Bismillahirrahmanirrahim
__________~~~__________Sudah hampir satu bulan hubunganku dengan ayah tetap mendingin, bahkan barang duduk bersama pun tak pernah lagi ku rasakan. Setiap pulang sekolah, aku selalu mengulur waktu sampai matahari terbenam barulah aku pulang ke rumah. Entah nongkrong bersama kawan, Yuda, atau ngungsi dulu di rumah Fia.
Seperti sekarang ini, awalnya aku memang punya janji dengan Yuda pergi cari jajan sekaligus jalan-jalan, namun seketika ekspektasi yang kita buat pupus karena Yuda yang harus latihan basket dadakan. Dan akhirnya, aku terpaksa mampir ke rumah Fia.
"Lah, Fi... lo mau kemana?" tanyaku, tatkala melihat Fia keluar rumah sembari menjinjing sebuah tas berisikan beberapa buku yang ukurannya bukan main.
"Loh Ayra, assalamualaikum..."
"Wa'alaikumusalam, lo mau kemana? Rapih amat,"
"Oh ini... aku mau ke pondok pesantren Atha'illah, barang umi ketinggalan, jadi aku mau anterin. Kamu mau ikut?"
"Pesantren?" Jujur aku sangat penasaran dengan apa yang ada di dalam bangunan berlingkungan agamis itu. Tapi...
"Tenang aja, gak lama kok, abis anter ini langsung pulang. Tapi kalau kamu mau main dulu, boleh. Kan umi, abi aku yang jadi pengajar disana. Hayu Ay, seru tauu..."
"Mmm, boleh deh. Kuy!"
Saat baru berbalik, sebuah cekalan tangan membuatku kembali menoleh dengan raut heran. "Kenapa lagi?"
"Ke pesantren gak boleh pake pakean gitu..." katanya menggantung, seraya menelisik seragam yang masih melekat ditubuh ku. Ah, gue lupa. Mana boleh ke pesantren pake pakean rok diatas lutut gini, apalagi rambut gue yang berwarna. Auto siap-siap kena tendang sama satpam sana.
"Ya, terus gimana?"
"Sini..." Aku ditarik masuk kedalam rumah, hingga sampai di kamar Fia, aku didudukkan di atas kasur sementara dirinya sibuk sendiri dengan isi lemari.
Tak berselang lama Fia berbalik, memberiku sesetel gamis beserta jilbab berwarna senada. Aku terbengong. Harus banget, ya aku pake ini.
"Nah kamu pake itu aja, udah sana ganti. Umi udah nunggu dari tadi." Aku tersenyum kecut, berdiri dan bersiap ganti pakaian di kamar mandi.
Cukup lama aku bergelut dengan jilbab yang sialnya tak bisa berkompromi, bahkan Fia pun sudah sedari tadi mencak-mencak dari balik pintu kamar mandi. "AYRAA... LAMA BANGET, KAMU NGAPAIN AJA, SIH!"
"BENTAR DULU, NJIR. GUE GAK BISA PAKENYA... JILBABNYA NGAJAK RIBUT MULU INI..."
"ASTAGHFIRULLAH HAL'ADZIM, COBA SINI... KAMU KELUAR DULU... AKU YANG PAKEIN..."
/Cklek...
Aku keluar dengan raut kecut, "hadeeh, kamu ni ada-ada aja deh..."
"Jangan salahin gue, salahin aja nih jilbab. Berani banget ngajak ribut sama gue," Belum selesai ngomong, aku dibuat terkatup karena Fia yang menahan daguku agar diam. "Jangan ngomong terus! Nanti leher kamu ketusuk jarum, mau??"
Aku melotot. Ya kagak lah, gila aja ketusuk jarum di leher!
Dari diamku, pandanganku tak pernah luput dari wajah cantik nan anggun Fia. Aku masih tak percaya kalau aku punya teman seshalihah dirinya. Ayah pernah bilang, kalau aku dengan Alifia bagai langit dan bumi. Aku yang hina entah mengapa Allah memberiku teman semulia Alifia. Aku yang tak pernah peduli dan berkata kasar, mengapa dirinya masih mau berteman denganku.
"Fi,"
"Kenapa, Ay?" tanyanya, ketika selesai merapihkan jilbab yang sudah terpakai di kepala ku.
"Lo kenapa masih mau temenan sama gue?"
Beberapa detik, suasana hening melingkupi kami. Apa aku salah ngomong, apa aku tarik kata-kata ku saja.
"Karena kamu emang temen aku, Ay. Sampai kapanpun, kamu akan tetep jadi temen aku. Mau gimanapun kamu, aku pasti nerimanya. Kaya kamu yang masih mau temenan sama aku."
"Kadang juga aku takut kamu malah pergi dan gak mau nerima aku apa adanya. Tapi aku salah. Di sekolah kita emang kaya orang asing yang gak pernah kenal. Tapi aku tahu kok, alasan kenapa kamu menghindar dari aku, Ay."
"Karena kamu gak mau aku di kenal sama temen-temen kamu, kan?"
"Ya," balasku yang hampir seperti bisikan. Aku tak menyangka, dia mengerti semua yang kulakukan. Walaupun awalnya aku pikir dia akan marah padaku, tapi nyatanya dia mengerti semuanya.
Lo hebat banget, Fi. Bahkan gue gak pernah punya pikiran seluas itu. Mungkin kalau gue jadi lo, gue bakal lebih dulu marah karena kepergian seorang teman tanpa sebuah kejelasan. -pikirku.
"Ya, gue gak mau lo dikenal sama teman-teman gue yang suka menindas. Tapi lo juga harus tau, Fi. Gue sebenernya takut buat ikut nindas murid gak bersalah itu, gue takut orang yang gue tindas bakal ngadu sama Allah. Tapi gue juga gak bisa berhenti temenan sama Tessa, Ayu, Ghea. Gue takut malah gue yang mereka tindas. Gue tahu banget mereka kaya gimana, Fi."
"Ay..." Fia menggenggam erat tanganku, seolah menyalurkan kekuatan padaku. "Allah itu bersama kita. Allah itu maha melihat, Dia gak akan diem aja ketika ada seorang hamba-Nya yang gak bersalah ditindas. Dan Allah itu maha adil, Ay. Dia pasti akan melindungi orang-orang yang berada di jalan-Nya. Jadi kamu gak perlu takut sama mereka. Percaya deh, kalau Allah bersama kita, kita gak akan kenapa-kenapa."
Lagi-lagi aku termenung mendengar penjelasannya yang kerap kali menyentuh ulu hati. Benarkah itu, yaa Allah... jika itu memang benar, ampunilah aku yang telah meragukan kekuasaan-Mu.
****
Hmm... author mencium bau-bau Ayra yang mau hijrah, nih😹
See u next part 🙌
KAMU SEDANG MEMBACA
Hijrahku di bangku SMA (End)
Ficção AdolescenteApa yang terlintas dalam benak ketika mendengar kata "hijrah"? Iya, hijrah. Ini kisah tentang Ayra Khairunniswah Haseena. Gadis SMA yang jauh dari kata taat, dan kini belajar jauh dari maksiat. Memegang teguh niat, untuk meninggalkan kesenangan duni...