Part 4

2.8K 281 0
                                    

• tidak untuk ditiru!

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

/Plak!!

Tamparan keras itu, untuk kesekian kalinya aku terpejam menahan betapa panasnya di pipi. Bahkan perihnya dapat kurasakan merambat hingga ke ulu hati. Remuk.

"Kamu tahu apa itu miras, Ayra?" tanya ayah, penuh penekanan di setiap kalimat.

"Kamu tahu miras itu haram, Ayra?"

"Lihat ayah!" Aku mendongak karena paksaan dari cengkraman ayah. "Istighfar, nak! Miras itu haram! Allah melaknat orang yang meminum minuman itu! Bahkan menyentuhnya pun, Allah tidak suka!"

"Pasti karena Yuda! Karena teman-temanmu itu? Hah?!! AYAH SUDAH BILANG, JAUHI MEREKA!!"

"KAMU PUNYA TELINGA GAK, SIH?! AYAH NGOMONG KAMU DENGER, GAK??"

Hening.

Aku kembali menunduk ketika ayah melepaskan cengkraman itu. Sakit, sesak, nyeri, perih, hancur, marah. Aku ingin menangis, tapi untuk apa. Menyesali diri sendiri, kah. Aku juga ingin membalas, sangat ingin menyangkal semua itu. Tapi sebuah fakta lebih dulu menamparku.

/Brakk!!

Aku terperanjat ketika ayah tiba-tiba memukul meja dengan tangannya, geram. "KALAU ADA ORANG NGOMONG ITU DI DENGAR, AYRA!! PAKAI ADABMU!!"

"ATAU KARENA MINUMAN ITU ADABMU JADI HILANG? OTAK KAMU HILANG? HATIMU TIDAK LAGI BERFUNGSI, IYAA?"

"Kamu tahu, dengan begini, sikap kamu sudah mirip dengan jal*ng! Tak tau adab! Bahkan kamu sudah durhaka sama orang tuamu sendiri!"

"Astaghfirullah hal'adzim, mas!"

Aku mematung. Hingga tanpa sadar, aku telah mengepalkan tangan, menyalurkan emosi yang hampir meledak. Entah keberanian dari mana aku berdecih sinis, kemudian membalas tatapan ayah dengan nyalang. "Jal*ng?"

"Aku jal*ng, yah?" tunjuk di dadaku sendiri.

"Ayah bilang aku jal*ng karena aku minum? TERUS AYAH, AKU SEBUT APA KARENA MENGATAI ANAKNYA DENGAN SEBUTAN JAL*NG??"

"Ayr-"

"Terus apa lagi selain itu? Hemm?"

"Aku pembuat onar, trouble maker, gak punya adab, gak punya hati, tuli, buta, jal*ng!! Apa lagi??"

"APA LAGI, AYAH??"

"Ay-"

"Atau mau hina aku cacat? Si cacat?" Aku tertawa sumbang ditengah keterdiaman ayah dan ibu.

"Sampai sini belum cukup bikin hidup aku tertekan ya, yah. Aku pikir karena aku diem, ayah bisa introspeksi diri setelah apa yang ayah lakuin selama ini. Tapi aku salah. Ayah gak pernah ngerti perasaan aku!"

Setelahnya, aku dengan cepat menyambar tas yang tergeletak di atas sofa kemudian berlari meninggalkan ayah yang berteriak memanggil namaku dan bersiap menyusul ku, namun ditahan oleh ibu.

Apa aku salah lagi. Ya, aku salah lagi. Lagi dan lagi. Memang apa yang ayah ajarkan untukku. Hanya kalimat larangan lah yang selalu aku terima. Wajarkah jika aku sekarang salah jalan?

Aku gak pernah mengerti kenapa jalan pikiran ku dengan ayah selalu berbeda. Inilah yang selalu ku takutkan ketika harus berdebat dengan ayah. Luka yang belum sempat mengering, kini kembali menganga lebar.

Kadang aku tanpa sadar mengutuk mulut ayah yang selalu menggores hati. Aku juga berpikir, akan sadar atau tidaknya ayah melontarkan setiap kalimat menyakitkan itu. Dan aku selalu berharap jika suatu saat nanti, ayah menarik kembali kalimat yang tertancap di hatiku.

Hijrahku di bangku SMA (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang