Bismillahirrahmanirrahim-
-
-Masih dengan setelan seragam aku duduk bertopang dagu, memandang gemercik hujan yang sesekali mengenai jendela dekat denganku. Percaya atau tidak, jiwaku selalu terasa damai hanya dengan melihat hujan. Suara gemericik air itu bagai alunan yang membuat jiwaku berkelana dari dunia yang ku pijak.
Aku termenung ketika terlintas dalam benak akan duniaku yang tak pernah bahagia, hatiku yang tak pernah merasa tenang. Bukankah dunia itu hanya sementara? Lalu apa sebenarnya tujuan Tuhan menghidupkan ku kedunia ini, jika nantinya aku akan mati juga.
"Ayra!!"
Aku terkesiap ketika sebuah tepukan tangan cukup keras di bahuku. Aku menoleh, dan mendapati Fia yang cengar-cengir sendiri. "Apa, sih, Fi..." balasku, malas.
"Kamu kenapa, sih? Ngelamun terus dari tadi. Awas loh, nanti kesambet!"
Aku menghela napas panjang sebelum membalas, "gapapa."
"Gapapa kesambet maksudnya??"
"Gila, lo! Lo kan yang nanya sendiri gue kenapa... ya gue jawablah gapapa! Gimaana si,"
"Iya... iya... maaf, Ay. Canda!"
"Tapi jangan bohong, Ay... aku tahu kamu banyak pikiran. Kamu lupa siapa aku? Aku kenal kamu dari lahir!" Dari lahir? Aku meliriknya sekilas atas jawaban ngelantur itu.
"Hahh... masalah gue itu tetep sama, tentang ayah! Lo tau nggak, tadi mereka berantem lagi. Bikin gue males pulang aja." cetusku tanpa melihat lawan bicara, dan mereka yang ku maksud adalah ibu dan ayah. Ya, aku sempat pulang tadi, tapi mendengar keributan di dalam, mood ku jadi semakin berantakan. Jadilah aku ngungsi di rumah Fia, yang untungnya Abi dan Umi Fia sedang keluar.
"Pasti kemarin kamu kena marah lagi sama ayah kamu, ya?"
"Tuh tahu,"
"Tapi jujur aja, Ay... aku juga sebenarnya kecewa sama kamu..."
Aku menoleh untuk beberapa saat, sembari bertanya "lah, kenapa gitu?"
"Tentang rumor yang beredar itu, yang katanya kamu jadi salah satu anak yang ikut terlibat kasus miras... aku kecewa, Ay."
Hening.
"Miras itu minuman haram. Bahkan di Al-Qur'an udah jelas banget tertulis kalau Allah SWT. membenci orang yang berbuat maksiat, termasuk orang-orang yang mabuk dan berbuat zina. Kamu emang gak takut Ay sama siksaan Allah?"
"Fi, bahkan kayanya Allah udah gak peduli lagi sama gue. Jadi buat apa gue mikirin dosa, toh tetap aja gue dapet siksaan."
"Astaghfirullah, nggak gitu, Ay. Allah itu maha pengasih lagi maha penyayang. Nggak mungkin Allah nggak peduli sama hamba-Nya. Seberapa pendosa hamba-Nya, sekali ia meminta ampun, maka Allah akan mengampuni. Bahkan Allah selalu menunggu taubat dari hamba-Nya."
Aku menunduk, meremas kepala cukup kuat ketika merasakan sesak di dada hingga menjalar ke otak. Aku menggeram lirih, yang mungkin di dengar oleh Fia hingga gadis itu beranjak dari kasur dan menghampiriku.
"Kamu kenapa, Ay? Kepala kamu sakit? Mau aku ambilin obat? Bentar, ya?"
"Nggak, nggak. Gue gapapa."
"Yakin? Tapi muka kamu pucc. ceeet... astaghfirullah hal'adzim, kenapa aku baru nyadar sekarang,"
"Gue gapapa, Fiaa. Mungkin pucet karena belum makan aja dari pagi," gumamku diakhir kalimat.
"HAH?? KOK BISA??"
aku berdecak malas. "Biasa aja..."
"Kamu mah, gitu... nanti giliran mag kamu kambuh, pingsaan..."
Aku bangkit, kesal juga lama-lama sama nih cewek. "Kamu mah gitu kalau ngomong, nyelekitnya gak pernah ilang, Fiaa... sebel, aku!"
"Ppffftt bahahahaha..."
" Kenapa ketawa?!!"
"Hahaha lucu aja kamu ngomong pake aku-kamu-an..."
Aku memutar bola mata, berbalik keluar dari kamar. "Ay, mau kemana...?"
"Cari makan!"
"Heh, di dapur gak ada makanan, Ay!!"
Tepat selangkah aku melewati pintu kamar, langkahku kembali mundur, berbalik dan memandang Fia tak percaya. "Seriusan, lo? Bukan karena gak ngijinin gue makan, kan?"
"Cek aja kalau gak percaya! Umi tadi gak sempet masak, karena buru-buru mau ke pondok sama Abi. Tapi katanya nanti ada orang yang bakal nganter makanan dari Umi. Tunggu aja."
Aku mendesah, pasrah.
/Tok tok tok! "ASSALAMUALAIKUM..."
Baru saja aku ingin merebahkan tubuhku yang hampir limbung, kekurangan pangan, tiba-tiba berdiri dengan semangat. "Itu pasti makanannya, biar gue yang ambil!"
Tanpa menunggu jawaban dari gadis yang tengah berganti jilbab, aku bergegas ngacir menuju pintu depan. Namun, saat baru aku buka pintu itu, orang yang tengah berhadapan denganku langsung menunduk dan beristighfar. Heh, dipikir gue setan!
"Kenapa, lo?" tanyaku, sedikit sentakan padanya. Memang siapa yang tak sakit hati karena sikapnya yang seakan menghinaku, seseram itukah aku?
"Ini, makanan dari Umi Jihan untuk Alifia." katanya, menyodorkan sebuah rantang. Aku berbinar bahagia. Makanan.
Setelah aku terima rantang itu, dia kembali berucap tanpa jeda. "Kalau gitu, gue permisi assalamualaikum."
Dia berbalik pergi, menunggangi motor bebeknya. Aku terus memperhatikannya hingga hilang dari pandangan. Wajahnya, kaya gak asing, tapi siapa...
Aku mengangkat bahu, tak peduli. "FIAAA, MAKANAN DATAAANG!!"
****
Ayo tebak, siapa kira-kira yang ngantar makanan buat Alifia?🤭
See u next part 🙌
KAMU SEDANG MEMBACA
Hijrahku di bangku SMA (End)
Teen FictionApa yang terlintas dalam benak ketika mendengar kata "hijrah"? Iya, hijrah. Ini kisah tentang Ayra Khairunniswah Haseena. Gadis SMA yang jauh dari kata taat, dan kini belajar jauh dari maksiat. Memegang teguh niat, untuk meninggalkan kesenangan duni...