ya. Gue mau ngomong." kata Yuda, seraya menggenggam tanganku dan membawanya ke ujung lorong.
Namun, cepat-cepat aku melepaskan diri dari cekalan tangan Yuda. Bukan kah aku sudah berjanji pada ayah, bahwa aku akan menjadi anak baik dan tidak ingin mengulang kemaksiatan yang telah lalu. Maka aku juga harus menjaga jarak dan pandangan ku dengan seorang Ikhwan yang bukan mahram. Tak terkecuali Yuda.
"Kenapa?" tanyaku, to the point.
Yuda menarik sudut bibirnya, miris. "Apa sebegitu nya lo gak suka sama gue, sampai harus menjaga jarak, Ay?"
Aku menghela nafas berat. "Bukan gitu,"
"Gue udah duga, kalau lo terpaksa cinta sama gue dan lo terpaksa ngejalanin semuanya bareng gue. Lo bohong kalau cinta lo tulus buat gue, Ra."
Mataku kembali memanas. "Lo narik gue kesini cuma karena mau bilang itu? Lo gak tahu gue habis berduka, Yud? Lo tahu luka di hati gue karena kepergian ayah masih sangat membekas di hati gue?" Seraya menunjuk dadaku sendiri. "Dan lo dari kemarin masih tetap ngebahas gue tulus atau nggak! Ngotak dong, Yud!" Setelahnya aku melenggang pergi. Persetan dengan hasil ulangan yang akan dibagikan hari ini. Tujuanku saat ini adalah atap. Kudengar sekarang atap sekolah sudah kembali dibuka.
"Ayra...."
_
Ayra😸
OnlineAyra gue minta maaf. Gue gak maksud bilang itu semua. Gue cuma kecewa, Ra. Setelah dua tahun kita pacaran, dengan lo yang selalu happy di samping gue, gue pikir lo tulus, tapi ternyata nggak. Maaf, Ra.
Send
_
"Lo ngechat gue gini seakan-akan disini itu lo yang paling tersakiti, Yud. Tanpa mau dengerin penjelasan gue. Kalau gini caranya, gue bisa ilfeel pernah tulus sama lo." gumamku.
"Khem!"
Aku tersentak dari acara rebahan santai ku. Ketika aku bangkit dan melihat sang empu deheman, aku terbelalak. Dia Gus Rey, kan. Kenapa malah ada disini. Bukannya dia di pesantren?
"Maaf. Tapi emang lo gak mau turun? Sekolah udah bubar dari tadi dan pintu rooftop mau gue tutup!"
Bubar? Sial- astaghfirullah hal'adzim, gak boleh ngumpat! Tapi tas gue masih ada di dalam!
Tanpa membuang waktu, aku bergegas keluar dari sana. "Tunggu!"
Saat baru melewatinya, aku berbalik. "Tas, sama raport lo." katanya, mengulurkan tas serta raport bertulisan Ayra Khairunniswah Haseena.
Setelah kuterima, dia mengucapkan salam lalu pergi begitu saja.
"Wa'alaikumusalam,"
"Kok aneh, waktu di pondok gue liat pas dia tausiyah humble banget. Lah sekarang, kenapa dingin kaya es balok gitu."
"Apa dia punya kembaran. Yang satunya di pondok, satu laginya sekolah di sini."
Sejenak aku terdiam lalu beristighfar. Inget Ayra, memikirkan lawan jenis yang bukan mahram itu dosa!
"PINTU MAU GUE KUNCI, BENERAN NGGAK MAU KELUAR?"
Aku menggeleng kepala dengan cepat, kemudian bergegas keluar sebelum pintu benar-benar akan dia kunci. Dan aku harus mendekam satu bulan lamanya, mengingat hari ini adalah hari terakhir sekolah sebelum libur panjang. Parah banget.
****
J
angan lupa vote &komen 🙏🏻
See u next part 🙌
KAMU SEDANG MEMBACA
Hijrahku di bangku SMA (End)
Teen FictionApa yang terlintas dalam benak ketika mendengar kata "hijrah"? Iya, hijrah. Ini kisah tentang Ayra Khairunniswah Haseena. Gadis SMA yang jauh dari kata taat, dan kini belajar jauh dari maksiat. Memegang teguh niat, untuk meninggalkan kesenangan duni...